Perjalanan kembali ke Surabaya memang tidaklah menyenangkan, karena saya merasa masih belum puas di rumah untuk bertemu ayah, ibu, dan kakak. Belum lagi suasana di bus yang penuh sesak, AC mati, dan sangat panas, rasanya badan ini terlalu lengket dan gatal berlama-lama di dalam bus. Sedikit lebih lega ketika bus antar provinsi yang saya naiki tiba sampai terminal Bungurasih Surabaya. Walaupun udara panas tapi saya merasa bisa menghirup udara bebas, rasanya ingin cepat menginjakkan kaki di kost untuk mandi. Baru terpikir oleh saya, benar-benar Allah itu Maha Baik dan Pemurah. Bagaimana tidak, udara oksigen yang begitu banyak baru terasa sangat mahal ketika kita berada pada kondisi sesak seperti yang saya rasakan di bus tadi, apalagi bagi mereka yang mempunyai penyakit sesak nafas pasti akan terasa sangat berharga oksigen yang ada di udara bebas. Ahh, semakin ke sini semakin sadar bahwa ternyata saya tergolong manusia yang kurang pandai bersyukur.
Lamunan itu seketika pudar ketika saya melihat sesosok anak kecil seusia sekitar sepuluh tahun yang tadinya mengamen di dalam bus. Sesaat setelah beberapa langkah kaki saya menuju ruang tunggu, saya melihat anak kecil itu menarik dompet dari saku celana penumpang yang baru turun dari bus bersama saya. Tidak sengaja saya melihatnya karena bapak berkaos putih itu berjalan tepat di depan saya. Seketika saya bingung harus berbuat apa melihat hal seperti itu. Saya tahu hal itu salah tapi saya bingung dan masih berpikir ulang apa yang terjadi dengan anak kecil itu jika saya meneriakkan apa yang dia lakukan.
Bismillah, saya mencoba menghela nafas panjang. Tetap menjaga diri untuk tenang saya mencoba memberanikan diri mengikuti langkah cepat anak kecil tadi. Tak jauh dari tempat kejadian pencopetan itu namun sudah memasuki tempat yang sepi, saya memberanikan diri untuk menyapa adek itu. Dia sontak kaget dan terlihat ketakutan dengan posisi membuka dompet hasil curiannya.
“Maaf kak, saya jangan dilaporkan polisi. Saya nggak punya siapa-siapa, saya cuma butuh rasa aman dan perut kenyang untuk bisa bertahan hidup. Saya mohon jangan ya kak.”
Mendengar respon anak kecil itu saya mendekatinya dan tersenyum padanya.
“Dik, kenapa mesti seperti itu. Kamu tahu tidak kalau hal seperti itu merugikan orang lain dan berdosa? Boleh kakak minta dompetnya?”
“Tapi kak?”
“Insya Allah kakak ganti dengan yang halal meski tak sebesar yang ada di dompet itu.”
Dengan berat hati anak kecil itu menyodorkan dompetnya ke tangan saya. Sambil berharap bapak tadi berlama-lama duduk di ruang tunggu, saya mencoba mencari tahu sisi kehidupan anak kecil itu. Hidup ini memang keras, namun tidak semua orang mengalaminya dengan level atau tingkatan yang sama. Saya merasa belum bisa menjadi orang yang berguna ketika mendengar kisah kehidupan adik itu. Dia tidak menceritakan tentang keluarganya, namun yang jelas dia dalam kondisi terisolasi dan dalam pengawasan di luar sana. Lingkungan pergaulannya adalah anak jalanan yang ternyata memiliki bos besar atau mereka menyebut dengan sapaan “Mas Bos”. Yang dia ingat hingga seusianya saat ini dia sudah hidup bersama Mas Bos. Sudah dua tahun ini dia di pekerjakan seperti itu oleh Mas Bos. Jika dia kembali dengan tangan kosong dia tidak berani pulang, karena jika tidak ada setoran rutin dia akan dipukuli. Berulang kali dia berusaha melarikan diri namun pada akhirnya tetap bertemu dengan Mas Bos yang notabenenya mempunyai banyak mata di luar sana.
Mengetahui hal itu saya merasa miris dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kehidupannya yang keras membuat anak kecil itu tidak memiliki rasa takut akan berbuat salah dan dosa. Bahkan dia tidak pernah merasa tenang dengan dirinya sendiri. Setiap hari dia harus merasa terancam akan siksaan Mas Bos ketika jumlah setoran yang dia peroleh tidak sesuai target. Ya Allah sungguh hamba belum bisa menjadi orang yang bermanfaat mengetahui kerasnya hidup saudara hamba di luar sana. Kondisi saya yang masih bergantung pada orang tua membuat saya hanya bisa memberi sedikit uang yang bisa menyelamatkan anak itu hari ini. dan saya tidak tahu perbuatan salah atau benar yang sudah saya lakukan mengetahui perbuatan anak itu. Entahlah saya tidak bisa membayangkan kelanjutan kisah anak itu di hari selanjutnya. Ingin sekali rasanya bermimpi menjadi orang yang kaya, berhasil, dan bisa merawat anak-anak seperti mereka, tapi itu hanya impian yang belum bisa terwujud saat ini. Benar-benar antara penyesalan dan rasa syukur saya memperoleh pengalaman hari ini. Penyesalan karena saya merasa belum bisa menuntaskan perbuatan yang salah karena keterbatasan kondisi juga rasa kasihan saya terhadap anak itu hingga saya tidak berani melaporkannya. Saya bersyukur karena kehidupan saya masih jauh lebih nikmat di atas anak itu. Dan pada akhirnya saya harus berbohong pula mengembalikan dompet itu pada pemiliknya dengan alasan jatuh saat beliau berjalan untuk menyelamatkan anak itu. Dengan nominal yang begitu berharga bagi keselamatan dirinya dan saya tidak bisa menjaminnya setiap hari saya hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan kemudahan untuk anak itu agar memperoleh rizki yang halal dan kehidupan yang layak. []
Penulis : Kholidiyah Budiasri Azmah
Surabaya, Jawa Timur
Lamunan itu seketika pudar ketika saya melihat sesosok anak kecil seusia sekitar sepuluh tahun yang tadinya mengamen di dalam bus. Sesaat setelah beberapa langkah kaki saya menuju ruang tunggu, saya melihat anak kecil itu menarik dompet dari saku celana penumpang yang baru turun dari bus bersama saya. Tidak sengaja saya melihatnya karena bapak berkaos putih itu berjalan tepat di depan saya. Seketika saya bingung harus berbuat apa melihat hal seperti itu. Saya tahu hal itu salah tapi saya bingung dan masih berpikir ulang apa yang terjadi dengan anak kecil itu jika saya meneriakkan apa yang dia lakukan.
Bismillah, saya mencoba menghela nafas panjang. Tetap menjaga diri untuk tenang saya mencoba memberanikan diri mengikuti langkah cepat anak kecil tadi. Tak jauh dari tempat kejadian pencopetan itu namun sudah memasuki tempat yang sepi, saya memberanikan diri untuk menyapa adek itu. Dia sontak kaget dan terlihat ketakutan dengan posisi membuka dompet hasil curiannya.
“Maaf kak, saya jangan dilaporkan polisi. Saya nggak punya siapa-siapa, saya cuma butuh rasa aman dan perut kenyang untuk bisa bertahan hidup. Saya mohon jangan ya kak.”
Mendengar respon anak kecil itu saya mendekatinya dan tersenyum padanya.
“Dik, kenapa mesti seperti itu. Kamu tahu tidak kalau hal seperti itu merugikan orang lain dan berdosa? Boleh kakak minta dompetnya?”
“Tapi kak?”
“Insya Allah kakak ganti dengan yang halal meski tak sebesar yang ada di dompet itu.”
Dengan berat hati anak kecil itu menyodorkan dompetnya ke tangan saya. Sambil berharap bapak tadi berlama-lama duduk di ruang tunggu, saya mencoba mencari tahu sisi kehidupan anak kecil itu. Hidup ini memang keras, namun tidak semua orang mengalaminya dengan level atau tingkatan yang sama. Saya merasa belum bisa menjadi orang yang berguna ketika mendengar kisah kehidupan adik itu. Dia tidak menceritakan tentang keluarganya, namun yang jelas dia dalam kondisi terisolasi dan dalam pengawasan di luar sana. Lingkungan pergaulannya adalah anak jalanan yang ternyata memiliki bos besar atau mereka menyebut dengan sapaan “Mas Bos”. Yang dia ingat hingga seusianya saat ini dia sudah hidup bersama Mas Bos. Sudah dua tahun ini dia di pekerjakan seperti itu oleh Mas Bos. Jika dia kembali dengan tangan kosong dia tidak berani pulang, karena jika tidak ada setoran rutin dia akan dipukuli. Berulang kali dia berusaha melarikan diri namun pada akhirnya tetap bertemu dengan Mas Bos yang notabenenya mempunyai banyak mata di luar sana.
Mengetahui hal itu saya merasa miris dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kehidupannya yang keras membuat anak kecil itu tidak memiliki rasa takut akan berbuat salah dan dosa. Bahkan dia tidak pernah merasa tenang dengan dirinya sendiri. Setiap hari dia harus merasa terancam akan siksaan Mas Bos ketika jumlah setoran yang dia peroleh tidak sesuai target. Ya Allah sungguh hamba belum bisa menjadi orang yang bermanfaat mengetahui kerasnya hidup saudara hamba di luar sana. Kondisi saya yang masih bergantung pada orang tua membuat saya hanya bisa memberi sedikit uang yang bisa menyelamatkan anak itu hari ini. dan saya tidak tahu perbuatan salah atau benar yang sudah saya lakukan mengetahui perbuatan anak itu. Entahlah saya tidak bisa membayangkan kelanjutan kisah anak itu di hari selanjutnya. Ingin sekali rasanya bermimpi menjadi orang yang kaya, berhasil, dan bisa merawat anak-anak seperti mereka, tapi itu hanya impian yang belum bisa terwujud saat ini. Benar-benar antara penyesalan dan rasa syukur saya memperoleh pengalaman hari ini. Penyesalan karena saya merasa belum bisa menuntaskan perbuatan yang salah karena keterbatasan kondisi juga rasa kasihan saya terhadap anak itu hingga saya tidak berani melaporkannya. Saya bersyukur karena kehidupan saya masih jauh lebih nikmat di atas anak itu. Dan pada akhirnya saya harus berbohong pula mengembalikan dompet itu pada pemiliknya dengan alasan jatuh saat beliau berjalan untuk menyelamatkan anak itu. Dengan nominal yang begitu berharga bagi keselamatan dirinya dan saya tidak bisa menjaminnya setiap hari saya hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan kemudahan untuk anak itu agar memperoleh rizki yang halal dan kehidupan yang layak. []
Penulis : Kholidiyah Budiasri Azmah
Surabaya, Jawa Timur
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar