Setahun berlalu semenjak diamanahkannya saya membina sebuah kelompok mentoring dengan jumlah binaan sebanyak 12 orang. Mereka berasal dari berbagai penjuru Indonesia, Sabang sampai Merauke, dan berasal dari berbagai kalangan yakni menjadi minoritas maupun mayoritas di daerahnya.
Kami ber-13 dipertemukan di salah satu perguruan tinggi yang terletak di Ibukota Negara kita Jakarta, lebih tepatnya Jakarta timur. Namun, seiring berjalannya waktu seleksi alam itu pun terjadi dan hingga kini yang tersisa hanya 8 pemuda yang masih haus dengan ilmu agama.
Pemuda-pemuda tersebut, memang belum memiliki pemahaman yang bagus mengenai tarbiyah. Tetapi salah seorang dari mereka membuat saya selaku mentor merasa kurang percaya diri ketika berhadapan dan memberi materi kepadanya dan kepada teman-temannya.
Hampir tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan percaya diri ini. Dalam hal akademik dia lebih cerdas, meskipun selisih 2 tahun lebih awal saya memasuki kampus ini. Ia menggoreskan sejarah dalam kampus dengan menggenggam IP tertinggi, yang belum pernah diraih pada tahun sebelumnya serta menjadi perwakilan kampus dalam ajang bergengsi ONS (Olimpiade Nasional Statistik) di usia kuliahnya yang masih terbilang baru, semester 2. Sehingga tak sedikit mahasiswa/i memberi gelar “Anak Ajaib” kepadanya.
Dalam hal tulis menulis, anak ajaib ini pernah meraih juara 9 lomba mengarang cerita remaja islam tingkat nasional, dan tak jarang juga menjuarai lomba cerpen islami yang di adakan oleh Kerohanian islam kampus ini. Disisi lain, puasa senin-kamin, tilawah (50 ayat per hari), Qiyamul lail sudah menjadi tradisi dalam kesehariannya.
Namun, seorang mentor dituntut untuk mampu memberikan keteladanan kepada binaannya baik dari segi rohani, akademik, maupun jasmani. Untuk itu, selain mempersiapkan materi mentoring dengan baik, satu-satunya senjata untuk menumbuhkan percaya diri dan memecah kekakuan saya ketika meberikan materi hanyalah pengalaman. Pengalaman dua tahun saya di kampus ini, ketika duduk di tingkat 1 dan 2, pengalaman mengikuti mentoring (ketika menjadi orang yang dibina), serta pengalaman-pengalaman lainnya di luar akademik seperti pengalaman di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Karena saya tahu bahwa pengalaman adalah pembelajaran yang paling berharga. []
Penulis : Ahmad Faisal
Jakarta Timur
Kami ber-13 dipertemukan di salah satu perguruan tinggi yang terletak di Ibukota Negara kita Jakarta, lebih tepatnya Jakarta timur. Namun, seiring berjalannya waktu seleksi alam itu pun terjadi dan hingga kini yang tersisa hanya 8 pemuda yang masih haus dengan ilmu agama.
Pemuda-pemuda tersebut, memang belum memiliki pemahaman yang bagus mengenai tarbiyah. Tetapi salah seorang dari mereka membuat saya selaku mentor merasa kurang percaya diri ketika berhadapan dan memberi materi kepadanya dan kepada teman-temannya.
Hampir tidak ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan percaya diri ini. Dalam hal akademik dia lebih cerdas, meskipun selisih 2 tahun lebih awal saya memasuki kampus ini. Ia menggoreskan sejarah dalam kampus dengan menggenggam IP tertinggi, yang belum pernah diraih pada tahun sebelumnya serta menjadi perwakilan kampus dalam ajang bergengsi ONS (Olimpiade Nasional Statistik) di usia kuliahnya yang masih terbilang baru, semester 2. Sehingga tak sedikit mahasiswa/i memberi gelar “Anak Ajaib” kepadanya.
Dalam hal tulis menulis, anak ajaib ini pernah meraih juara 9 lomba mengarang cerita remaja islam tingkat nasional, dan tak jarang juga menjuarai lomba cerpen islami yang di adakan oleh Kerohanian islam kampus ini. Disisi lain, puasa senin-kamin, tilawah (50 ayat per hari), Qiyamul lail sudah menjadi tradisi dalam kesehariannya.
Namun, seorang mentor dituntut untuk mampu memberikan keteladanan kepada binaannya baik dari segi rohani, akademik, maupun jasmani. Untuk itu, selain mempersiapkan materi mentoring dengan baik, satu-satunya senjata untuk menumbuhkan percaya diri dan memecah kekakuan saya ketika meberikan materi hanyalah pengalaman. Pengalaman dua tahun saya di kampus ini, ketika duduk di tingkat 1 dan 2, pengalaman mengikuti mentoring (ketika menjadi orang yang dibina), serta pengalaman-pengalaman lainnya di luar akademik seperti pengalaman di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Karena saya tahu bahwa pengalaman adalah pembelajaran yang paling berharga. []
Penulis : Ahmad Faisal
Jakarta Timur
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar