Bagiku, tidak ada pengalaman paling indah sepanjang jalan dakwah selain pengembaraan menemukan dakwah itu sendiri. Bukan bermaksud menafikan keindahan romantika da’i semenjak ia mulai berdakwah, tapi memang menemukan dakwah di tengah zaman penuh dusta dan hasutan sarat kebencian menjadi penggalan episode yang paling menarik untuk dikenang. Betapa tidak, perubahan drastis itu sama sekali telah merubah arah jalan hidup dari ketidakjelasan menuju harapan terang.
Ceritanya bermula sejak semester satu. Waktu itu, aku sedang mengurus permohonan beasiswa bagi mahasiswa baru. Entah siapa yang pertama kali menghembuskan isu bahwa pengurusan beasiswa harus melalui himpunan mahasiswa jurusan (selanjutnya disingkat HMJ). Jika tidak, maka berkas itu tidak akan diterima. Kelak setahun kemudian aku tahu ini hanya akal-akalan pengurus HMJ saja agar kami, mahasiswa baru, bisa dipaksakan ikut mendaftar ospek di jurusan.
Nah, ketika mengantarkan berkas beasiswa ke kantor HMJ itulah, aku pertama kali mendengar ada organisasi kampus bernama lembaga dakwah kampus (selanjutnya disingkat LDK). Sayangnya, pandangan-pandangan negatiflah yang pertama kali diperdengarkan oleh senior saya itu. Terlalu hina rasanya jika fitnah-fitnah itu kutuliskan di sini.
Selang satu tahun, fitnah itu kutelan bulat-bulat. Tidak ada kajian-kajian keislaman yang kuikuti. Bahkan, ajakan teman untuk mengikuti open recruitment-nya LDK kutolak mentah-mentah. Kondisi ini terus berlanjut hingga pertengahan semester empat.
Menjelang ujian tengah semester itulah, aku tersadarkan dengan fakta bahwa hanya LDF (LDK-nya fakultas)-lah satu-satunya UKM yang aktif dan konsisten menjalankan berbagai prokernya. Sementara UKM lainnya mati suri, LDF terus menjalankan berbagai program-program atraktif serta sesuai kebutuhan mahasiswa.
Satu hal yang paling menarik perhatianku adalah pameran pendidikan yang digelar LDF. Ada berbagai lomba yang diperlombakan. Dua bidang yang paling kuminati adalah lomba tahfidz juz 30 dan lomba menulis opini pendidikan Islam. Lomba tahfidz juz paling akhir itu kuikuti karena memang sudah kuhafal semuanya. Maklum, aku adalah lulusan sebuah sekolah unggulan yang mewajibkan alumninya menghafal minimal juz ‘Amma. Nah, kupikir ini saatnya untuk menyegarkan kembali hafalanku. Sedangkan lomba menulis opini kuikuti karena ingin mengasah kemampuan menulis. Temanyapun cukup menggelitik rasa ingin tahuku: “Pendidikan dalam Kacamata Islam”.
Maka, sekitar seminggu setelah mendaftarkan diri, aktivitasku bertambah. Jika selama ini aku hanya kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang), maka dalam rentang waktu itu kesibukanku bertambah dengan memuraja’ah hafalan (harus kuakui sejak tamat SMA, aku hampir tidak pernah memuraja’ah hafalanku lagi) dan mencari-cari bacaan diperpustakaan terkait pendidikan Islam. Walhasil, usahaku tidak sia-sia. Di hari penutupan pameran, aku diumumkan mendapat peringkat 2 di kedua bidang itu. Tapi, bukan itu bagian menariknya. Keramahtamahan panitia sejak hari lomba yang terus berlanjut hingga hari-hari setelahnya diam-diam membuatku salut. Bahwa orientasi pelaksanaan program itu bukan untuk mencari keuntungan semata –pencitraan maupun finansial, tapi lebih kepada pembinaan ukhuwwah antar sesama mahasiswa. Bahwa pameran pendidikan itu bukan hanya sekedar menuntaskan proker semata tapi betul-betul serius dijadikan sebagai ajang untuk menekankan pemahaman kepada mahasiswa tentang perlunya mengenal Islam secara mendalam.
Mungkin hal inilah yang secara otomatis mengubah pandanganku terhadap LDK. Dengan sukarela, berbagai kegiatan-kegiatannya mulai rutin kuikuti. Hebatnya, apresiasi mereka luar biasa. Aku akhirnya benar-benar sadar bahwa selama ini aku hanya mendengar fitnah belaka tanpa mau meng-crosscheck kebenarannya.
Alhamdulillah, sekarang aku masih aktif di LDF fakultasku. Semoga Allah senantiasa menghidayahi para pejuang dakwah untuk tetap istiqamah di jalanNya, seberat apapun cobaan menghadang. Ya mutsabbital quluub, tsabbit quluubanaa ‘alaa diiniKa wa ‘alaa thaa’atiKa. []
Penulia : Yulifhirmarijal
Aceh Besar, Provinsi Aceh
Ceritanya bermula sejak semester satu. Waktu itu, aku sedang mengurus permohonan beasiswa bagi mahasiswa baru. Entah siapa yang pertama kali menghembuskan isu bahwa pengurusan beasiswa harus melalui himpunan mahasiswa jurusan (selanjutnya disingkat HMJ). Jika tidak, maka berkas itu tidak akan diterima. Kelak setahun kemudian aku tahu ini hanya akal-akalan pengurus HMJ saja agar kami, mahasiswa baru, bisa dipaksakan ikut mendaftar ospek di jurusan.
Nah, ketika mengantarkan berkas beasiswa ke kantor HMJ itulah, aku pertama kali mendengar ada organisasi kampus bernama lembaga dakwah kampus (selanjutnya disingkat LDK). Sayangnya, pandangan-pandangan negatiflah yang pertama kali diperdengarkan oleh senior saya itu. Terlalu hina rasanya jika fitnah-fitnah itu kutuliskan di sini.
Selang satu tahun, fitnah itu kutelan bulat-bulat. Tidak ada kajian-kajian keislaman yang kuikuti. Bahkan, ajakan teman untuk mengikuti open recruitment-nya LDK kutolak mentah-mentah. Kondisi ini terus berlanjut hingga pertengahan semester empat.
Menjelang ujian tengah semester itulah, aku tersadarkan dengan fakta bahwa hanya LDF (LDK-nya fakultas)-lah satu-satunya UKM yang aktif dan konsisten menjalankan berbagai prokernya. Sementara UKM lainnya mati suri, LDF terus menjalankan berbagai program-program atraktif serta sesuai kebutuhan mahasiswa.
Satu hal yang paling menarik perhatianku adalah pameran pendidikan yang digelar LDF. Ada berbagai lomba yang diperlombakan. Dua bidang yang paling kuminati adalah lomba tahfidz juz 30 dan lomba menulis opini pendidikan Islam. Lomba tahfidz juz paling akhir itu kuikuti karena memang sudah kuhafal semuanya. Maklum, aku adalah lulusan sebuah sekolah unggulan yang mewajibkan alumninya menghafal minimal juz ‘Amma. Nah, kupikir ini saatnya untuk menyegarkan kembali hafalanku. Sedangkan lomba menulis opini kuikuti karena ingin mengasah kemampuan menulis. Temanyapun cukup menggelitik rasa ingin tahuku: “Pendidikan dalam Kacamata Islam”.
Maka, sekitar seminggu setelah mendaftarkan diri, aktivitasku bertambah. Jika selama ini aku hanya kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang), maka dalam rentang waktu itu kesibukanku bertambah dengan memuraja’ah hafalan (harus kuakui sejak tamat SMA, aku hampir tidak pernah memuraja’ah hafalanku lagi) dan mencari-cari bacaan diperpustakaan terkait pendidikan Islam. Walhasil, usahaku tidak sia-sia. Di hari penutupan pameran, aku diumumkan mendapat peringkat 2 di kedua bidang itu. Tapi, bukan itu bagian menariknya. Keramahtamahan panitia sejak hari lomba yang terus berlanjut hingga hari-hari setelahnya diam-diam membuatku salut. Bahwa orientasi pelaksanaan program itu bukan untuk mencari keuntungan semata –pencitraan maupun finansial, tapi lebih kepada pembinaan ukhuwwah antar sesama mahasiswa. Bahwa pameran pendidikan itu bukan hanya sekedar menuntaskan proker semata tapi betul-betul serius dijadikan sebagai ajang untuk menekankan pemahaman kepada mahasiswa tentang perlunya mengenal Islam secara mendalam.
Mungkin hal inilah yang secara otomatis mengubah pandanganku terhadap LDK. Dengan sukarela, berbagai kegiatan-kegiatannya mulai rutin kuikuti. Hebatnya, apresiasi mereka luar biasa. Aku akhirnya benar-benar sadar bahwa selama ini aku hanya mendengar fitnah belaka tanpa mau meng-crosscheck kebenarannya.
Alhamdulillah, sekarang aku masih aktif di LDF fakultasku. Semoga Allah senantiasa menghidayahi para pejuang dakwah untuk tetap istiqamah di jalanNya, seberat apapun cobaan menghadang. Ya mutsabbital quluub, tsabbit quluubanaa ‘alaa diiniKa wa ‘alaa thaa’atiKa. []
Penulia : Yulifhirmarijal
Aceh Besar, Provinsi Aceh
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar