Ketika kuliah di kampus, banyak sekali alasan-alasan yang saya kemukakan untuk menolak amanah menjadi seorang kakak mentor. Ilmu yang masih cetek lah, masih ingin memperbaiki diri sendiri, sikap yang tidak menunjukkan sebagai seorang kakak yang patut diteladani, dan berbagai alasan klasik lainnya. Namun terkadang tetap saja ada keinginan dari dalam diri untuk bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain, khususnya ilmu yang bermanfaat untuk kepentingan akhirat.
Salah satu pengalaman mengisi rohis di salah satu SMK di Jakarta Pusat yaitu ketika sedang menyampaikan materi, salah seorang adik rohis menjelaskan tentang mazhab imam yang empat, namun ia lupa nama-nama imam tersebut. Karena saya sendiri juga lupa, maka materi langsung saya lanjutkan. Malu rasanya ketika menyadari bahwa saya sendiri pun masih belum paham siapa-siapa saja imam yang empat itu, hanya sekedar tahu ada empat imam tersebut. Dari dalam hati seolah-olah ada suara yang berkata: “Nama imam yang empat saja nggak inget, bagaimana mungkin kamu mengisi rohis di sini? Kamu nggak pantes, ilmu kamu masih jauh! Lebih baik berhenti mengisi rohis atau jadi kakak mentor, perbaiki saja diri kamu sendiri!”
Bisikan-bisikan seperti itu bukannya sekali-dua kali saja, tetapi sangat sering datang menggoyahkan iman. Namun sedikit demi sedikit, pengalaman tersebut semakin memberikan pemahaman kepada saya bahwa dakwah itu tidak hanya menyeru orang lain untuk kembali kepada Allah, tetapi juga menyeru sang da’i itu sendiri untuk semakin memperbaiki diri agar dekat dengan Allah. Hal ini semakin saya sadari ketika sepulangnya dari mengisi rohis tersebut, ada dorongan yang kuat agar saya membaca kembali mengenai imam yang empat tersebut dan mempelajari kembali sejarah-sejarah islam yang sempat terlupakan.
Pendakwah yang didakwahi, itulah yang saya rasakan. Ketika memutaba’ah amalan adik-adik tersebut, banyak hal yang patut saya ambil dan perhatikan sebagai masukan untuk diri sendiri. Ada adik rohis yang mengatakan, “Gimana mau sholat kak, orang-orang di rumah saya saja nggak sholat. Begitunya mau sholat atau ngaji, malah di cie-cie-in”. Dari sini saya semakin paham bahwa tidak semua orang berkesempatan mendapatkan pendidikan agama yang memadai dari keluarga dan lingkungannya. Sehingga sudah sepatutnya kita yang ketika kecil dulu dimasukkan ke TPA (Taman Pendidikan Al-quran) oleh orangtua mesti bersyukur.
Kemudian ada lagi yang berkata, “Kak, sholat saya minggu ini cuma bolong segini lho...” Atau yang semangat membaca al-quran berkata, “Kak, saya mau ngaji dulu, kakak dengerin ya, materinya ntar aja,” katanya sambil rebutan membaca Al Qur'an dengan teman-temannya. Hal seperti inilah yang kadang menimbulkan perasaan senang dan cemburu. Senang melihat adik-adik yang begitu semangat memperbaiki sholatnya dan cemburu melihat mereka yang semangat belajar membaca al-quran meski terbata-bata, sehingga memotivasi saya juga untuk menjaga interaksi dengan al-quran. Secara tidak langsung, ketika menyampaikan ilmu yang saya dapatkan kepada adik-adik tersebut, justru membuat saya merasa didakwahi dengan lisan saya sendiri dan respon dari mereka.
Adalagi hal-hal yang kadang cukup menohok, misalnya ketika seorang adik binaan berkata, “Kak, tahajud saya minggu ini cuma dua kali. Susah bangun malamnya, bangun-bangun sudah adzan subuh saja.” Atau yang mengatakan, “Kak, saya mau pake jilbab sekarang walaupun banyak godaannya, doain ya kak,” dan hal lainnya yang membuat saya lebih banyak mengoreksi diri sendiri, sudahkah saya memperbaiki ibadah saya terlebih dahulu dan menjalankan apa yang saya sampaikan kepada mereka?
Dari beberapa pengalaman tersebut, ternyata banyak sekali orang-orang yang sebenarnya sangat ingin memperbaiki ibadahnya, baik itu sholat, puasa ramadhan, bacaan al-quran, penggunaan hijab, dan lainnya. Hanya saja terkadang mereka butuh sosok yang bisa mengingatkan dan menguatkan ketika iman mulai turun. Mengingatkan ketika salah, menguatkan ketika lemah, dan meneguhkan ketika ragu.
Kita tidak perlu menunggu sempurna untuk mengajak orang lain mendekatkan diri kepada Allah. Karena ketika kita ikhlas untuk Allah, dengan proses mengajak itu sendiri pun Allah akan membantu untuk memperbaiki diri kita sendiri agar dekat denganNya, insyaAllah.
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S An-Nahl: 96) []
Penulis : Arini Fitrias Rusli
Jakarta Timur
Salah satu pengalaman mengisi rohis di salah satu SMK di Jakarta Pusat yaitu ketika sedang menyampaikan materi, salah seorang adik rohis menjelaskan tentang mazhab imam yang empat, namun ia lupa nama-nama imam tersebut. Karena saya sendiri juga lupa, maka materi langsung saya lanjutkan. Malu rasanya ketika menyadari bahwa saya sendiri pun masih belum paham siapa-siapa saja imam yang empat itu, hanya sekedar tahu ada empat imam tersebut. Dari dalam hati seolah-olah ada suara yang berkata: “Nama imam yang empat saja nggak inget, bagaimana mungkin kamu mengisi rohis di sini? Kamu nggak pantes, ilmu kamu masih jauh! Lebih baik berhenti mengisi rohis atau jadi kakak mentor, perbaiki saja diri kamu sendiri!”
Bisikan-bisikan seperti itu bukannya sekali-dua kali saja, tetapi sangat sering datang menggoyahkan iman. Namun sedikit demi sedikit, pengalaman tersebut semakin memberikan pemahaman kepada saya bahwa dakwah itu tidak hanya menyeru orang lain untuk kembali kepada Allah, tetapi juga menyeru sang da’i itu sendiri untuk semakin memperbaiki diri agar dekat dengan Allah. Hal ini semakin saya sadari ketika sepulangnya dari mengisi rohis tersebut, ada dorongan yang kuat agar saya membaca kembali mengenai imam yang empat tersebut dan mempelajari kembali sejarah-sejarah islam yang sempat terlupakan.
Pendakwah yang didakwahi, itulah yang saya rasakan. Ketika memutaba’ah amalan adik-adik tersebut, banyak hal yang patut saya ambil dan perhatikan sebagai masukan untuk diri sendiri. Ada adik rohis yang mengatakan, “Gimana mau sholat kak, orang-orang di rumah saya saja nggak sholat. Begitunya mau sholat atau ngaji, malah di cie-cie-in”. Dari sini saya semakin paham bahwa tidak semua orang berkesempatan mendapatkan pendidikan agama yang memadai dari keluarga dan lingkungannya. Sehingga sudah sepatutnya kita yang ketika kecil dulu dimasukkan ke TPA (Taman Pendidikan Al-quran) oleh orangtua mesti bersyukur.
Kemudian ada lagi yang berkata, “Kak, sholat saya minggu ini cuma bolong segini lho...” Atau yang semangat membaca al-quran berkata, “Kak, saya mau ngaji dulu, kakak dengerin ya, materinya ntar aja,” katanya sambil rebutan membaca Al Qur'an dengan teman-temannya. Hal seperti inilah yang kadang menimbulkan perasaan senang dan cemburu. Senang melihat adik-adik yang begitu semangat memperbaiki sholatnya dan cemburu melihat mereka yang semangat belajar membaca al-quran meski terbata-bata, sehingga memotivasi saya juga untuk menjaga interaksi dengan al-quran. Secara tidak langsung, ketika menyampaikan ilmu yang saya dapatkan kepada adik-adik tersebut, justru membuat saya merasa didakwahi dengan lisan saya sendiri dan respon dari mereka.
Adalagi hal-hal yang kadang cukup menohok, misalnya ketika seorang adik binaan berkata, “Kak, tahajud saya minggu ini cuma dua kali. Susah bangun malamnya, bangun-bangun sudah adzan subuh saja.” Atau yang mengatakan, “Kak, saya mau pake jilbab sekarang walaupun banyak godaannya, doain ya kak,” dan hal lainnya yang membuat saya lebih banyak mengoreksi diri sendiri, sudahkah saya memperbaiki ibadah saya terlebih dahulu dan menjalankan apa yang saya sampaikan kepada mereka?
Dari beberapa pengalaman tersebut, ternyata banyak sekali orang-orang yang sebenarnya sangat ingin memperbaiki ibadahnya, baik itu sholat, puasa ramadhan, bacaan al-quran, penggunaan hijab, dan lainnya. Hanya saja terkadang mereka butuh sosok yang bisa mengingatkan dan menguatkan ketika iman mulai turun. Mengingatkan ketika salah, menguatkan ketika lemah, dan meneguhkan ketika ragu.
Kita tidak perlu menunggu sempurna untuk mengajak orang lain mendekatkan diri kepada Allah. Karena ketika kita ikhlas untuk Allah, dengan proses mengajak itu sendiri pun Allah akan membantu untuk memperbaiki diri kita sendiri agar dekat denganNya, insyaAllah.
“Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.S An-Nahl: 96) []
Penulis : Arini Fitrias Rusli
Jakarta Timur
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar