Dalam pikiranku yang kelam, saya termenung apakah saya harus mengambil jurusan ini? Apakah ini jalan hidupku? Setelah begitu banyak pertimbangan, saya memutuskan untuk mengambil kuliah jurusan keguruan di salah satu perguruan tinggi negeri, walaupun saya tidak mengerti darimana munculnya keyakinan itu. Akan tetapi, disinilah saya memulai mengenal Islam lebih jauh dan perlahan-lahan memahaminya secara keseluruhan, sehingga baru saya menyadari bahwa saya adalah salah satu dari obyek dakwah itu sendiri.
Hal ini bermula, ketika saya menginjakkan kaki di kampus tersebut sebagai mahasiswa baru yang mengikuti kegiatan P2K (Pengenalan Program Kampus). Pandanganku mencari dimana barisan jurusanku, tetapi mataku tertuju satu hal yang menurutku aneh, sehingga terbesit dipemikiranku “Mengapa panitia perempuan rata-rata berjilbab? Ini sebenarnya kampus atau pesantren? Apakah nanti saya harus berpakaian seperti itu juga?” Hatiku menjawab: “saya tidak ingin seperti itu apalagi menggunakan jilbab, pasti sulit pakai jilbab!” Kemudian saya menepis pemikiran itu,karena saya harus segera mencari barisanku. Akhirnya dengan nafas yang tersengal-sengal, saya menemukannya dan ternyata, di jurusanku dengan 5 laki-laki dan 31 perempuan, hanya 6 perempuan yang tidak menggunakan jilbab, salah satunya adalah saya. “Biarin sajalah, saya adalah saya”, demikian kata hatiku saat itu.
Kegiatan P2K selesai dengan lancar. Sebelum pulang kami diabsen oleh panitia dan salah satu panitia perempuan menunjukkan tangannya ke arahku dan bertanya “Dek, agamanya Kristen?” Saya kaget dan menjawab “Bukan mbak, saya Islam.” Kemudian mbak itu pergi tanpa ada satu katapun yang terucap dan saya termenung dengan lamunanku sendiri “Hmm, gara-gara saya tidak berjilbab dianggap Kristen, apakah orang Islam itu harus berjilbab?”
Seiring perjalananku menuju rumah, saya dikagetkan lagi, tiba-tiba ada yang menegurku dari jarak jauh dan sambil mendekatiku, “Assalammualaikum, kamu yang tadi satu kelas denganku? kata wanita itu”.
“Mmm, iya ya?”, jawabku.
“Iya, tadi kamu barisnya di depanku. Kenalkan, namaku Bunga”.
“Ouw iya, namaku Desty, salam kenal juga”
“Nanti kita bertemu lagi ya”
“OK lah, sampai bertemu lagi,” jawabku mengakhiri perkenalan pertama saya dengan Bunga, yang kelak menjadi salah satu orang yang berpengaruh besar dalam perubahan hidupku.
Kamipun berteman dengan baik, tetapi sering timbul pertanyaan karena menurutku pertama kalinya saya mempunyai teman seperti Bunga, teman yang cara berpakaiannya sudah sangat berbeda dibandingkan dengan teman-temanku sebelumnya. Bukan hanya Bunga, ada juga sebagian teman di kelas yang berpakaiannya sama seperti Bunga, yang sering kali kupertanyakan, ”Mengapa jilbabnya panjang sampai menutupi dada dan sampai menjulur ke belakang, sedangkan yang sering kulihat jilbab yang pendek dan modis?” Bahkan bukan hanya di kelas, melainkan sebagian di kampus berpakaian seperti itu, walaupun tidak terlalu banyak, tetapi menonjol dan menjadi pusat perhatianku. Meski kepalaku penuh dengan pertanyaan seperti itu, saya tetap saja kokoh dengan pemikiranku sendiri yaitu saya adalah saya, terserah apa yang ada di sekitarku. Akan tetapi semuanya runtuh secara bertahap, saya mulai ragu dengan pemikiranku sendiri. Hal itu terjadi, ketika adanya kegiatan kampus yang harus diikuti oleh mahasiswa baru yaitu “Go Amkai atau Mentoring” yang dilaksanakan pada hari Sabtu. Pada hari sebelumnya sudah ada selebaran yang menginformasikan kegiatan tersebut dan ada salah satu opini di selembaran tersebut kalau setiap hari Jum’at menggunakan jilbab. Hal itu, saya tanyakan kepada Bunga dan akhirnya saya memutuskan untuk berjilbab di hari Jum’at saja karena mengikuti apa yang disampaikan panitia kepada Bunga sebab saya berfikir tidak ingin bermasalah dengan panitia. Akan tetapi, teman di kelas kaget melihat saya, mereka berfikir saya sudah berjilbab dan mengatakan selamat kepada saya. Saya terpaku diam di kelas, ingin sekali mengatakan kalau saya belum berjilbab alias salah pakai kostum, namun satu katapun tidak terucap, mulut ini bagaikan terkunci tidak bisa mengatakan atau menyangkal apapun. Ketika hari esoknya, kegiatan Amkai dimulai dan saya menggunakan jilbab lagi karena tuntutan panitia. Hal itu semakin membuat keyakinan teman-teman saya kalau saya berjilbab. Akhirnya, saya memutuskan untuk berjilbab. Meskipun saya sudah berjilbab, tetap saja saya merasa aneh dengan lingkungan saya sendiri. Jilbab yang saya gunakan adalah jilbab yang pendek, tidak menutupi dada dan transparan serta cara berpakaian saya tetap menggunakan jeans dan jauh untuk menggunakan kaos kaki.
Kemudian saya juga mengikuti mentoring karena tuntutan nilai agama. Berjalannya waktu, mentoring telah selesai dan selanjutnya yaitu liqo. Akan tetapi, saya tidak mengikuti liqo karena saya berfikir, mungkin saja itu aliran sesat yang nanti bisa menjerumuskan saya ke hal yang negatif. Pemikiran itulah, yang saya pegang. Meski akhirnya, mulai berangsur berubah ketika saya memutuskan bergabung di BEM. Saya bertemu dengan mbak-mbak yang jilbabnya lebih panjang dari teman-teman saya dan salah satu dari mereka mengatakan pada saya, “Ngaji tidak?” Saya hanya tersenyum saja ketika mendengar itu, mbak itu berekspresi seolah-olah sudah mengerti arti senyum saya dan mbak itu mengatakan, “Jika ingin mendapat suami yang baik, maka jadilah perempuan yang baik”.
“Mengapa seperti itu mbak, saya kan belum ingin menikah, apa hubungannya?”, jawabku. Mbak itu hanya tersenyum, sambil menjawab, “Makanya, ngajilah!” Mendengar itu saya kaget, hati ini terasa sakit, di fikiranku hanya terlewat, ”Mengapa seperti itu, saya perempuan baik-baik dan keluargaku juga baik-baik, apa hubungannya?” Saya hanya merasa terhina dari perkataan mbak itu, tanpa sadar air mata menetes tidak bisa menahan lagi rasa sakit tersebut. Sayapun pergi bertemu dengan Bunga dan menceritakan itu semua sambil menangis, entah darimana pemikiran itu, tiba-tiba saya mengatakan pada Bunga bahwa saya memutuskan untuk ikut liqo, saya hanya berfikir saya akan membuktikan, bahwa saya adalah perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Akhirnya, Bunga yang mendengar itu menyampaikan maksud saya kepada orang yang tepat untuk mendakwahi saya. Sejak saat itulah, satu persatu saya mulai berubah dimulai dari cara berjilbab, berpakaian, pemahaman mengenai Islam serta konsep mengenai dakwah itu sendiri.[]
Penulis : Desty Rina Purnamasari
Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Hal ini bermula, ketika saya menginjakkan kaki di kampus tersebut sebagai mahasiswa baru yang mengikuti kegiatan P2K (Pengenalan Program Kampus). Pandanganku mencari dimana barisan jurusanku, tetapi mataku tertuju satu hal yang menurutku aneh, sehingga terbesit dipemikiranku “Mengapa panitia perempuan rata-rata berjilbab? Ini sebenarnya kampus atau pesantren? Apakah nanti saya harus berpakaian seperti itu juga?” Hatiku menjawab: “saya tidak ingin seperti itu apalagi menggunakan jilbab, pasti sulit pakai jilbab!” Kemudian saya menepis pemikiran itu,karena saya harus segera mencari barisanku. Akhirnya dengan nafas yang tersengal-sengal, saya menemukannya dan ternyata, di jurusanku dengan 5 laki-laki dan 31 perempuan, hanya 6 perempuan yang tidak menggunakan jilbab, salah satunya adalah saya. “Biarin sajalah, saya adalah saya”, demikian kata hatiku saat itu.
Kegiatan P2K selesai dengan lancar. Sebelum pulang kami diabsen oleh panitia dan salah satu panitia perempuan menunjukkan tangannya ke arahku dan bertanya “Dek, agamanya Kristen?” Saya kaget dan menjawab “Bukan mbak, saya Islam.” Kemudian mbak itu pergi tanpa ada satu katapun yang terucap dan saya termenung dengan lamunanku sendiri “Hmm, gara-gara saya tidak berjilbab dianggap Kristen, apakah orang Islam itu harus berjilbab?”
Seiring perjalananku menuju rumah, saya dikagetkan lagi, tiba-tiba ada yang menegurku dari jarak jauh dan sambil mendekatiku, “Assalammualaikum, kamu yang tadi satu kelas denganku? kata wanita itu”.
“Mmm, iya ya?”, jawabku.
“Iya, tadi kamu barisnya di depanku. Kenalkan, namaku Bunga”.
“Ouw iya, namaku Desty, salam kenal juga”
“Nanti kita bertemu lagi ya”
“OK lah, sampai bertemu lagi,” jawabku mengakhiri perkenalan pertama saya dengan Bunga, yang kelak menjadi salah satu orang yang berpengaruh besar dalam perubahan hidupku.
Kamipun berteman dengan baik, tetapi sering timbul pertanyaan karena menurutku pertama kalinya saya mempunyai teman seperti Bunga, teman yang cara berpakaiannya sudah sangat berbeda dibandingkan dengan teman-temanku sebelumnya. Bukan hanya Bunga, ada juga sebagian teman di kelas yang berpakaiannya sama seperti Bunga, yang sering kali kupertanyakan, ”Mengapa jilbabnya panjang sampai menutupi dada dan sampai menjulur ke belakang, sedangkan yang sering kulihat jilbab yang pendek dan modis?” Bahkan bukan hanya di kelas, melainkan sebagian di kampus berpakaian seperti itu, walaupun tidak terlalu banyak, tetapi menonjol dan menjadi pusat perhatianku. Meski kepalaku penuh dengan pertanyaan seperti itu, saya tetap saja kokoh dengan pemikiranku sendiri yaitu saya adalah saya, terserah apa yang ada di sekitarku. Akan tetapi semuanya runtuh secara bertahap, saya mulai ragu dengan pemikiranku sendiri. Hal itu terjadi, ketika adanya kegiatan kampus yang harus diikuti oleh mahasiswa baru yaitu “Go Amkai atau Mentoring” yang dilaksanakan pada hari Sabtu. Pada hari sebelumnya sudah ada selebaran yang menginformasikan kegiatan tersebut dan ada salah satu opini di selembaran tersebut kalau setiap hari Jum’at menggunakan jilbab. Hal itu, saya tanyakan kepada Bunga dan akhirnya saya memutuskan untuk berjilbab di hari Jum’at saja karena mengikuti apa yang disampaikan panitia kepada Bunga sebab saya berfikir tidak ingin bermasalah dengan panitia. Akan tetapi, teman di kelas kaget melihat saya, mereka berfikir saya sudah berjilbab dan mengatakan selamat kepada saya. Saya terpaku diam di kelas, ingin sekali mengatakan kalau saya belum berjilbab alias salah pakai kostum, namun satu katapun tidak terucap, mulut ini bagaikan terkunci tidak bisa mengatakan atau menyangkal apapun. Ketika hari esoknya, kegiatan Amkai dimulai dan saya menggunakan jilbab lagi karena tuntutan panitia. Hal itu semakin membuat keyakinan teman-teman saya kalau saya berjilbab. Akhirnya, saya memutuskan untuk berjilbab. Meskipun saya sudah berjilbab, tetap saja saya merasa aneh dengan lingkungan saya sendiri. Jilbab yang saya gunakan adalah jilbab yang pendek, tidak menutupi dada dan transparan serta cara berpakaian saya tetap menggunakan jeans dan jauh untuk menggunakan kaos kaki.
Kemudian saya juga mengikuti mentoring karena tuntutan nilai agama. Berjalannya waktu, mentoring telah selesai dan selanjutnya yaitu liqo. Akan tetapi, saya tidak mengikuti liqo karena saya berfikir, mungkin saja itu aliran sesat yang nanti bisa menjerumuskan saya ke hal yang negatif. Pemikiran itulah, yang saya pegang. Meski akhirnya, mulai berangsur berubah ketika saya memutuskan bergabung di BEM. Saya bertemu dengan mbak-mbak yang jilbabnya lebih panjang dari teman-teman saya dan salah satu dari mereka mengatakan pada saya, “Ngaji tidak?” Saya hanya tersenyum saja ketika mendengar itu, mbak itu berekspresi seolah-olah sudah mengerti arti senyum saya dan mbak itu mengatakan, “Jika ingin mendapat suami yang baik, maka jadilah perempuan yang baik”.
“Mengapa seperti itu mbak, saya kan belum ingin menikah, apa hubungannya?”, jawabku. Mbak itu hanya tersenyum, sambil menjawab, “Makanya, ngajilah!” Mendengar itu saya kaget, hati ini terasa sakit, di fikiranku hanya terlewat, ”Mengapa seperti itu, saya perempuan baik-baik dan keluargaku juga baik-baik, apa hubungannya?” Saya hanya merasa terhina dari perkataan mbak itu, tanpa sadar air mata menetes tidak bisa menahan lagi rasa sakit tersebut. Sayapun pergi bertemu dengan Bunga dan menceritakan itu semua sambil menangis, entah darimana pemikiran itu, tiba-tiba saya mengatakan pada Bunga bahwa saya memutuskan untuk ikut liqo, saya hanya berfikir saya akan membuktikan, bahwa saya adalah perempuan baik-baik dan dari keluarga baik-baik. Akhirnya, Bunga yang mendengar itu menyampaikan maksud saya kepada orang yang tepat untuk mendakwahi saya. Sejak saat itulah, satu persatu saya mulai berubah dimulai dari cara berjilbab, berpakaian, pemahaman mengenai Islam serta konsep mengenai dakwah itu sendiri.[]
Penulis : Desty Rina Purnamasari
Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar