Masih tersimpan rapi sebuah pesan singkat dari seorang sahabat, “Jika engkau merasa bahwa segala yang ada di sekitarmu gelap dan pekat, tidakkah dirimu curiga bahwa engkaulah yang dikirim oleh Allah untuk menjadi cahaya bagi mereka? Berhentilah mengeluhkan kegelapan itu, sebab sinarmulah yang sedang mereka nantikan, maka berkilaulah.” Ya, kalimat ini senantiasa kubaca berulang-ulang, untuk mengobati hati yang kadang duka, seperti saat Jum’at siang itu.
Biasanya, setiap Jum’at kami mengikuti halaqah di sebuah masjid sekitar kampus. Sepulang kuliah, aku dan temanku tidak langsung ke sana, kami pulang terlebih dahulu untuk mengisi perut yang sudah berorasi. Karena jarak rumahku ke kampus yang cukup jauh, aku biasa mampir ke rumahnya. Selesai makan, aku pun bergegas untuk pergi mengikuti halaqah. Sambil bersiap, sempat kulirik temanku yang tampak santai di tempat tidurnya. Tanpa berpikir panjang aku pun bertanya, “Kamu gak ikut liqa’?” Dia hanya menggeleng, memperlihatkan raut wajah yang mengantuk.
Aku yang tak ingin memaksa, hanya bisa diam seribu bahasa. Namun aku juga tak pandai menyembunyikan kekecewaanku padanya. “Biarlah dia melihat kekecewaanku.” Tuturku dalam hati. Tanpa menunggu lama, akupun segera pergi sendirian. Meski saat itu matahari begitu terik, namun tak mampu mengahangatkan hatiku yang basah oleh duka. Saat itu aku belum memiliki kendaraan pribadi, “Ah tak mengapa naik kendaraan umum yang penting bisa sampai ke tujuan.” Pikirku. Sontak akupun tersadar, dengan cepat mataku melihat jam tangan pemberian saudaraku, tepat pukul 12.30. “Astaghfirullah, bukankah sudah tidak ada lagi angkutan umum jam segini?” Mulutku terlihat komat-kamit berbicara sendiri. Sebenarnya, tak mengapa jika aku harus berjalan kaki kesana. Namun aku bisa menghabiskan waktu 1 jam jika hanya bermodalkan jalan kaki. Sementara ustadzah sudah berada di sana sejak pukul 12.15 tadi. Tidak mungkin kubiarkan dia menunggu begitu lama.
Setapak demi setapak kulalui sambil merajut asa, berharap ada keajaiban dari-Nya. Tak perlu menunggu lama, Allah pun berikan kemudahan-Nya. Ya, seorang wanita berhenti tepat di depanku dengan sepeda motornya. Tanpa basa-basi, ia pun segera menyuguhkan tumpangannya untukku. “Mau kemana?” Tanyanya padaku yang tak henti mengucap syukur dalam hati. “Mau ke Mesjid di depan kampus.” Kulihat anggukannya dari belakang, tanda ia setuju mengantarkanku ke sana. Tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua telah diatur oleh-Nya, termasuk tumpangan gratis yang aku dapatkan ini.
Tibalah aku di tempat tujuan, sudah terlihat sosok wanita yang sedang melemparkan senyum tulusnya ke arahku. Wajahnya terlihat teduh dalam tampilannya yang sederhana. Kuucapkan salam padanya, kujabat tangannya yang hangat, serasa ada energi yang mengalir ke raga ini. Tanpa ada kata yang terucap, dia terus memandangiku. Ya, mataku mulai berkaca, kesedihanku pecah dalam genggaman tangannya. Kuceritakan apa yang kualami, bukan karena aku harus sempat berjalan kaki lantas membuatku bersedih, namun karena ia adalah sahabatku. Aku merasa tidak berhasil menjadi teman yang baik untuknya. Tak masalah jika aku harus menunggunya mengerjakan sesuatu terlebih dahulu sebelum kami pergi halaqah, tak masalah jika aku harus menjemputnya dan mengantarnya sepulang halaqah. Asalkan dia mau pergi bersamaku. Pergi bersama merajut asa dalam dakwah. Namun ustadzahku yang satu ini sangat tau harus berkata apa, “Paman Nabi Muhammad, tidak sempat memeluk Islam sebelum ia meninggal, tidak ada seorang pun yang bisa membuka pintu hati seseorang kecuali Allah SWT. Kita hanya mampu berusaha, tapi segalanya Allah yang menentukan. Jangan menyerah, teruslah saling menasehati dalam kebaikan dengan penuh kesabaran.”
Kata penguat dari ustadzah tercinta, mampu menembus lorong waktu begitu cepat. Membawa semangat menuju tempat berperang, bagai panah yang ingin segera lepas dari busurnya. Tapi kali ini, aku akan melepaskan panah-panah penguat ukhuwah untuk para generasi Islam. Kumulai dengan mengirim pesan lewat sms setiap kali ada pengajian, bertanya dan memastikan akan kedatangannya, mencoba mendengar segala keluh kesahnya, menjadikan pundak ini untuk sandarannya kala duka. Dan ternyata, kesabaran pun siap diuji, komitmen siap dipertaruhkan, halaqah selanjutnya masih belum terisi oleh semua saudaraku tercinta, ada dari mereka yang kelupaan, menjadikan hujan sebagai benteng alasan. Bahkan ada juga yang tidak ingin bergabung lagi. Alasan diri yang belum siap. Bukankah ajal tak pernah menunggu kita sampai siap? Namun, itu semua lantas tak membuat ku mematung, berdiam diri begitu saja. Komunikasi yang rutin kini tak boleh hanya lewat media, tapi juga harus bertatap muka, dengan saling berjabat tangan, rangkulan yang membagi energi sampai asa terajut menjadi sebuah kenyataan indah.
Seiring berjalannya waktu dengan doa dan ikhtiar bersama, kini semua sahabatku telah kembali lagi dalam dekapan ukhuwah dan Allah telah mengeratkannya bersama pejuang-pejuang dakwah yang baru, semoga Allah menjadikan kami istiqamah merajut asa dalam dakwah dijalan-Nya. Aamiin. []
Penulis : Fauziah
Banda Aceh
Biasanya, setiap Jum’at kami mengikuti halaqah di sebuah masjid sekitar kampus. Sepulang kuliah, aku dan temanku tidak langsung ke sana, kami pulang terlebih dahulu untuk mengisi perut yang sudah berorasi. Karena jarak rumahku ke kampus yang cukup jauh, aku biasa mampir ke rumahnya. Selesai makan, aku pun bergegas untuk pergi mengikuti halaqah. Sambil bersiap, sempat kulirik temanku yang tampak santai di tempat tidurnya. Tanpa berpikir panjang aku pun bertanya, “Kamu gak ikut liqa’?” Dia hanya menggeleng, memperlihatkan raut wajah yang mengantuk.
Aku yang tak ingin memaksa, hanya bisa diam seribu bahasa. Namun aku juga tak pandai menyembunyikan kekecewaanku padanya. “Biarlah dia melihat kekecewaanku.” Tuturku dalam hati. Tanpa menunggu lama, akupun segera pergi sendirian. Meski saat itu matahari begitu terik, namun tak mampu mengahangatkan hatiku yang basah oleh duka. Saat itu aku belum memiliki kendaraan pribadi, “Ah tak mengapa naik kendaraan umum yang penting bisa sampai ke tujuan.” Pikirku. Sontak akupun tersadar, dengan cepat mataku melihat jam tangan pemberian saudaraku, tepat pukul 12.30. “Astaghfirullah, bukankah sudah tidak ada lagi angkutan umum jam segini?” Mulutku terlihat komat-kamit berbicara sendiri. Sebenarnya, tak mengapa jika aku harus berjalan kaki kesana. Namun aku bisa menghabiskan waktu 1 jam jika hanya bermodalkan jalan kaki. Sementara ustadzah sudah berada di sana sejak pukul 12.15 tadi. Tidak mungkin kubiarkan dia menunggu begitu lama.
Setapak demi setapak kulalui sambil merajut asa, berharap ada keajaiban dari-Nya. Tak perlu menunggu lama, Allah pun berikan kemudahan-Nya. Ya, seorang wanita berhenti tepat di depanku dengan sepeda motornya. Tanpa basa-basi, ia pun segera menyuguhkan tumpangannya untukku. “Mau kemana?” Tanyanya padaku yang tak henti mengucap syukur dalam hati. “Mau ke Mesjid di depan kampus.” Kulihat anggukannya dari belakang, tanda ia setuju mengantarkanku ke sana. Tak ada yang kebetulan di dunia ini, semua telah diatur oleh-Nya, termasuk tumpangan gratis yang aku dapatkan ini.
Tibalah aku di tempat tujuan, sudah terlihat sosok wanita yang sedang melemparkan senyum tulusnya ke arahku. Wajahnya terlihat teduh dalam tampilannya yang sederhana. Kuucapkan salam padanya, kujabat tangannya yang hangat, serasa ada energi yang mengalir ke raga ini. Tanpa ada kata yang terucap, dia terus memandangiku. Ya, mataku mulai berkaca, kesedihanku pecah dalam genggaman tangannya. Kuceritakan apa yang kualami, bukan karena aku harus sempat berjalan kaki lantas membuatku bersedih, namun karena ia adalah sahabatku. Aku merasa tidak berhasil menjadi teman yang baik untuknya. Tak masalah jika aku harus menunggunya mengerjakan sesuatu terlebih dahulu sebelum kami pergi halaqah, tak masalah jika aku harus menjemputnya dan mengantarnya sepulang halaqah. Asalkan dia mau pergi bersamaku. Pergi bersama merajut asa dalam dakwah. Namun ustadzahku yang satu ini sangat tau harus berkata apa, “Paman Nabi Muhammad, tidak sempat memeluk Islam sebelum ia meninggal, tidak ada seorang pun yang bisa membuka pintu hati seseorang kecuali Allah SWT. Kita hanya mampu berusaha, tapi segalanya Allah yang menentukan. Jangan menyerah, teruslah saling menasehati dalam kebaikan dengan penuh kesabaran.”
Kata penguat dari ustadzah tercinta, mampu menembus lorong waktu begitu cepat. Membawa semangat menuju tempat berperang, bagai panah yang ingin segera lepas dari busurnya. Tapi kali ini, aku akan melepaskan panah-panah penguat ukhuwah untuk para generasi Islam. Kumulai dengan mengirim pesan lewat sms setiap kali ada pengajian, bertanya dan memastikan akan kedatangannya, mencoba mendengar segala keluh kesahnya, menjadikan pundak ini untuk sandarannya kala duka. Dan ternyata, kesabaran pun siap diuji, komitmen siap dipertaruhkan, halaqah selanjutnya masih belum terisi oleh semua saudaraku tercinta, ada dari mereka yang kelupaan, menjadikan hujan sebagai benteng alasan. Bahkan ada juga yang tidak ingin bergabung lagi. Alasan diri yang belum siap. Bukankah ajal tak pernah menunggu kita sampai siap? Namun, itu semua lantas tak membuat ku mematung, berdiam diri begitu saja. Komunikasi yang rutin kini tak boleh hanya lewat media, tapi juga harus bertatap muka, dengan saling berjabat tangan, rangkulan yang membagi energi sampai asa terajut menjadi sebuah kenyataan indah.
Seiring berjalannya waktu dengan doa dan ikhtiar bersama, kini semua sahabatku telah kembali lagi dalam dekapan ukhuwah dan Allah telah mengeratkannya bersama pejuang-pejuang dakwah yang baru, semoga Allah menjadikan kami istiqamah merajut asa dalam dakwah dijalan-Nya. Aamiin. []
Penulis : Fauziah
Banda Aceh
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar