Ketika Ta'aruf yang Kesembilan Gagal Lagi

Ketika Ta'aruf yang Kesembilan Gagal Lagi

Ilustrasi akhwat sedih
“Benarkah yang kedelapan kali?” Tanya saya pada teman kakak yang mengaku gagal ta’aruf berkali-kali.
“Iya, Dek. Dan ini yang kesembilan kali,” wajah kakak itu bertambah lesu.
“Ya Allah kak…”
“Iya, padahal tinggal seminggu lagi khitbah. Tapi ternyata gagal lagi, Dek” kalimat ini membuat saya semakin penasaran apa penyebab dari gagalnya ta’aruf beliau.
“Sabar ya kak. Namanya juga belum jodoh”
“Ya iya. Kalau jodoh pasti bakal jadi.. hehe” kakak itu mencoba tersenyum.
“Hmm… Kalau saya boleh tahu, emang penyebab gagalnya apa Kak?” Tanya saya hati-hati agar tidak sampai menyinggung perasaan beliau.
“Banyak Dek… Tapi ya rata-rata karena kakak ini hanya lulusan SMK”
“Apa? Masak segitunya kak?”
“Iya. Tapi kebanyakan orang tuanya yang gak setuju. Kalau akhwatnya sih biasa-biasa saja atau tidak mempermasalahkan. Tapi ada juga yang menolak mentah-mentah”
“Dan ini sudah yang kesembilan kali gagal. Dari akhwat yang satu daerah sampai yang luar kota bahkan luar pulau, semuanya gagal”
“Ouwh” kata saya. Bulet. Perasaan saya tidak karuan. Sedih bercampur kasihan. Kesel juga dengan dengan akhwat atau orang tua yang menetapkan banyak kriteria pada calon menantunya tersebut.

Saya jadi ingat kerita dari ummi saya beberapa tahun silam. Saat masih kuliah dulu ummi menetapkan banyak kriteria pada calon suaminya. Diantaranya harus cerdas, pinter, pendidikannya minimal S2 dan lain-lain. Beliau lantas cerita pada mbak kosnya dan mendapat nasehat seperti ini, “Eh Din, kamu berani menetapkan banyak kriteria seperti ini? Apa kamu bisa menjamin dengan kecerdasannya, kepandaiannya, dan S2nya ini bisa menjadikan kamu bahagia? Din... yang kamu hadapi setiap hari itu akhlaknya. Bukan kepandainya apalagi S2nya”.

Sejak saat itu beliau lalu mengubah kriteria calon pendamping beliau. Sampai akhirnya beliau menikah dengan ustadz yang waktu itu hanya lulusan SMA. Meskipun setelah itu ustadz melanjutkan ke sebuah universitas di Jawa Tengah.

Kata beliau awalnya memang berat. Tapi semua itu beliau jalani dengan ikhlas hingga ustadz sekarang banyak dikenal di kalangan masyarakat. Banyak mengisi kajian di mana-mana. Diminta mengurusi sebuah yayasan rumah tahfidz, diberi fasilitas rumah dan kemudahan-kemudahan lainnya.

Lha kalau sepeti ini apakah tingkat pendidikan bisa menjamin kesuksesan dan kebahagiaan seseorang? Nggak kan? Banyak kok orang pendidikannya tidak sampai perguruan tinggi namun bisa sukses dan hidupnya diberi keberkahan lantaran kemuliaan akhlaknya.

Ya memang sebagai orang tua terkadang khawatir dengan masa depan anaknya. Apa lagi kalau itu anak perempuan satu-satunya. Anak orang berada pula, yang tak ingin anaknya hidup susah. Tapi apakah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi bisa menjamin kebahagiaan anaknya? Hayoo jaman sekarang gitu lho, banyak juga kok yang S2, S3 bahkan sudah professor tapi hidupnya tidak benar atau malah jadi koruptor.

Akhwati… tingkat pendidikan bukan penentu kesuksesan dan kebahagian seseorang. Yang penting akhlak dan ibadahnya bagus. Kalau kata ustadz saya, yang penting sholat lima waktunya sudah bagus itu sudah nikmat dunia akhirat. Kenapa? Kalau orang yang akhlaknya bagus itu mesti bertanggung jawab, dia mesti akan berusaha dan nggak akan menelantarkan keluarganya. Masa depan kita hanya Allah yang tahu. Yang penting kita sudah berusaha semaksimal mungkin selanjutnya kita pasrahkan semua sama Allah.

Oleh karenanya, mari kita luruskan kembali niat kita untuk menikah. Apakah benar-benar hanya karena Allah ataukah ada misi lain yang menyelinap di hati kita. Kalau memang benar-benar hanya karena Allah semua itu tidak akan menjadi penghalang. Mau dia lulusan S1 ataupun hanya lulusan SD sekalipun tak jadi masalah. Mau dia direktur atau hanya seorang kondektur tidak akan menghalagi kita untuk tetap melangkah. Karena yang menjadi prioritas kita adalah kemuliaan akhlaknya dan kebagusan ibadahnya yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Perkara orang tua itu bisa dilobi atau bisa diberi kefahaman. Tentunya dengan cara yang hati-hati agar tidak malah menyinggung perasaan beliau atau malah menjadikan masalah baru.

Wallahu a’lam bish-showab. [Ukhtu Emil]


0 komentar:

Posting Komentar