"Berbicara Tentang Allah Tanpa Ilmu" Lebih Besar Dosanya Dari Dosa Syirik...

بـسم الله الرحمٰن الرحيم

Apa yang terjadi dalam ummat Islam akhir-akhir ini merupakan sebuah gambaran betapa kiamat semakin dekat. Aqidah semakin rusak, dan banyak sekali pertentangan-pertentangan dalam masalah syariat. Dengan dalih berfikir yang logis dan sesuai akal itu yang diterima.

Contoh pada saat ini adalah adanya aliran-aliran yang mengakui dirinya sebagai Ahlussunnah Wal Jama'ah yang dengan senang berbicara Agama tanpa Ilmu, bahkan tak tanggung-tanggung berbicara TENTANG ALLAH TANPA ILMU. Memang benar memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah Shallallohu ‘Alaihi wassallam bersabda:



طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah No: 224, dan lainnya dari Anas bin Malik]

Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al Quranul Karim, dan disabdakan oleh RasulNya di dalam Sunnahnya (Baik melalui Perkataan/Qoul, Perbuatan, ataupun Taqrir/Ketetapan dari Rasulullah). Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RasulNya.

Alloh Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” [Al-A’raf: 33]

- Ibnul Qayyim -Rahimahullah- ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy/ الْفَوَاحِشَ (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.”

- Syaikh 'Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz -Rahimahullah- berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Dan berbicara tentang Allah tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit: Dar Ibnil Qayyim]

Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena berbicara tentang Allah dan agama-Nya tanpa dasar ilmu akan membawa pada dosa-dosa yang lainnya.

Sebagai Contoh, Berbicara Tentang Allah Tanpa Ilmu bisa mengakibatkan kepada kesyirikan, hal ini sudah terbiasa terjadi di dalam tubuh umat ISLAM itu sendiri. Dalam memaknai kalimat Syahadat Memahami makna لاَ إِلهَ إِلاَّ الله dengan makna "Tiada Tuhan Selain Allah" yaitu menyelewengkan makna Uluhiyyah pada kata إِلهَ dengan makna Rububiyyah, sehingga menjadikan manusia ada tuhan-tuhan lain selain Allah sehingga mereka berbuat syirik. Yang seharusnya makna tersebut adalah seperti perkataan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah, اَلإلَهُ adalah Dzat yang diibadahi lagi ditaati. Al Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata : اَلإلَهُ adalah Dzat yang hati ini rela untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, ketakutan dan harapan serta penyerahan diri. [lihat Taisirul ‘Azizil Hamid hal.75]
Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Ats Tsalatsah Al Ushul yaitu :
لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله “Tiada sesembahan (Tuhan) yang berhak diibadahi melainkan Allah semata. لاَإِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala apa yang diibadahi selain Allah, إِلاَّالله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah ini sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.”

SEHINGGA PENOLAKAN (PENGINGKARAN) NYA DARI BEBERAPA ASMA' DAN SIFAT ALLAH CARA DAN GAYA JAHMIYYAH TERSEBUT. [CARA DARI MU'ATTILAH]
. Wal 'Iyyadzubillah....

Begitu juga tentang PENOLAKAN TENTANG AL-’ULUWW DAN AL-ISTIWAA `DAN AL-’ARSY CARA JAHMIYYAH [A'udhubillaah!] yaitu jika Allah ada di Atas 'Arsy maka Allah brsifat HULUL (Menyatu dengan Makhluknya) dan juga Jabr (manusia tidak memiliki kehendak bebas - dipaksa untuk bertindak). [Cara dari Jabariyyah].

Begitu pula perjuangan gigih para ulama’ salaf dalam membela aqidah dari qoncangan faham-faham hitam Jahmiyyah sangatlah kuat, sehingga begitu banyak kitab para ulama yang berjudul “Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah” [Bantahan Terhadap Jahmiyyah] seperti yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, Ibnu Mandah, Ibnu Baththah dan lain sebagainya.

Sungguh benar Imam Ibnu Qayyim rahimahullah yang telah berkata,“Pertempuran antara ahli hadits dengan kelompok Jahmiyyah lebih dahsyat daripada pertempuran antara pasukan kafir dengan pasukan Islam”.[Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah hal. 96]

Na'am, inilah mengapa Dosa "BERBICARA TENTANG ALLAH TANPA ILMU" lebih besar daripada DOSA SYIRIK.. Yang dengannya yang apabila ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu mengakibatkan dosa-dosa besar yang lainnya tertarik... Jadi tak heran apabila banyak sebagian kamu muslimin yang penyembah kubur dan lain sebagainya. karena dari hal yang ushul saja sudah menyimpang tentu cabang-cabangnya lebih menyimpang.

Bahayanya berbicara tentang Allah tanpa Ilmu:

1. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. [QS. An-Nahl : 116]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. [Bukhari No:100, Muslim, dan lainnya]

3. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun [Al-Qashshash:50](Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

4. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS. Al-Hujuraat: 1]

5. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. [Muslim no:2674, dari Abu Hurairah]

7. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. [QS. Al-Isra’ : 36]

8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami Rahimahullah menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. [QS. Al Maidah: 4]

9. Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]

10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:

إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. [QS. Al Baqoroh:169]

Semoga hal ini sebagai nasehat bagi kita semua, termasuk juga diri saya. Begitu banyak kita lihat saudara-saudara kita memberi komentar dalam masalah agama, padahal tidak ada satu pun dasar dari Al Qur’an dan Hadits yang ia bawa, bahkan mereka jarang mempelajari agama tetapi sangat nekad dan berani untuk memberi komentar. Semestinya setiap muslim selalu menjaga lisan dan perkataan. Seharusnya setiap muslim yang tidak memiliki ilmu agama diam dan tidak banyak bicara daripada banyak komentar sana-sini tanpa dasar ilmu sama sekali.

Wallahu a’lam bish showwab. Semoga bermanfaat bagi sesama.....

الحمدلله رب العٰلمين


Syarat Tauhid Kepada Allah

Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).

Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله. Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barangsapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:

مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. (متفق عليه)
Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah (HR. Bukhari Muslim)

Lafadz شهد (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.

Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد(mempersaksikan).

Apalagi masalah ilmu dan pemahaman telah jelas dalilnya dalam al-Qur’an, sebagaimana firman Allah:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [الزحرف: 86]
Maka ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah

إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ. [الزحرف: 86]
Kecuali orang yang mempersaksikan yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya) (az-Zuhruf: 86)

Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan –ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan- maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).

Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan, kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.

Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.

Syarat pertama: Ilmu
yaitu pengetahuan terhadap makna syahadat yang membuahkan peniadaan terhadap kebodohan. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. [محمد: 19]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang patut diibadahi kecuali Allah …. (Muhammad: 19)

dan dalam hadits disebutkan:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم عن عثمان بن عفان)
Barangsiapa yang mati, sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang patut diibadahi kecuali Allah, maka ia akan masuk surga (HR. Muslim)

Syarat kedua: Yakin
Yaitu keyakinan tanpa keraguan terhadap kalimat لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali jika seorang yang mengucapkan persaksian tersebut dalam keadaan yakin terhadap persaksiannya. Dalilnya adalah firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا…[الحجرات: 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu … (al-Hujurat: 15)

Untuk membuktikan kebenaran keimanannya, Allah memberikan syarat adaya keyakinan pada keimanannya ini. Karena orang yang ragu dalam keimanannya tidak lain hanyalah orang-orang munafiq –wal iyadzu billah- sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-Nya:

إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ. [التوبة: 45]
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.(at-Taubah: 45)

Adapun dalil dari sunnah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits:

مَنْ لَقِيْتُ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبَهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة)
Barangsiapa yang menemui-Ku dari balik tabir ini yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang patut diibadahi kecuali Allah dengan yakin terhadapnya dalam hatinya, maka berilah kabar gembira kepadanya dengan surga. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Syarat ketiga: Menerima
Yaitu menerima segala konsekwensi-konsekwensi dari kalimat syahadat baik dengan hatinya maupun dengan lisannya. Tidak seperti kaum musyrikin yang tidak mau menerima konsekwensi kalimat tauhid yaitu meninggalkan sesembahan-sesembahan mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ [35] وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ [الصافات: 36]
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (ash-Shafat: 35-36)

Adapun dalil dari hadits adalah:

فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلْتُ بِهِ. (رواه البخاري)
Maka demikianlah permisalan bagi siapa yang paham terhadap agama Allah dan dapat mengambil manfaat dari apa-apa yang Allah mengutusku dengannya maka dia mengetahui dan mengajarkannya. Da permisalan bagi siapa yang tidak mengangkat kepalanya dengan hal itu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya. (HR. Bukhari)

Syarat keempat: Tunduk
yaitu tunduk dan menerima konsekwensi-konsekwensi kalimat .لا إله إلا الله Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُورِ. [لقمان: 22]
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allahlah kesudahan segala urusan. (Luqman: 22)

Syarat kelima: Jujur
Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan mengucapkannya secara jujur dari dalam hatinya. Maka jika mengucapkan syahadat dengan lisannya akan tetapi tidak dibenarkan oleh hatinya berati dia adalah munafiq, pendusta.

Allah berfirman:

الم(1)أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ [2] وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
[العنكبوت: 3]
Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (al-Ankabut: 1-3)

Dan sabda Nabi Shalallahu ‘alahi wassalam :

مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ . (رواه البخاري)
Tidaklah dari salah seorang di antara kalian yang bersaksi bahwasanya tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dengan jujur dari lubuk hatinya, kecuali Allah akan mengharamkannya dari api neraka. (HR. Bukhari)

Syarat keenam: Ikhlas
yaitu keikhlasan yang bermakna memurnikan, maka apabila ibadahnya diberikan pula kepada selain Allah, maka hilanglah keikhlasan dan jatuh ke dalam kesyirikan. Maka keikhlasan harus meniadakan bentuk amalan kesyirikan, kemunafiqan, riya’ dan sum’ah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

…فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ. [الزمر: 2]
…Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya. (az-Zumar: 2)

وَمَآ أُمِرُوآ إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ… [البينة: 5]
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ibadah kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus. (al-Bayyinah: 5)

dan dalam hadits:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ. (رواه البخاري)
Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku di hari kiamat adalah seseorang yang berkata لاَ إِلَهَ إَلاَّ اللهُ dengan ikhlas dari lubuk hatinya. (HR. Bukhari)

Syarat ketujuh: Kecintaan
yaitu kecintaan kepada Allah terhadap kalimat syahadat ini serta terhadap konsekwensi-konsekwensinya, terhadap orang-orang yang mengamalkannya dan berpegang teguh dengan syarat-syaratnya serta benci terhadap perkara-perkara yang membatalkan syahadat. Sebagaimana firman-Nya:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ…. [البقرة: 165]
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (al Baqarah: 165)

dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassalam :

مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانَ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهُ أنَ ْيَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يَْقذِفَ فِي الناَّرِ. (رواه البخاري)
Barangsiapa yang ada padanya (tiga perkara ini) maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan. Yakni jika ia lebih mencintai Allah dan rasulNya daripada selain keduanya, dan jika mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan benci pada kekafiran sebagaimana kebenciannya untuk dilemparkan ke dalam api neraka. (HR. Bukhari).

Syarat ke delapan: Mengingkari Thaghut
yaitu segala sesuatu yang diibadahi selain Allah. Bentuk-bentuknya bisa bermacam-macam, bisa dalam bentuk jin, manusia ataupun pohon-pohonan dan hewan-hewan. Didefinisikan oleh Ibnul Qayyim dengan ucapannya: “Thaghut adalah segala sesuatu yang menyebabkan manusia keluar dari batas kehambaannya kepada Allah apakah dalam bentuk matbu’ (panutan), ma’bud (sesembahan) atau mutha’ (yang ditaati)”. Atau dengan kata lain sesuatu yang menyebabkan seseorang kufur dan syirik.

Maka pimpinan yang harus diingkari pertama adalah setan, kemudian dukun-dukun yang datang pada mereka setan-setan, kemudian semua yang diibadahi selain Allah dalam keadaan ridha bahkan mengajak manusia untuk beribadah kepada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

…قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. [البقرة: 256]
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256)

Dan dalam hadits:

مَنْ قالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَدَمُّهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللهِ. (رواه مسلم)
Barangsiapa yang berkata لا إله إلا الله dan mengingkari terhadap apa-apa yang diibadahi selain Allah, maka haram harta dan darahnya. Adapun perhitungannya ada pada sisi Allah (HR. Muslim).


Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, penulis Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Syarat-syarat Tauhid”.

Makna "KULLU BID'ATIN DHOLALAH"

Sebagian orang yang membela adanya BID’AH HASANAH sering berhujjah dg mengatakan bahwa lafazh "KULLU BID'ATIN DHOLALAH" (semua bid’ah itu sesat) dalam hadits yg masyhur itu tidak benar2 berarti "SETIAP/SEMUA" tanpa kecuali. Mereka mengqiyaskannya dengan nash2 lain yg juga mengandung lafazh "KULLU" namun artinya tidak "SETIAP/SEMUA". Seperti ayat berikut:
 “Angin yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Al Ahqaf: 25).

Mereka mengatakan: “Lihatlah bagaimana Allah mengatakan bahwa angin tersebut menghancurkan ‘SEGALA SESUATU" padahal tidak semuanya hancur, buktinya rumah mereka masih tersisa, demikian pula bumi, langit, dan sebagainya. Ini berarti bahwa kata "KULLU" dalam bahasa Arab tidak selamanya berarti "SETIAP/SEMUA" tanpa kecuali. Namun dalam sabda beliau tersebut tersisipkan sebuah kalimat yang tidak terucap, –yang menurut mereka– bunyinya ialah: “yang bertentangan dengan syari’at”. Jadi konteks sabda Nabi selengkapnya berbunyi: “Semua bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah sesat”. Nah, mafhum-nya berarti bahwa bid’ah yang tidak bertentangan dengan syari’at tidaklah sesat…” (Ada dalam sebuah buku karangan mereka)
Aneh kan???

**Bantahan Kami :

Memang benar, bahwa kata-kata yang bernada umum dalam bahasa Arab, seperti (كُلُّ), isim maushul (الَّذِي/الَّذِيْنَ), isim jins (الإنسان, الجن, الحجر, الحيوان, dan sejenisnya, tidak harus diartikan umum tanpa kecuali. Dengan memperhatikan konteks kalimat, realita, penalaran, dan nash-nash lainnya, seseorang bisa menyimpulkan apakah keumuman suatu ungkapan dalam bahasa Arab tadi masih berlaku mutlak, ataukah tidak.

Dalam ilmu ushul fiqih ada yang istilahnya ‘aammun uriida bihil ‘umuum(ungkapan umum yang maksudnya memang umum), ada pula ‘aammun makhshuush(ungkapan umum yang mengandung pengkhususan/pengecualian), bahkan ada yang ‘aammun uriida bihil khushuush (ungkapan umum yang maksudnya khusus).


Contoh untuk yang pertama (aammun uriida bihil ‘umuum) ialah ayat-ayat berikut:
 “Allah lah yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia lah yang memelihara segala sesuatu (Az Zumar: 62).
 “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya…” (Hud: 6).
Imam Asy Syafi’i menjelaskan bahwa kesemuanya ini merupakan jenis ungkapan umum yang berlaku MUTLAK TANPA PENGECUALIAN (Lihat Ar Risalah, hal 53-54 karya Al Imam Asy Syafi’i. Tahqiq Al ‘Allaamah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Al Maktabatul ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.).

Demikian pula ketika Allah Ta’ala mengatakan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu (QS. Al Baqarah :29, 231, 282, dan lain-lain). Jelas keumuman ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan dengan penafsiran lain karena TIDAK ADA PETUNJUK atau QARINAH yang mengarah ke penafsiran lainnya.
Berbeda dengan ketika Allah Ta’ala bercerita tentang angin topan yang membinasakan kaum ‘Aad;
 “Angin yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Al Ahqaf: 25).
Dalam ayat ini jelas bahwa ungkapan “segala sesuatu”tidak berlaku umum, namun banyak yang dikecualikan. Hal ini selain tersirat dalam kelanjutan ayat ini sendiri, juga bisa kita fahami dari realita. Angin topan yang dikatakan menghancurkan segalanya tadi ternyata tidak menghancurkan langit, bumi, gunung-gunung, dan sebagainya. Ia hanya menghancurkan kaum ‘Aad saja, bahkan masih menyisakan tempat tinggal mereka.
Namun ada kalanya Al Qur’an menggunakan ungkapan umum sedang yang dimaksud hanyalah seorang. Seperti pada ayat berikut;
 “(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:”Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (Ali ‘Imran: 173).
Dalam tafsirnya, Imam Ath Thabary -rahimahullah- menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata (النَّاسُ) atau ‘orang-orang yang mengatakan’ di sini hanyalah satu orang, yaitu: Nu’aim bin Mas’ud, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai riwayat dalam kitab-kitab sirah. [Lihat: Jaami’ul Bayaan fi Ta’wiilil Qur’an, 4/191 tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir, cet. Muassasah Ar Risalah, Beirut.]

Kesimpulannya, untuk menentukan apakah sebuah ungkapan yang bernada umum itu masih berlaku mutlak ataukah tidak, kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk) yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain yang shahih, atau dengan realita yang ada; bukan sekedar akal-akalan dan ‘menurut hemat saya’.
Kami khawatir, dengan akal-akalan semacam ini, kelak ada yang mengatakan bahwa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut akan disimpangkan pula maknanya:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّمُسْكِرٍ حَرَامٌ. رواه مسلم
Dari Ibnu Umar katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Semuayang memabukkan adalah khamer, dan semua yang memabukkan itu haram”(H.R. Muslim no 2003).
Bila Novel Alaydrus mengartikan sabda Nabi: wa kullu bid’atin dholalah, dengan arti: semua bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah sesat. Maka konsekuensinya dia juga harus mengartikan hadits di atas dengan cara yang sama… lantas bagaimana kira-kira dia akan mengartikannya?
Memahami muthlaq& muqayyad
Perlu kita ketahui, bahwa dalam bahasa Arab, ada yang namanya muthlaq (mutlak/tidak terbatasi) dan muqayyad (terbatasi). Misalnya ialah kalau seseorang mengatakan: “Hormatilah manusia”. Ketika mendengar kata-kata ini, yang segera kita tangkap ialah bahwa kita diperintah untuk menghormati siapa saja yang masuk dalam kategori ‘manusia’, dan inilah yang disebut muthlaq.
Namun jika kata ‘manusia’ tadi diberi sifat tertentu, seperti ‘yang beriman’ misalnya; maka keumuman perintah tadi jadi terbatasi, sesuai dengan sifat yang dimilikinya. Sehingga dengan mengatakan: “Hormatilah manusia yang beriman”, tidak setiap manusia boleh dihormati, akan tetapi hanya yang beriman saja yang boleh dihormati. Inilah yang disebut muqayyad (terbatasi).
Ringkasnya, sifat yang dilekatkan pada sesuatu terkadang berfungsi sebagai pembatas hakekat sesuatu tadi. Inilah salah satu fungsi dari qaid (pembatas makna) yang dalam hal ini berupa kata sifat.
Kendatipun demikian, tidak semua kata sifat bermakna seperti itu, bahkan dalam beberapa konteks kalimat ia bermakna lain. Perhatikanlah firman-firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut:
Pertama:
Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (Al Mu’minun: 117). Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki dalil akan keberadaan ilah selain Allah maka ia boleh menyembah selain Allah.
Kedua:
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda,dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Aali ‘Imran: 130). Bolehkah seseorang menyimpulkan dari kata: “dengan berlipat ganda”, bahwa jika riba yang dipungutnya tidak berlipat ganda maka halal baginya?
Sebagaimana yang kita ketahui, yang dimaksud berlipat ganda adalah lebih dari 100 %. Berangkat dari sini, kalaulah boleh seseorang berdalil dengan mafhum(makna tersirat) dari ayat di atas, maka boleh baginya memakan riba yang kurang dari 100 %. Boleh baginya meminjami uang Rp. 1 juta kemudian meminta pelunasan sebesar Rp. 2 juta umpamanya. Ataukah maksudnya sekedar pengkhabaran akan bentuk riba di zaman jahiliyah yang pada umumnya berlipat ganda…? Karenanya ayat ini pun turun dengan bahasa yang sesuai dengan kondisi saat itu tanpa bermaksud membolehkan riba yang tidak berlipat ganda. Bagaimana menurut saudara?
Ketiga:
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (segala sesuatu yang mendahului hubungan suami istri), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji… (Al Baqarah: 197).
Bolehkah seseorang menyimpulkan dari kata: “selama mengerjakan haji”, bahwa perbuatan fasik hanya dilarang ketika musim haji saja, sedang diluar itu boleh berbuat fasik…? Ataukah ayat ini seperti ayat sebelumnya yang sekedar menggambarkan kondisi musilm haji, yang memang potensial untuk mendorong seseorang berbuat fasik. Yaitu ketika berjuta orang berdesakan di Arafah, atau ketika melontar jumrah, thawaf, sa’i, dan manasik haji lainnya; hingga manusia cenderung untuk berkata kasar kepada sesama muslim, atau main sikut, dan lain sebagainya; sehingga tidak bisa difahami bahwa perbuatan fasik tadi boleh dilakukan di luar musim haji… Yang mana kira-kira?
Keempat:
 “…Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran jika mereka menginginkan kesucian, demi mencari keuntungan duniawi… (An Nur: 33).
Bolehkah kita menyimpulkan dari kata: “jika mereka menginginkan kesucian”, bahwa jika para budak wanita tadi tidak menginginkan kesucian, maka kita boleh memaksanya melacur dan memakan uang hasil pelacuran tadi…?? Ataukah ayat ini seperti pendahulunya yang sekedar memberi gambaran akan praktek mucikaridi zaman jahiliyah; yang pada umumnya dengan memaksa budak-budak wanita untuk melacur, padahal budak-budak itu ingin jadi wanita terhormat… Jelas bukan?
================================================================

## Syubhat Ahlul bid’ah dalam masalah ini
Sebagian ahlul bid’ah ada yang berdalil dengan hadits berikut karena tidak faham akan kaidah di atas;
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، وفي لفظ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. (رواه مسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kami, yang bukan berasal darinya (agama); maka ia tertolak”. Dalam lafazh lainnya disebutkan: “Barangsiapa mengamalkan sesuatu dalam agama kami, yang bukan berasal darinya; maka amalan tersebut tertolak”. [H.R. Muslim dalam Shahihnya, hadits no 1718, dari Aisyah]
Mereka mengatakan: Penambahan kalimat ‘yang bukan darinya’ (agama), merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru berarti tertolak dan sesat. Hanya yang baru yang tidak bersumber dari agama sajalah yang tertolak dan sesat. Andaikata semua hal baru adalah sesat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menambahkan kalimat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata, “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam agama kami ini, maka ia tertolak”, tetapi hal ini tidak beliau lakukan.
Kesimpulannya, selama hal baru tersebut bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Seperti pendahulunya, syubhat ini penulis nukil dari buku Mana Dalilnya 1, hal 20-24]
Pembaca yang budiman, mungkin setelah anda membaca uraian di atas anda akan berubah fikiran… atau setuju akan adanya bid’ah yang tidak sesat dalam agama. Tapi jangan tergesa-gesa, syubhat di atas tak lebih dari sekedar permainan bahasa saja; yang mungkin karena kelihaian penulisnya dalam bermain kata, akan tersamarkan bagi orang awam. Namun hal ini tak akan mengelabui orang yang faham akan gaya bahasa Arab; yang notabene adalah bahasa Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

## Bantahan terhadap syubhat ini:
Pertama: Marilah kita ingat kembali definisi bid’ah yang disebutkan oleh Al Jurjani pada pembahasan sebelumnya (hal 35). Beliau mengatakan:
Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i. [At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani]
Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa yang namanya bid’ah itu harus menyelisihi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak selaras dengan dalil syar’i (Al Qur’an dan Sunnah). Berangkat dari sini, perkataan bahwa jika sesuatu yang baru (bid’ah) itu bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya, adalah kesalahan fatal yang ujung-ujungnya menyamakan antara bid’ah dengan syari’at itu sendiri –sebab menurutnya keduanya berasal dari Al Qur’an dan hadits–, dan ini jelas batil.
Kedua: kata-kata ‘yang bukan berasal darinya (agama)’ dalam hadits di atas bukanlah sifat yang membatasi, akan tetapi sifat yang menyingkap bahwa semua bid’ah hakikatnya bukanlah berasal dari agama. Karena bila sesuatu itu berasal dari Al Qur’an dan Hadits maka hal tersbut telah ada sejak adanya Islam itu sendiri, dan bukan dianggap baru. Jelas sekali bahwa perkataan ini mengandung kontradiksi yang tidak mungkin diucapkan oleh orang yang berakal, apalagi seorang Rasul yang paling fasih berbahasa Arab dan menerima wahyu dari Allah Ta’ala.

**Memahami Mafhum Mu’tabar dan Mafhum Ghairu Mu’tabar
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, untuk memahami Al Qur’an tak cukup dengan akal-akalan dan main qiyas semata; “kalau begini berarti begitu… kalau tidak begini berarti tidak begitu…”. Coba bayangkan bagaimana jadinya kalau analogi seperti ini kita terapkan ketika memahami nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, kemudian dengan ilmu yang serba terbatas kita simpulkan seperti di atas? Jelas akan sesat dan menyesatkan… sebagaimana firman Allah Ta’ala:
 “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Rabb mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” Dengan perumpamaan ini banyak orang yang dibiarkan sesat oleh Allah, dan dengannya pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang yang fasik” (Al Baqarah: 26).
Nah, agar tidak dibiarkan sesat oleh Allah, kita harus mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran dan jangan sekedar akal-akalan dalam menafsirkan Al Qur’an maupun Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Alhamdulillah, para ulama telah meletakkan beberapa kaidah dalam menentukan maksud suatu ayat atau hadits secara umum. Kaidah tersebut diantaranya berbunyi:
اَلْوَصْفُ إِذَا خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبَ, فَلَيْسَ لَهُ مَفْهُوْمٌ مُعْتَبَرٌ.
Setiap sifat yang disebutkan dalam konteks pada umumnya, maka mafhum-nya tidak berlaku. [Lihat Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, al farqu 62 oleh Al Qarafy; I’lamul Muwaqqi’ienKitabu ‘Umar fil Qadha’, fasal: Hukmu Aliyyin fi Jama’atin waqa’u fi imraatin, oleh Ibnul Qayyim; Syarh Al Kaukabul Munir, bab: At Takhsis, fasal ke 3]
Maksudnya, jika sifat itu menunjukkan kondisi sesuatu pada umumnya, maka tidak boleh bagi kita menarik suatu kesimpulan yang berlawanan –alias mafhum– darinya, karena mafhum tersebut hukumnya tidak berlaku menurut ijma’ ulama. Seperti ketika Allah melarang untuk memakan riba yang berlipat ganda; mafhumnya ialah yang tidak berlipat ganda boleh dimakan. Nah mafhum seperti ini hukumnya tidak berlaku, karena ayat ini berbicara tentang konteks riba zaman jahiliyah, yang pada umumnyaberlipat ganda.
Standar untuk mengetahui hal ini ialah apabila kata sifat yang dijadikan penjelas tadi sering kali kita jumpai dalam masalah yang digambarkan. Jika sifat tersebut senantiasa melekat padanya, atau kita jumpai pada sebagian besar kondisinya,maka mafhumnya tidak berlaku dan tidak menjadi hujjah menurut ijma’ ulama. Namun jika tidak demikian, maka mafhumnya berlaku menurut sebagian ulama yang berhujjah dengan mafhum.[ Lihat: Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, al farqu 62, oleh  Al Qarafy.]
Karenanya, ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallammenyifati sesuatu dengan sifat atau keadaan tertentu, kita tidak boleh serta merta menarik kesimpulan terbalik dari lafazh aslinya. Karena terkadang sifat itu bukan bertindak sebagai pembatas makna (sifatun muqayyidah), namun sebagai penyingkap akan hakekat sesuatu tadi (sifatun kaasyifah). Untuk lebih jelasnya silakan saudara merenungkan ulang penjelasan ayat-ayat pada bab sebelumnya, kemudian perhatikan contoh lain berikut:
 “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (An Nisa: 17).
Kata-kata (بجهالة) dalam ayat ini adalah contoh bagi sifatun kaasyifah. Maksudnya sebagai kata sifat/keadaan yang menyingkap hakekat mereka yang berbuat jahat; yaitu bahwa setiap orang yang berbuat jahat adalah orang jahil, karena kejahilanlah yang mendorongnya untuk berbuat jahat.
Jadi, kata ‘lantaran kejahilan’ tadi bukan sebagai sifatun muqayyidah (kata sifat/keadaan yang membatasi). Karena jika tidak demikian, maka maksud ayat di atas ialah bahwa taubat itu khusus bagi orang jahil yang bermaksiat saja, sedangkan orang alim yang bermaksiat tidak perlu bertaubat… padahal orang sekaliber Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja setiap hari beristighfar tak kurang dari 70 kali… [H.R. Bukhari no 6307 dan At Tirmidzi no 3182, dari Abu Hurairah; dan Ibnu Majah no 3807 dari Abu Musa Al Asy’ari]
Dari sini dapat kita fahami, bahwa apa yang dijadikan dalil oleh ahlul bid’ah dalam membenarkan adanya bid’ah yang tidak sesat, atau bid’ah yang dapat diterima oleh Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kekeliruan fatal!!

## Syubhat lain yang dapat kita bantah melalui kaidah di atas ialah sebagai berikut:
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لاَ تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)
“Ketahuilah, barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah mati sepeninggalku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang ikut mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa melakukan bid’ah dholalah yang tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memikul dosa orang-orang yang mengamalkan bid’ah itu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (H.R. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).
Hadits ini dijadikan dalil (baca: syubhat) oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Andaikata semua bid’ah itu sesat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata: “Barangsiapa mengadakan sebuah bid’ah” tanpa harus menambahkan kata ‘dholalah’ dalam sabdanya tersebut. Dengan menyebut bid’ah dholalah (yang sesat), maka logikanya ada bid’ah yang tidak dholalah (tidak sesat). [Mana Dalilnya 1, hal 22]

## Bantahan terhadap syubhat ini:
Al ‘Allaamah Al Muhaddits Abdurrahman Al Mubarakfury dalam penjelasannya terhadap hadits di atas mengatakan sebagai berikut (mengutip ucapan Shiddiq Hasan Khan):
“Penulis kitab Mirqaatul Mafaatieh  mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi bid’ah disini dengan bid’ah yang dholalah untuk mengecualikan bid’ah hasanah”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh penulis kitab Asyi’atul Lama’aat dengan menambahkan: “Karena bid’ah hasanah mengandung kemaslahatan bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya (di masyarakat)”. Saya(Asy Syaikh Shiddiq Hasan Khan, rahimahullah)katakan“Kedua pendapat tersebut salah besar! Karena Allah dan Rasul-Nya tak pernah meridhai bid’ah, apa pun bentuknya. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengecualikan bid’ah hasanah, niscaya beliau tak akan menjelaskan dalam haditsnya bahwa: “Semua bid’ah itu sesat…” atau:“Semua hal yang baru itu bid’ah, dan semua yang sesat itu di neraka…”sebagaimana yang tersebut dalam salah satu riwayat. Ucapan beliau tadi pada dasarnya bukanlah qaid (pembatas) akan bid’ah. Namun merupakan bentuk pengkabaran beliau dalam mengingkari segala macam bid’ah, dan menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalil yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah: { وَرَهْبَانِيَّةً اِبْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ } yang maknanya: “…Dan mereka mengada-adakan bid’ah rahbaniyyah (kependetaan) padahal kami tidak mewajibkannyakepada mereka…” (Al Hadid: 27).  Lihatlah, bagaimana Allah menyifati bid’ah kependetaan tadi dengan kata-kata: ‘padahal kami tidak mewajibkannya atas mereka’. Maknanya cukup jelas, bahwa bid’ah mereka adalah sama sekali tidak Allah perintahkan, karena jika Allah perintahkan tidak akan menjadi bid’ah.
Adapun prasangka bahwa bid’ah itu ada kemaslahatannya bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya; bantahannya ialah firman Allah Ta’ala :{ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ }  yang artinya: “Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa” (Al Hujurat: 12). Saya tak habis pikir, apa makna ayat: “Sesungguhnya sebagian dari prasangka  itu dosa”, dan ayat: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu” (Al Ma’idah: 3), kalaulah maslahat yang dimaksud ialah melariskan bid’ah..!? Ya Allah, alangkah anehnya pendapat semacam ini… adakah mereka tidak tahu bahwa dengan menyemarakkan bid’ah berarti mematikan sunnah? Dan dengan mematikan bid’ah berarti menghidupkan sunnah?? Sungguh demi Allah, agama Islam itu lengkap, sempurna, dan tak kurang sedikit pun. Ia tak butuh sedikit pun terhadap bid’ah sebagai pelengkap. Nash-nash (dalil-dalil) yang dikandungnya cukup banyak dan meliputi setiap perkara atau problematika baru yang akan muncul hingga hari kiamat”. Demikian sanggahan beliau dalam kitabnya Ad-Dienul Khalishsecara ringkas.
Saya (Abdurrahman Al Mubarakfury, rahimahullah)katakan: “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ) diriwayatkan dengan idhafah –yaitu dibaca: bid’ata dhalalatin–, atau bisa juga dengan manshub (بِدْعَةً ضَلاَلَةً) –dibaca: bid’atan dhalalatan– sebagai sifah wa mausuf. Jadi, ‘dholalah’merupakan sifat bagi bid’ah tersebut. Sedangkan kata sifat ini termasuk sifatun kaasyifah (sifat yang menyingkap hakekat sesuatu); bukan sifatun muqayyidah yang mengecualikan bid’ah hasanah (dari bid’ah yang menyesatkan). Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlainnya yang berbunyi: (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) “Semua bid’ah itu sesat” (H.R. Abu Dawud, dari ‘Irbadh bin Sariyah).
Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُولَهُ) “Tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya”, merupakan sifatun kaasyifah yang kedua bagi bid’ah tadi. [Lihat: Tuhfatul Ahwadzi Bisyarh Jaami’ At Tirmidzi karya Al Mubarakfury, syarah hadits no 2601]
Lebih dari itu, hadits ini masih diperselisihkan keshahihannya. Meski At Tirmidzi menganggapnya hasan –dan beliau memang terkenal gampang menghasankan hadits,– namun salah satu perawi hadits ini ialah Katsier bin Abdillah bin Amru bin ‘Auf Al Muzani. Berikut ini kami nukilkan sanad hadits diatas selengkapnya; Imam At Tirmidzi -rahimahullah- berkata:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ … الحديث (جامع الترمذي, كتاب العلم, باب: ما جاء في الأخذ بالسنة واجتناب البدع, حديث رقم 2601).
Abdullah bin Abdirrahman mengabarkan kepada kami, katanya: Muhammad bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Mirwan bin Mu’awiyah Al Fazary, dari Katsir bin ‘Abdillah –yaitu: bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany–, dari Ayahnya, dari Kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ibnul Harits:…. Al hadits” (H.R. Tirmidzi, no 2601).
Cacat hadits ini ialah pada silsilah rawi yang bercetak tebal di atas. Untuk lebih jelasnya, kami akan menukilkan komentar para ahli hadits mengenai riwayat mereka:
1. Al Imam Ibnu Hibban -rahimahullah- mengatakan:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني: يروي عن أبيه عن جده، روى عنه مروان بن معاوية وإسماعيل بن أبى أويس، منكر الحديث جدا، يروي عن أبيه عن جده نسخة موضوعة لا يحل ذكرها في الكتب ولا الرواية عنه (كتاب المجروحين 2/221).
Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany; Ia meriwayatkan dari Ayahnya dari kakeknya. Sedang yang meriwayatkan dari Katsir ialah Marwan bin Mu’awiyah dan Isma’il bin Abi Uwais. (Katsir ini) munkarul hadits jiddan. Keduanya merupakan jarhun syadied (kritikan pedas), yang menjatuhkan hadits orang itu ke tingkat dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan maudhu’(palsu).. Ia meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya sekumpulan hadits maudhu’(palsu) yang tidak halal untuk disebutkan dalam kitab-kitab dan tidak halal untuk diriwayatkan. (Kitabul Majruhien 2/221)
2. Imam An Nasa’i -rahimahullah- berkata:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف: متروك الحديث (الكامل لابن عدي  6 /  58).
Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf; matruukul hadits 1)(Al Kamil, oleh Ibnu ‘Adiy 6/58).
3. Imam Syafi’i & Abu Dawud -rahimahumallah- menyifatinya dengan kata-kata:
ركن من أركان الكذب (ميزان الاعتدال 3 / 407)
Salah satu tiang daripada tiang-tiang kedustaan (Mizanul I’tidal, 3/407). [Maksudnya ia salah seorang pembohong besar]
4. Ibnu Hajar Al ‘Asqalany -rahimahullah- berkata:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني المدني ضعيف أفرط من نسبه إلى الكذب (تقريب التهذيب -  2 /  39)
Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany Al Madany: dha’if, namun orang yang menuduhnya sebagai pendusta agak berlebihan (Taqribut Tahdzieb, 2/39).
Kesimpulannya, hadits di atas derajatnya dha’if jiddan atau minimal dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam berdalil. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmdzi, hadits no 2677.