Judul : Agar Jodoh Idaman Berlabuh di Pelaminan
Penulis : Mas Udik Abdullah
Penerbit : Pro-U Media - Yogyakarta
Cetakan : II ; 2013
Tebal : 205 Halaman ; 12 x 20 cm
ISBN : 979-1273-83-9
Harga : Rp 32.000,-
Membicarakan jodoh, sama dengan membincang misteri kehidupan itu sendiri. Karena dalam undang-undang langit telah ditetapkan, bahwa jodoh adalah satu diantara banyaknya misteri kehidupan. Ia sama dengan rejeki juga ajal seseorang. Diantara bentuk kemisterian jodoh itu, kita tidak pernah tahu akan menikah dengan siapa, orang mana, anak siapa dan detail lain tentang jodoh kita. Baik sebelum ia bersanding di pelaminan. Ataupun, ketika misalnya kita sudah bersanding di pelaminan sebagai suami istri. Kita tidak pernah tahu, apakah dia akan menemani kita sepanjang hidup, atau pasangan kita lebih dulu menghadap Allah, atau bercerai di tengah jalan.
Satu hal yang harus kita lakukan karena misteri itu adalah keharusan untuk menggantungkan diri kepada Allah. Dia Maha Mengatur. Dia Maha Tahu siapa yang terbaik bagi kita. Dia Maha Mengerti akan apa yang kita butuhkan. Jika hal ini yang berhasil kita lakukan, maka terhadap satu misteri kehidupan ini, kita tak lagi mempunyai sedikitpun keraguan jika jodoh yang diidamkan tak kunjung bertamu. Karena satu-satunya hal yang layak membuat seorang mukmin risau adalah ketika Allah tak lagi ridho dengan dirinya.
Berbicara jodoh idaman, sejatinya sangat relatif jika dihadapkan pada selera masing-masing manusia. Apalagi, jika acuan yang dijadikan pedoman tidaklah jelas. Misalnya, ketika idaman diidentikkan dengan kecantikan. Maka, mereka yang menikah dengan seseorang yang kurang cantik, dianggap tidak mendapatkan jodoh yang diidamkan. Begitupun seterusnya. Ketika idaman diidentikkan dengan fisik dan duniawi, maka selamanya idaman bersifat relatif.
Sehingga, bagi seorang muslim yang mukmin, apalagi aktivis dakwah, jodoh idaman adalah jodoh yang sudah ditentukan kriterianya oleh Rasulullah. Yaitu yang baik agamanya, menawan perangainya. Jika hal ini yang dijadikan acuan, maka idaman, sejatinya adalah menurut Allah dan RasulNya, bukan menurut pribadi kita.
Jika acuan itu sudah dipegang teguh, selanjutnya kita bisa menambah kriteria idaman. Tentu, tambahan kriteria idaman ini tidak boleh keluar dari undang-undang Syaria’ah Islam. Maka, ketika seorang yang kita ingini untuk menjadi jodoh sudah baik agama dan akhlaknya, selanjutnya kita bisa menilik kriteria lain yang bisa membuat diri semakin mencintainya. Misalnya kecantikan, kekayaan, nasab yang bagus, subur rahimnya, sekufu dalam agama, yang perawan dan bukan dari kerabat dekat. (Bab IV).
Tentu, kesemua itu setelah seseorang sudah terbukti baik agama dan akhlaknya. Sehingga bukan menjadi hal yang pokok apalagi keutamaan. Karena dalam banyak hal, Rasul sudah mengingatkan, bahwa ketika kecantikan atau ketampanan menjadi sebuah alasan utama untuk menikah, maka bersiaplah untuk kecewa. Karena fisik hanya akan bertahan dalam hitungan tahun. Jika harta yang dijadikan acuan, maka bersiaplah menjadi miskin. Jika keturunan yang diunggulkan, maka bersiaplah untuk direndahkan.
Kesemua hal itu mengingatkan kepada kita, bahwa menikah adalah perintah Allah dan kita harus menjalani pula sesuai dengan peraturan yang telah Dia gariskan, bukan semau diri sendiri.
Selanjutnya, idaman akan menjadi lebih mudah didapatkan ketika diri menyederhakan kriteria sesuai dengan apa yang Rasulullah ajarkan. Sehingga tidak mempersulit apa-apa yang telah dimudahkan oleh Allah.
Setelah selesai tentang kriteria idaman, hal berikutnya adalah melayakkan diri. Ini paling penting. Karena Rasulullah telah mencontohkan, bahwa hanya beliaulah yang layak mempersunting Ummu Khadijah al Kubro. Padahal sebelum itu, banyak petinggi Quraisy yang melamar janda dua kali itu. Dalam kasus ini, Khadijah yang janda adalah jodoh idaman Sang Nabi yang ketika itu masih lajang. Begitupun dengan Ali dan Fathimah. Karena sebelum itu, Nabi menolak lamaran Abu Bakar, Umar dan Utsman yang berniat mempersunting Fathimah.
Melayakkan diri dimulai dengan niat. Menikah hanya karena Allah (Hal 113). Selanjutnya, perbanyak kebajikan (hal 118). Berupaya meraih pernikahan ruhani (Hal 120). Siap dalam suka dan duka (hal 126). Menjemput di tempat yang baik (Hal 129). Mengubah kriteria dan kekuatan doa (hal 134 )
Setelah upaya ikhtiari sudah dimaksimalkan, tentu saja diri tidak selamanya mendapatkan yang diidamkan. Di sinilah peran kesiapan dan keshalihan. Bahwa mereka yang telah memilih hanya karena Allah, maka dia siap untuk mengidealkan apa yang sebelumnya tidak ideal. Ini sangat wajar, karena yang ideal di dunia ini hanyalah Rasulullah. Meskipun kita tahu, seideal apapun kehidupan beliau, tetaplah penuh dengan ujian yang mendewasakan dan bisa dijadikan pelajaran bagi kita.
Lantas, jika ternyata orang yang dinikahi bukanlah jodoh idaman seperti dalam imajinasi kita? Buku ini memberikan jawaban yang menyeluruh atas hal tersebut.
Pertama, Mulailah dengan Rasa Syukur. Syukurilah karena pasangan kita mau menerima kita apa adanya. Jika memang fisiknya belum cantik, dia pasti memiliki kelebihan. Misalnya lembut, pandai memasak, perhatian, dan aneka kelebihan yang lain.
Kedua, Cinta Allah sebagai Cinta Tertinggi. Kembalilah berkaca tentang niat awal dalam menikah. Bahwa pasangan yang kita cintai hanyalah sarana dalam beribadah. Agar selepas nikah, agama kita menjadi sempurna, dan kita bisa lebih mencintai Allah di atas segalanya.
Ketiga, Jadikan Rumah sebagai Ladang Amal Shalih. Banyak hal yang bisa kita lakukan dalam hal ini. Misalnya membiasakan keluarga untuk melakukan amalan sunnah, membiasakan shalat tahajud berjamaah bersama istri dan anak-anak, mendirikan Majlis Ta’lim di rumah, dan seterusnya. Minimalisasi amalan sia-sia di dalam rumah kita. Jika bisa, hilangkan.
Keempat, Perbaiki Diri. Perbaikan diri bukan hanya sebelum menikah. Setelah menikah, hal itu justru lebih wajib. Apalagi sebagai kepala keluarga yang merupakan contoh bagi istri dan anak-anak. Perbaikan diri ini harus dilakuakn secara terprogram sehingga keberhasilannya bisa diukur dengan baik. Jadikan anak dan istri sebagai mitra. Insya Allah buahnya akan masak dengan sempurna.
Kelima, Didiklah Pasangan Anda. Ingat satu hal, istri kita bukanlah pembantu. Kerjanya bukan hanya sumur, dapur dan kasur. Apalagi jika istri kita adalah seorang sarjana. Jangan sampai tingkat intelektualitasnya tidak berkembang bahkan berhenti selepas menikah. Jika itu yang terjadi, bisa jadi hal itu merupakan dosa besar kita sebagai seorang suami.
Keenam, Pentingnya Komunikasi. Dalam biduk rumah tangga, salah faham menjadi sebuah kepastian. Pasti pernah terjadi. Seberapapun kadarnya. Maka dalam hal ini, komunikasi menjadi kunci penting untuk meminimalisasi keretakan apalagi perpecahan dalam rumah tangga. Komunikasi yang baik akan menautkan apa-apa yang sebelumnya retak.
Ketujuh, Ingat Kebaikan Pasangan. Carilah sebanyak mungkin kebaikan pasangan. Dan, jangan malu untuk mengungkapkannya sesering mungkin. Ucapkan “terima kasih” atas keikhlasannya, ucapkan “maaf” jika kita berlaku salah, dan sesekali bahkan seringkali, berikanlah hadiah untuk dia yang kita cinta.
Kedelapan, Sadar Diri dan Tidak Gemar Mencela. Sadarilah bahwa kita banyak salah. Sadarilah bahwa kita bukan manusia yang sempurna. Sehingga, kita mudah memaafkan jika suatu ketika pasangan kita itu berbuat salah kepada kita.
Akhirnya, buku setebal 250 halaman ini menjadi bacaan wajib, bukan saja bagi mereka yang belum menikah, tetapi lebih khusus bagi mereka yang baru atau telah lama menikah. Bahwa pasangan kita bukanlah malaikat yang tak punya khilaf. Andai diri tak seshalih Ali bin Abi Thalib, mengapa diri memimpikan istri seshalihah Fathimah binti Rasulullah? []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Penulis : Mas Udik Abdullah
Penerbit : Pro-U Media - Yogyakarta
Cetakan : II ; 2013
Tebal : 205 Halaman ; 12 x 20 cm
ISBN : 979-1273-83-9
Harga : Rp 32.000,-
Membicarakan jodoh, sama dengan membincang misteri kehidupan itu sendiri. Karena dalam undang-undang langit telah ditetapkan, bahwa jodoh adalah satu diantara banyaknya misteri kehidupan. Ia sama dengan rejeki juga ajal seseorang. Diantara bentuk kemisterian jodoh itu, kita tidak pernah tahu akan menikah dengan siapa, orang mana, anak siapa dan detail lain tentang jodoh kita. Baik sebelum ia bersanding di pelaminan. Ataupun, ketika misalnya kita sudah bersanding di pelaminan sebagai suami istri. Kita tidak pernah tahu, apakah dia akan menemani kita sepanjang hidup, atau pasangan kita lebih dulu menghadap Allah, atau bercerai di tengah jalan.
Satu hal yang harus kita lakukan karena misteri itu adalah keharusan untuk menggantungkan diri kepada Allah. Dia Maha Mengatur. Dia Maha Tahu siapa yang terbaik bagi kita. Dia Maha Mengerti akan apa yang kita butuhkan. Jika hal ini yang berhasil kita lakukan, maka terhadap satu misteri kehidupan ini, kita tak lagi mempunyai sedikitpun keraguan jika jodoh yang diidamkan tak kunjung bertamu. Karena satu-satunya hal yang layak membuat seorang mukmin risau adalah ketika Allah tak lagi ridho dengan dirinya.
Berbicara jodoh idaman, sejatinya sangat relatif jika dihadapkan pada selera masing-masing manusia. Apalagi, jika acuan yang dijadikan pedoman tidaklah jelas. Misalnya, ketika idaman diidentikkan dengan kecantikan. Maka, mereka yang menikah dengan seseorang yang kurang cantik, dianggap tidak mendapatkan jodoh yang diidamkan. Begitupun seterusnya. Ketika idaman diidentikkan dengan fisik dan duniawi, maka selamanya idaman bersifat relatif.
Sehingga, bagi seorang muslim yang mukmin, apalagi aktivis dakwah, jodoh idaman adalah jodoh yang sudah ditentukan kriterianya oleh Rasulullah. Yaitu yang baik agamanya, menawan perangainya. Jika hal ini yang dijadikan acuan, maka idaman, sejatinya adalah menurut Allah dan RasulNya, bukan menurut pribadi kita.
Jika acuan itu sudah dipegang teguh, selanjutnya kita bisa menambah kriteria idaman. Tentu, tambahan kriteria idaman ini tidak boleh keluar dari undang-undang Syaria’ah Islam. Maka, ketika seorang yang kita ingini untuk menjadi jodoh sudah baik agama dan akhlaknya, selanjutnya kita bisa menilik kriteria lain yang bisa membuat diri semakin mencintainya. Misalnya kecantikan, kekayaan, nasab yang bagus, subur rahimnya, sekufu dalam agama, yang perawan dan bukan dari kerabat dekat. (Bab IV).
Tentu, kesemua itu setelah seseorang sudah terbukti baik agama dan akhlaknya. Sehingga bukan menjadi hal yang pokok apalagi keutamaan. Karena dalam banyak hal, Rasul sudah mengingatkan, bahwa ketika kecantikan atau ketampanan menjadi sebuah alasan utama untuk menikah, maka bersiaplah untuk kecewa. Karena fisik hanya akan bertahan dalam hitungan tahun. Jika harta yang dijadikan acuan, maka bersiaplah menjadi miskin. Jika keturunan yang diunggulkan, maka bersiaplah untuk direndahkan.
Kesemua hal itu mengingatkan kepada kita, bahwa menikah adalah perintah Allah dan kita harus menjalani pula sesuai dengan peraturan yang telah Dia gariskan, bukan semau diri sendiri.
Selanjutnya, idaman akan menjadi lebih mudah didapatkan ketika diri menyederhakan kriteria sesuai dengan apa yang Rasulullah ajarkan. Sehingga tidak mempersulit apa-apa yang telah dimudahkan oleh Allah.
Setelah selesai tentang kriteria idaman, hal berikutnya adalah melayakkan diri. Ini paling penting. Karena Rasulullah telah mencontohkan, bahwa hanya beliaulah yang layak mempersunting Ummu Khadijah al Kubro. Padahal sebelum itu, banyak petinggi Quraisy yang melamar janda dua kali itu. Dalam kasus ini, Khadijah yang janda adalah jodoh idaman Sang Nabi yang ketika itu masih lajang. Begitupun dengan Ali dan Fathimah. Karena sebelum itu, Nabi menolak lamaran Abu Bakar, Umar dan Utsman yang berniat mempersunting Fathimah.
Melayakkan diri dimulai dengan niat. Menikah hanya karena Allah (Hal 113). Selanjutnya, perbanyak kebajikan (hal 118). Berupaya meraih pernikahan ruhani (Hal 120). Siap dalam suka dan duka (hal 126). Menjemput di tempat yang baik (Hal 129). Mengubah kriteria dan kekuatan doa (hal 134 )
Setelah upaya ikhtiari sudah dimaksimalkan, tentu saja diri tidak selamanya mendapatkan yang diidamkan. Di sinilah peran kesiapan dan keshalihan. Bahwa mereka yang telah memilih hanya karena Allah, maka dia siap untuk mengidealkan apa yang sebelumnya tidak ideal. Ini sangat wajar, karena yang ideal di dunia ini hanyalah Rasulullah. Meskipun kita tahu, seideal apapun kehidupan beliau, tetaplah penuh dengan ujian yang mendewasakan dan bisa dijadikan pelajaran bagi kita.
Lantas, jika ternyata orang yang dinikahi bukanlah jodoh idaman seperti dalam imajinasi kita? Buku ini memberikan jawaban yang menyeluruh atas hal tersebut.
Pertama, Mulailah dengan Rasa Syukur. Syukurilah karena pasangan kita mau menerima kita apa adanya. Jika memang fisiknya belum cantik, dia pasti memiliki kelebihan. Misalnya lembut, pandai memasak, perhatian, dan aneka kelebihan yang lain.
Kedua, Cinta Allah sebagai Cinta Tertinggi. Kembalilah berkaca tentang niat awal dalam menikah. Bahwa pasangan yang kita cintai hanyalah sarana dalam beribadah. Agar selepas nikah, agama kita menjadi sempurna, dan kita bisa lebih mencintai Allah di atas segalanya.
Ketiga, Jadikan Rumah sebagai Ladang Amal Shalih. Banyak hal yang bisa kita lakukan dalam hal ini. Misalnya membiasakan keluarga untuk melakukan amalan sunnah, membiasakan shalat tahajud berjamaah bersama istri dan anak-anak, mendirikan Majlis Ta’lim di rumah, dan seterusnya. Minimalisasi amalan sia-sia di dalam rumah kita. Jika bisa, hilangkan.
Keempat, Perbaiki Diri. Perbaikan diri bukan hanya sebelum menikah. Setelah menikah, hal itu justru lebih wajib. Apalagi sebagai kepala keluarga yang merupakan contoh bagi istri dan anak-anak. Perbaikan diri ini harus dilakuakn secara terprogram sehingga keberhasilannya bisa diukur dengan baik. Jadikan anak dan istri sebagai mitra. Insya Allah buahnya akan masak dengan sempurna.
Kelima, Didiklah Pasangan Anda. Ingat satu hal, istri kita bukanlah pembantu. Kerjanya bukan hanya sumur, dapur dan kasur. Apalagi jika istri kita adalah seorang sarjana. Jangan sampai tingkat intelektualitasnya tidak berkembang bahkan berhenti selepas menikah. Jika itu yang terjadi, bisa jadi hal itu merupakan dosa besar kita sebagai seorang suami.
Keenam, Pentingnya Komunikasi. Dalam biduk rumah tangga, salah faham menjadi sebuah kepastian. Pasti pernah terjadi. Seberapapun kadarnya. Maka dalam hal ini, komunikasi menjadi kunci penting untuk meminimalisasi keretakan apalagi perpecahan dalam rumah tangga. Komunikasi yang baik akan menautkan apa-apa yang sebelumnya retak.
Ketujuh, Ingat Kebaikan Pasangan. Carilah sebanyak mungkin kebaikan pasangan. Dan, jangan malu untuk mengungkapkannya sesering mungkin. Ucapkan “terima kasih” atas keikhlasannya, ucapkan “maaf” jika kita berlaku salah, dan sesekali bahkan seringkali, berikanlah hadiah untuk dia yang kita cinta.
Kedelapan, Sadar Diri dan Tidak Gemar Mencela. Sadarilah bahwa kita banyak salah. Sadarilah bahwa kita bukan manusia yang sempurna. Sehingga, kita mudah memaafkan jika suatu ketika pasangan kita itu berbuat salah kepada kita.
Akhirnya, buku setebal 250 halaman ini menjadi bacaan wajib, bukan saja bagi mereka yang belum menikah, tetapi lebih khusus bagi mereka yang baru atau telah lama menikah. Bahwa pasangan kita bukanlah malaikat yang tak punya khilaf. Andai diri tak seshalih Ali bin Abi Thalib, mengapa diri memimpikan istri seshalihah Fathimah binti Rasulullah? []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar