Karena dalam setiap keterbatasan ada rahasia-rahasia keajaiban. Bahkan sejarah mencatat dalam keterjepitan Rasulullah dan Abu Bakar saat dikejar kaum Qurais, ada tabir yang tersingkap. Rasulullah tahu bahwa mereka (kaum Qurais) masih saja terus mengejar. Tapi tidak ada raut wajah Rasulullah yang berlebihan. Hanya doa dan dzikir yang senantiasa membasahi lisan, fikir dan hatinya. Maka, Allah tolong pula dengan kekuasaanya. Lewat makhluk mungil bernama laba-laba. Lewat hewan mungil itu pula rekam jejaknya terhapus. Sekali lagi lewat makhluk mungil itu pula Allah balikkan hati kaum Qurais untuk menggagalkan rencana masuk gua tempat dua manusia pilihan itu bersembunyi.
Dititik nadir, seringkali orang menemukan apa yang selama ini menjadi pencariaannya. Sebagaimana seorang Umar bin Khaththab yang tiba-tiba mendapatkan hidayah saat adiknya sedang melantunkan kitab suci. Ada pertarungan yang membuncah pada diri Umar. Umar tahu bahwa sejatinya apa yang didengar adalah sebuah kebenaran. Tapi umar tidak langsung menerima kebenaran itu, bahkan amarahnya memuncak. Hingga akhirnya sentuhan kasar menghempas di pipi adiknya dan berdarahlah rayinya itu. Tapi di kemudian hari, justru kita menyaksikan bahwa Umarlah yang menjadi benteng kokoh dakwah Rasulullah.
Abdurrahman bin Auf orangnya. Yang kemudian kita kenal satu diantara sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga oleh Allah. Yang menarik, dia tidak tergiur dengan tawaran harta dari seorang sahabat anshar saat dia hijrah. Abdurrahman tidak punya apa-apa kala itu. Hanya sehelai pakaian yang ia kenakan. Jika ia mau, sangat muda baginya untuk mendapatkan separuh harta sahabatnya itu. Bukan hanya harta, termasuk juga istri sahabatnya. Tapi, keduanya ditolak. Bukan karena dia menjaga gengsi ataupun keakuannya. Tapi dia ingin membuktikan bahwa di titik nadir, dia mampu bertransformasi. Dan dia mampu membuktikan bahwa di titik nadir itu pulalah kekuatan hidayah itu datang. Karena dia meyakini dalam setiap kesempitan selalu ada cara untuk bangkit. Dia meyakini kandungan surah Al Insirah. Bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh bersama kesulitan ada kemudahan. Maka tidak ada kekawatiran dalam dirinya.
Semangat itupulalah yang membangunkan para santri pesantren seantero negeri dalam sejarah bangsa kita. Mungkin mereka sama sekali tidak punya senjata modern. Mereka hanya punya keyakinan yang teramat. Bahwa hanya ada dua pilihan. Kemuliaan dan kemenangan. Kemuliaan dalam ajalnya sebagai syuhada’. Dan kemenangan sebagai bangsa yang mandiri. Yang bebas menetukan nasibnya sendiri. Maka semakin dekat lawan dengan kelengkapan senjatanya semakin kuat pula azzam yang membuncah di dalam dada mereka untuk mengusir para penjajah.
Di titik nadir seringkali kita mampu berfikir jernih. Mampu mengurai ruwetnya masalah. Yang jarang terselesaikan saat kelapangan situasi. Ada saja cara Allah membangunkan insting keberpikiran kita. Karena di saat titik nadir itu pula semesta mendukung. Dalam kesempitan spektrum itu pula seringkali kita mengalami lompatan-lompatan dalam berfikir. Out of the box. Inilah cara berfikir orang yang tangguh.
Namun terkadang, kita juga ragu untuk melangkah. Kala kebenaran-kebenaran itu hinggap dan bertamu dalam area hati kita. Hingga keragu-raguan itulah yang menjadikan sinar kecemerlangan itu lepas kembali dari area pandang kita. Akhirnya kita masih saja menunda dan curiga pada pancaran kebenaran-kebenaran yang datang. Jika pola kita masih linear, maka mari kita mendesain ulang mindset kita. Bahwa Allah memberi jalan keluar dengan caraNya. Bahkan dengan cara yang tidak pernah kita duga sekalipun. Mungkin juga Dia kirim sosok makhluk mungil sebagaimana saat Rasulullah dikejar-kejar kaum Quraisy. Bahkan mungkin juga lewat seorang pengemis yang kita memandang sebelah mata sekalipun. Maka tidak ada lagi alasan untuk tak berdaya. Dalam keterbatasan apapun.
Karena Allah ingin memperlihatkan kepada kita bahwa keterbatasan bukan alasan untuk diam dan tak memberi kontribusi. Karena para pahlawan itu juga lahir dari keterbatasan. Mereka ditempa dalam situasi yang sulit, tapi mereka mampu menjadi pionir dalam kebaikan, menerobos relung-relung kejumudan. Sebagaimana sebuah permata. Akan senantiasa berharga dimanapun ia berada. Maka di titik nadir, kita temukan cahaya benderangNya.[]
Dititik nadir, seringkali orang menemukan apa yang selama ini menjadi pencariaannya. Sebagaimana seorang Umar bin Khaththab yang tiba-tiba mendapatkan hidayah saat adiknya sedang melantunkan kitab suci. Ada pertarungan yang membuncah pada diri Umar. Umar tahu bahwa sejatinya apa yang didengar adalah sebuah kebenaran. Tapi umar tidak langsung menerima kebenaran itu, bahkan amarahnya memuncak. Hingga akhirnya sentuhan kasar menghempas di pipi adiknya dan berdarahlah rayinya itu. Tapi di kemudian hari, justru kita menyaksikan bahwa Umarlah yang menjadi benteng kokoh dakwah Rasulullah.
Abdurrahman bin Auf orangnya. Yang kemudian kita kenal satu diantara sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga oleh Allah. Yang menarik, dia tidak tergiur dengan tawaran harta dari seorang sahabat anshar saat dia hijrah. Abdurrahman tidak punya apa-apa kala itu. Hanya sehelai pakaian yang ia kenakan. Jika ia mau, sangat muda baginya untuk mendapatkan separuh harta sahabatnya itu. Bukan hanya harta, termasuk juga istri sahabatnya. Tapi, keduanya ditolak. Bukan karena dia menjaga gengsi ataupun keakuannya. Tapi dia ingin membuktikan bahwa di titik nadir, dia mampu bertransformasi. Dan dia mampu membuktikan bahwa di titik nadir itu pulalah kekuatan hidayah itu datang. Karena dia meyakini dalam setiap kesempitan selalu ada cara untuk bangkit. Dia meyakini kandungan surah Al Insirah. Bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh bersama kesulitan ada kemudahan. Maka tidak ada kekawatiran dalam dirinya.
Semangat itupulalah yang membangunkan para santri pesantren seantero negeri dalam sejarah bangsa kita. Mungkin mereka sama sekali tidak punya senjata modern. Mereka hanya punya keyakinan yang teramat. Bahwa hanya ada dua pilihan. Kemuliaan dan kemenangan. Kemuliaan dalam ajalnya sebagai syuhada’. Dan kemenangan sebagai bangsa yang mandiri. Yang bebas menetukan nasibnya sendiri. Maka semakin dekat lawan dengan kelengkapan senjatanya semakin kuat pula azzam yang membuncah di dalam dada mereka untuk mengusir para penjajah.
Di titik nadir seringkali kita mampu berfikir jernih. Mampu mengurai ruwetnya masalah. Yang jarang terselesaikan saat kelapangan situasi. Ada saja cara Allah membangunkan insting keberpikiran kita. Karena di saat titik nadir itu pula semesta mendukung. Dalam kesempitan spektrum itu pula seringkali kita mengalami lompatan-lompatan dalam berfikir. Out of the box. Inilah cara berfikir orang yang tangguh.
Namun terkadang, kita juga ragu untuk melangkah. Kala kebenaran-kebenaran itu hinggap dan bertamu dalam area hati kita. Hingga keragu-raguan itulah yang menjadikan sinar kecemerlangan itu lepas kembali dari area pandang kita. Akhirnya kita masih saja menunda dan curiga pada pancaran kebenaran-kebenaran yang datang. Jika pola kita masih linear, maka mari kita mendesain ulang mindset kita. Bahwa Allah memberi jalan keluar dengan caraNya. Bahkan dengan cara yang tidak pernah kita duga sekalipun. Mungkin juga Dia kirim sosok makhluk mungil sebagaimana saat Rasulullah dikejar-kejar kaum Quraisy. Bahkan mungkin juga lewat seorang pengemis yang kita memandang sebelah mata sekalipun. Maka tidak ada lagi alasan untuk tak berdaya. Dalam keterbatasan apapun.
Karena Allah ingin memperlihatkan kepada kita bahwa keterbatasan bukan alasan untuk diam dan tak memberi kontribusi. Karena para pahlawan itu juga lahir dari keterbatasan. Mereka ditempa dalam situasi yang sulit, tapi mereka mampu menjadi pionir dalam kebaikan, menerobos relung-relung kejumudan. Sebagaimana sebuah permata. Akan senantiasa berharga dimanapun ia berada. Maka di titik nadir, kita temukan cahaya benderangNya.[]
Penulis : Dhiyaa Uddin
seorang pendidik, tinggal di Bekasi
0 komentar:
Posting Komentar