Berbeda dengan Salafi yang sebagiannya sudah berijtihad untuk berjuang melalui parlemen, seperti yang dipraktikkan di Mesir, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tetap pada pendirian perjuangan di luar parlemen. Namun demikian, HTI mulai memandang bahwa menjadi caleg adalah mubah (boleh).
“Karena pemilu adalah representasi dari pemilih kepada calon, sementara representasi dalam Islam adalah hal yang mubah, selama merupakan wakalah (representasi) dalam aktivitas yang disyariatkan. Karena wakil yang terpilih adalah wakil rakyat dalam mengekspresikan pendapat mereka dalam urusan politik, yaitu mengatur urusan rakyat. Berdasarkan semuanya itu, maka pecalonan dan pemilihannya adalah mubah,” tulis Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Hafidz Abdurrahman di situs resmi HTI.
Namun demikian, HTI mensyaratkan delapan hal agar caleg dapat dipilih. Kedelapan hal itu, menurut HTI, adalah program baku yang sesuai dengan syara’ sebagai berikut:
1. Tidak menyetujui konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia yang sedang diterapkan di Indonesia, kemudian berjuang untuk menggantinya dengan sistem Islam.
2. Tidak ikut serta dalam proses legislasi, karena menetapkan hukum bukanlah hak manusia. Karena kedaulatan dalam kehidupan kaum Muslim wajib dikembalikan kepada syara’.
3. Tidak ikut serta dalam memilih presiden, jika parlemen mempunyai hak memilih presiden, karena presiden yang terpilih memerintah dengan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah.
4. Hendaknya tidak memberikan kepercayaan kepada pemerintahan manapun karena kekuasaan eksekutif mengimplementasikan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia. Karena presiden juga memerintah dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah.
5. Tidak terlibat dalam menyetujui APBN, karena APBN ini disusun berdasarkan asas yang lain, selain Islam, yaitu sistem Kapitalisme yang berlumuran riba dan transaksi finansial yang diharamkan oleh syara’. Lebih dari itu, APBN tersebut menjadikan negara tunduk pada organisasi ekonomi global, dan perusahaan Kapitalisme yang merampok kekayaan umat manusia.
6. Hendaknya tidak berpartisipasi dalam menyetujui perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh penguasa. Karena perjanjian-perjanjian itu ditetapkan berdasarkan konstitusional dan perundang-undangan yang menyalahi syariah. Disamping perjanjian-perjanjian itu pada kebanyakan kondisi memberikan jalan kepada negara-negara besar untuk menguasai umat.
7. Hendaknya calon terpilih mengoreksi kekuasaan eksekutif berdasarkan hukum-hukum syariah Islam, bukan berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia.
8. Hendaknya tidak berkoalisi dalam aksi pemilihannya dengan calon-calon yang tidak berpegang kepada hukum-hukum Islam dalam program dan sikap politik mereka. Karena dengan koalisi itu artinya dia menyetujui jalan mereka dan menyeru pemilih untuk memilih mereka. [AM/hti]
“Karena pemilu adalah representasi dari pemilih kepada calon, sementara representasi dalam Islam adalah hal yang mubah, selama merupakan wakalah (representasi) dalam aktivitas yang disyariatkan. Karena wakil yang terpilih adalah wakil rakyat dalam mengekspresikan pendapat mereka dalam urusan politik, yaitu mengatur urusan rakyat. Berdasarkan semuanya itu, maka pecalonan dan pemilihannya adalah mubah,” tulis Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Hafidz Abdurrahman di situs resmi HTI.
Namun demikian, HTI mensyaratkan delapan hal agar caleg dapat dipilih. Kedelapan hal itu, menurut HTI, adalah program baku yang sesuai dengan syara’ sebagai berikut:
1. Tidak menyetujui konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia yang sedang diterapkan di Indonesia, kemudian berjuang untuk menggantinya dengan sistem Islam.
2. Tidak ikut serta dalam proses legislasi, karena menetapkan hukum bukanlah hak manusia. Karena kedaulatan dalam kehidupan kaum Muslim wajib dikembalikan kepada syara’.
3. Tidak ikut serta dalam memilih presiden, jika parlemen mempunyai hak memilih presiden, karena presiden yang terpilih memerintah dengan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah.
4. Hendaknya tidak memberikan kepercayaan kepada pemerintahan manapun karena kekuasaan eksekutif mengimplementasikan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia. Karena presiden juga memerintah dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah.
5. Tidak terlibat dalam menyetujui APBN, karena APBN ini disusun berdasarkan asas yang lain, selain Islam, yaitu sistem Kapitalisme yang berlumuran riba dan transaksi finansial yang diharamkan oleh syara’. Lebih dari itu, APBN tersebut menjadikan negara tunduk pada organisasi ekonomi global, dan perusahaan Kapitalisme yang merampok kekayaan umat manusia.
6. Hendaknya tidak berpartisipasi dalam menyetujui perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh penguasa. Karena perjanjian-perjanjian itu ditetapkan berdasarkan konstitusional dan perundang-undangan yang menyalahi syariah. Disamping perjanjian-perjanjian itu pada kebanyakan kondisi memberikan jalan kepada negara-negara besar untuk menguasai umat.
7. Hendaknya calon terpilih mengoreksi kekuasaan eksekutif berdasarkan hukum-hukum syariah Islam, bukan berdasarkan konstitusi dan perundang-undangan buatan manusia.
8. Hendaknya tidak berkoalisi dalam aksi pemilihannya dengan calon-calon yang tidak berpegang kepada hukum-hukum Islam dalam program dan sikap politik mereka. Karena dengan koalisi itu artinya dia menyetujui jalan mereka dan menyeru pemilih untuk memilih mereka. [AM/hti]
0 komentar:
Posting Komentar