Kenangan Bersama Rohis Al-Futuwah Kan Abadi

Kenangan Bersama Rohis Al-Futuwah Kan Abadi

Ilustrasi halaqah (foto dakwatuna.com)
Tahun 2003 adalah tahun perdana aku menginjakkan kaki di Jakarta. Bukan untuk bertamasya keliling Dufan, Taman Mini atau Jakarta Fair tapi untuk satu tugas seorang anak muda yang baru saja lulus SMU, apalagi kalau bukan melanjutkan kuliah. Tekadku sudah bulat atau lebih tepatnya terdoktrin oleh titah teman se-SMUku dulu, namanya Rudi. Ia berujar “Kalau kuliah merantau, enak bisa mandiri dan cuci baju sendiri”. Doktrin sederhananya terngiang terus di kepalaku hingga akhirnya lulus di kampus STT-PLN (Sekolah Tinggi Teknik-PLN) di bilangan Jakarta Barat.

Hari-hari pertamaku disibukkan dengan matrikulasi beberapa mata kuliah eksakta, namun benakku selalu terngiang ke sebuah ruang UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang berada di lantai 2, letaknya strategis dan bersih. Akhirnya kesempatan bertemu para aktivis UKM itupun datang juga,saat prokasuh (program kakak asuh) perdana diselenggarakan. Acaranya Islami, penuh keakraban dan berakhir dengan pengelompokan mentoring di masjid Nurul Ilmi yang dulu masih berada di lantai 2. Satu hingga dua semester pun berlalu. Kakak mentor pertamaku bernama Kak Fuji, orangnya super ramah dan penyabar, ya penyabar dengan sikap teman-temanku yang sering iseng, melucu walau kadang harus serius juga ketika setor hafalan An-Naba’.

Kak Fuji mengajarkan kami banyak hal tentang Mengenal Allah (Ma’rifatullah) yang sejatinya adalah inti dari ajaran Islam. Lalu di pertemuan-pertemuan berikutnya kami disuguhi materi-materi mengenal Nabi. Tetapi jika menjelang UTS (Ujian Tengah Semester) dan UAS (Ujian Akhir Semester) akan diselingi juga pembahasan soal dengan mengundang mentor tamu khusus untuk mengajarkan kami bahan-bahan kuliah. Prokasuh ini terkesan sangat sederhana namun ia telah menyentuh hati puluhan bahkan ribuan mahasiswa baru yang nantinya akan menyatu bersama dakwah.

Aku kala mengingat lagi memori hari-hari itu, memori prokasuh, halaqoh, rihlah, konser amal Palestina, akan selalu berpikir tentang bagaimana dakwah itu sungguh sederhana, karena kalau hati bertemu hati untuk saling mengasihi karena Allah, akan ditunjukkan jalan-jalan menjaga eksistensinya. Dari situ pula aku merasakan makna indah dari doa Rabithah yang dianjurkan selalu membacanya, artinya:
Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui hati-hati ini berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam taat pada-Mu, telah bersatu dalam dakwah pada-Mu, telah berpadu dalam membela syariat-Mu. Teguhkanlah, ya Allah, ikatannya.

Kini kesederhanaan konsep dakwah itu masih membekas. Sepuluh tahun sudah mengenal dakwah, mengenal para aktivis tanpa bayaran di dalamnya, kakak-kakak mentor yang unforgettable, pun guru-guru (murabbi) yang menunjukkan keteladanan pengorbanan. UKM itu bernama Al-Futuwah, kini masjid yang rimbun telah menggantikan masjid lantai dua dulu, namun namanya tetap sama, NURUL ILMI, cahaya ilmu.

Oh ya, terkait doktrin temanku si Rudi itu, benar yang ia katakan bahwa aku mampu hidup mandiri, namun hingga lulus kuliah tidak sekalipun aku cuci baju sendiri. Lebih dari itu aku mendapatkan nikmat yang lebih besar, nikmat mengenal dakwah.

Tulisan ini kupersembahkan untuk Kak Fuji, barakallahu lakuma wa baraka ‘alaikuma wajama’a bainakuma fii khair...

Penulis : Kahlil Muhammad
Kaohsiung City, Taiwan

Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)


0 komentar:

Posting Komentar