Judul : Kupilih Engkau Karena Allah
Penulis : Jauhar al-Zanki
Penerbit : Pro-U Media - Yogyakarta
Cetakan : I ; Februari 2013
Ukuran : 221 Halaman ; 12 x 20 cm
Harga : Rp 32.000,-
Bagi seorang muslim, apalagi aktivis dakwah, menikah bukan sekedar tertautnya dua fisik dan keluarga. Bagi mereka, menikah adalah pertautan antara ideologi dan cita-cita. Menikah adalah bagian tak terpisahkan dari proses penghambaan diri kepada Allah. Ia merupakan ibadah unggulan yang tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ada banyak hal yang dijadikan pertimbangan. Dan pertimbangan itu, bukan mempersulit melainkan mempermudah. Bukan pula untuk berlama tanpa sebab, tetapi menyegerakan setelah siap.
Tercapainya visi suci pernikahan berupa terlahirnya generasi yang memberatkan bumi dengan kalimat tauhid, sangat erat kaitannya dengan proses memilih pasangan. Baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam hal memilih, Islam memberikan kemudahan. Bahwa memilih tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Dalam Islam, perempuan diberikan hak pula untuk memilih. Tentu, dengan cara ahsan yang sudah diatur dan dicontohkan dengan baik oleh generasi awal agama ini. Sebut saja Ummu Khadijah yang mengajukan dirinya untuk Rasululah Yang Mulia. Seperti halnya laki-laki, wanita yang mengajukan diri dengan keyakinan penuh, adalah satu dari sekian banyaknya wujud keshalihan dan keinginan untuk menjaga diri dari dosa.
Terkait pilihan terhadap calon jodoh, Rasulullah sudah jauh-jauh hari memberikan guidenya, “Wanita dinikahi karena empat perkara : hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah karena agama, niscaya kalian akan beruntung.” Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini merupakan panduan yang tidak bisa ditwar lagi. (Hal 20)
Artinya, sebagai konsekuensi atas kemusliman kita, maka dalam memilih calon pasangan, yang dijadikan acuan utama adalah agamanya. Bukan sekedar kaya, darah biru ataupun cantik. Sehingga, memilih yang cantik, kaya ataupun keturunan ningrat bukanlah larangan. Tapi kesemuanya itu, harus didahuli dengan kata shalih atau shalihah (bagus agamanya). Maka, ketika pilihan dijatuhkan kepada mereka yang baik secara agamanya, disertai embel-embel duniawi lainnya, niscaya kita akan beruntung.
Diantara beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai syarat keshalihan seseorang yang akan kita pilih adalah, selaras dan seimbang, pandai memelihara diri, santun perangainya, bisa menjaga rahasia, cermat dan bersahaja, menerima apa adanya, gampang dipinang, bibit unggul, taat dan bersahabat, bukan pencemburu buta, suka menyambung kekerabatan, menyayangi anak kecil dan mantap jiwanya. (Bab II)
Setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut sudah dibicarakan dengan perantara, baik itu sahabat, guru, ustadz maupun orang tua, maka Islam membolehkan seorang peminang untuk melihat calon yang akan dipinangnya.
Melihat dalam makna lahir dan batin. Lagi-lagi, dalam hal ini Islam memberikan aturan yang jelas. Melihat calon diperbolehkan agar peminang semakin mantap terhadap calon pasangan hidupnya itu. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah, “Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang wanita, maka tak ada dosa baginya untuk melihatnya jika maksudnya ingin benar-benar meminangnya, meskipun wanita itu tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat). (HR Ahmad dan Thahawi) (Hal 97)
Melihat calon juga dianjurkan agar tidak terjadi penyesalan setelah pernikahan. Karena hal ini pernah terjadi di zaman nabi. Ada Sahabiyah yang menikah dengan seorang Sahabat. Memang, akhlak Sahabat tersebut sangatlah baik. Namun sebagai manusia, masalah fisik tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga selepas nikah, Sahabiyah itu minta ijin kepada nabi agar diceraikan oleh suaminya lantaran fisik suami yang tidak seperti dalam bayangannya. Bahkan, dalam riwayat tersebut dikatakan, “Jika saja dia bukan suamiku, aku akan meludahinya ketika melihat wajahnya.” Sahabiyah itu mohon ijin cerai karena takut tidak taat kepada suaminya.
Hal berikutnya yang tidak boleh dilupakan oleh calon peminang adalah mengadukannya kepada Allah. Bahwa di atas semua pertimbangannya, ada Allah yang Maha Kuasa. Hendaklah pernikahan itu disandarkan kepada Dzat yang memerintahkannya. Sehingga, ketika terjadi riak dan gelombang di kemudian hari, pasangan tersebut bisa kembali minta tolong kepada Allah yang telah mempersatukan mereka.
Di luar itu semua, masing-masing muslim memang harus mempersiapkan diri dan berusaha sekuat mampunya. Terkait hasil –menikah kapan dengan siapa- itu adalah hak prerogatif Allah. Manusia hanya pelaku, bukan penentu hasil. Maka ketika belum mendapatkan apa yang diharapkan, bisa jadi, Allah menginginkan agar seseorang berusaha lebih keras lagi, lebih cerdas lagi.
Kesiapan masing-masing individu juga tak bisa dikesampingkan. Mulai dari persiapan ilmu sebagai panduan perjalanan, mental sebagai bekal, fisik sebagai sarana, ekonomi sebagai penunjang kebahagiaan dan persiapan sosial dalam rangka bermasyarakat selepas nikah. (Hal 160-168)
Dengan sajian yang mengalir, santun dan lembut ini, Jauhar al-Zanki mengajak para calon pengantin untuk sungguh-sungguh dalam proses mempersiapkan diri sebelum mengambil keputusan besar bernama pernikahan. Dengan lugas, penulis menyajikan analisis yang berimbang, dengan panduan kisah-kisah yang terjadi di zaman nabi. Sangat sayang dilewatkan bagi mereka yang hendak menikah, maupun bagi orang tua yang akan memilihkan jodoh untuk anak-anaknya.[]
Penulis : Pirman
Penulis Antologi Surat Cinta Untuk Murobbi dan sejumlah buku lainnya
Penulis resensi di sejumlah media cetak
Facebook: usman.alfarisi.9 Penulis : Jauhar al-Zanki
Penerbit : Pro-U Media - Yogyakarta
Cetakan : I ; Februari 2013
Ukuran : 221 Halaman ; 12 x 20 cm
Harga : Rp 32.000,-
Bagi seorang muslim, apalagi aktivis dakwah, menikah bukan sekedar tertautnya dua fisik dan keluarga. Bagi mereka, menikah adalah pertautan antara ideologi dan cita-cita. Menikah adalah bagian tak terpisahkan dari proses penghambaan diri kepada Allah. Ia merupakan ibadah unggulan yang tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ada banyak hal yang dijadikan pertimbangan. Dan pertimbangan itu, bukan mempersulit melainkan mempermudah. Bukan pula untuk berlama tanpa sebab, tetapi menyegerakan setelah siap.
Tercapainya visi suci pernikahan berupa terlahirnya generasi yang memberatkan bumi dengan kalimat tauhid, sangat erat kaitannya dengan proses memilih pasangan. Baik oleh laki-laki maupun perempuan. Dalam hal memilih, Islam memberikan kemudahan. Bahwa memilih tidak hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Dalam Islam, perempuan diberikan hak pula untuk memilih. Tentu, dengan cara ahsan yang sudah diatur dan dicontohkan dengan baik oleh generasi awal agama ini. Sebut saja Ummu Khadijah yang mengajukan dirinya untuk Rasululah Yang Mulia. Seperti halnya laki-laki, wanita yang mengajukan diri dengan keyakinan penuh, adalah satu dari sekian banyaknya wujud keshalihan dan keinginan untuk menjaga diri dari dosa.
Terkait pilihan terhadap calon jodoh, Rasulullah sudah jauh-jauh hari memberikan guidenya, “Wanita dinikahi karena empat perkara : hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah karena agama, niscaya kalian akan beruntung.” Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini merupakan panduan yang tidak bisa ditwar lagi. (Hal 20)
Artinya, sebagai konsekuensi atas kemusliman kita, maka dalam memilih calon pasangan, yang dijadikan acuan utama adalah agamanya. Bukan sekedar kaya, darah biru ataupun cantik. Sehingga, memilih yang cantik, kaya ataupun keturunan ningrat bukanlah larangan. Tapi kesemuanya itu, harus didahuli dengan kata shalih atau shalihah (bagus agamanya). Maka, ketika pilihan dijatuhkan kepada mereka yang baik secara agamanya, disertai embel-embel duniawi lainnya, niscaya kita akan beruntung.
Diantara beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai syarat keshalihan seseorang yang akan kita pilih adalah, selaras dan seimbang, pandai memelihara diri, santun perangainya, bisa menjaga rahasia, cermat dan bersahaja, menerima apa adanya, gampang dipinang, bibit unggul, taat dan bersahabat, bukan pencemburu buta, suka menyambung kekerabatan, menyayangi anak kecil dan mantap jiwanya. (Bab II)
Setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut sudah dibicarakan dengan perantara, baik itu sahabat, guru, ustadz maupun orang tua, maka Islam membolehkan seorang peminang untuk melihat calon yang akan dipinangnya.
Melihat dalam makna lahir dan batin. Lagi-lagi, dalam hal ini Islam memberikan aturan yang jelas. Melihat calon diperbolehkan agar peminang semakin mantap terhadap calon pasangan hidupnya itu. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah, “Jika salah seorang diantara kalian meminang seorang wanita, maka tak ada dosa baginya untuk melihatnya jika maksudnya ingin benar-benar meminangnya, meskipun wanita itu tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat). (HR Ahmad dan Thahawi) (Hal 97)
Melihat calon juga dianjurkan agar tidak terjadi penyesalan setelah pernikahan. Karena hal ini pernah terjadi di zaman nabi. Ada Sahabiyah yang menikah dengan seorang Sahabat. Memang, akhlak Sahabat tersebut sangatlah baik. Namun sebagai manusia, masalah fisik tidak bisa diabaikan begitu saja. Sehingga selepas nikah, Sahabiyah itu minta ijin kepada nabi agar diceraikan oleh suaminya lantaran fisik suami yang tidak seperti dalam bayangannya. Bahkan, dalam riwayat tersebut dikatakan, “Jika saja dia bukan suamiku, aku akan meludahinya ketika melihat wajahnya.” Sahabiyah itu mohon ijin cerai karena takut tidak taat kepada suaminya.
Hal berikutnya yang tidak boleh dilupakan oleh calon peminang adalah mengadukannya kepada Allah. Bahwa di atas semua pertimbangannya, ada Allah yang Maha Kuasa. Hendaklah pernikahan itu disandarkan kepada Dzat yang memerintahkannya. Sehingga, ketika terjadi riak dan gelombang di kemudian hari, pasangan tersebut bisa kembali minta tolong kepada Allah yang telah mempersatukan mereka.
Di luar itu semua, masing-masing muslim memang harus mempersiapkan diri dan berusaha sekuat mampunya. Terkait hasil –menikah kapan dengan siapa- itu adalah hak prerogatif Allah. Manusia hanya pelaku, bukan penentu hasil. Maka ketika belum mendapatkan apa yang diharapkan, bisa jadi, Allah menginginkan agar seseorang berusaha lebih keras lagi, lebih cerdas lagi.
Kesiapan masing-masing individu juga tak bisa dikesampingkan. Mulai dari persiapan ilmu sebagai panduan perjalanan, mental sebagai bekal, fisik sebagai sarana, ekonomi sebagai penunjang kebahagiaan dan persiapan sosial dalam rangka bermasyarakat selepas nikah. (Hal 160-168)
Dengan sajian yang mengalir, santun dan lembut ini, Jauhar al-Zanki mengajak para calon pengantin untuk sungguh-sungguh dalam proses mempersiapkan diri sebelum mengambil keputusan besar bernama pernikahan. Dengan lugas, penulis menyajikan analisis yang berimbang, dengan panduan kisah-kisah yang terjadi di zaman nabi. Sangat sayang dilewatkan bagi mereka yang hendak menikah, maupun bagi orang tua yang akan memilihkan jodoh untuk anak-anaknya.[]
Penulis : Pirman
Penulis Antologi Surat Cinta Untuk Murobbi dan sejumlah buku lainnya
Penulis resensi di sejumlah media cetak
0 komentar:
Posting Komentar