Judul : Dalam Dekapan Ramadhan
Penulis : Saief Alemdar
Penerbit : Elex Media Komputindo - Jakarta
Cetakan : I ; Juni 2013
Tebal : 161 Halaman
ISBN : 978-602-02-1477-1
Satu diantara banyaknya tanda Sayangnya Allah kepada hambaNya adalah diturunkannya bulan Ramadhan untuk umat Muhammad. Bulan ke Sembilan dalam kalender hijriyah ini, dalam sebuah hadits riwayat Thabrani, disebut sebagai bulan terbaik. Sebagaimana Jum’at sebagai hari terbaik diantara hari yang lain.
Tentu, kemulian ini bukan bermaksud mendiskreditkan bulan lain. Melainkan sebuah penekanan agar aktivitas sepanjang detik di bulan itu, harus selalu diisi dengan amal-amal kebaikan yang disunnahkan. Dengan kuantitas sebanyak mungkin, dengan kualitas terbaik.
Sayangnya, meskipun banyak riwayat dan ayat yang menjelaskan tentang mulianya bulan ini, banyak diantara kaum muslimin yang salah faham. Bahkan, ada diantara mereka yang tidak mau memahami dengan seksama karakter bulan ini.
Banyak diantara kaum muslimin yang hanya menyambut Ramadhan dengan timbunan makanan enak untuk berbuka dan sahur, hiburan penuh canda tawa tak bermakna, jalan-jalan di pusat-pusat perbelanjaan ataupun pusat keramaian, sampai ‘nongkrong’ berjam-jam menunggu adzan berkumandang, tanpa aktivitas bermakna. Jangankan untuk akhirat, bermanfaat dalam kehidupanpun tidak.
Ketika Ramadhan hamper usai, kaum muslimin kembali disibukkan dengan tunjangan hari raya, belanja pakaian baru dan membuat aneka macam kue dan jenis makanan. Alhasil, sajian ruhani paling bergizi dalam setahun itu hanya dimaknai secara fisik. Tanpa ruh. Tanpa makna.
Untuk menggapai keberkahan Ramadhan yang tinggal separuh ini, perlu kita tinjau ulang niat kita. Yang harus dilakukan pertama kali adalah bertanya pada diri. Apakah Ramadhan adalah tuan rumah atau tamu agung yang kita nanti kedatangannya?
Jika Ramadhan adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang baik, kita haruslah mengikuti aturan main yang diberikan oleh tuan rumah. Tidak boleh asal. Apalagi melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak disukai oleh tuan rumah tempat kita bertamu. Sementara ketika kita menganggap Ramadhan sebagai tamu, sudah selayaknya kita menyambut tamu dengan standar kemuliaan tamu tersebut. Sebagaimana ketika ada Presiden yang hendak mampir ke rumah kita, maka kita korbankan semua yang potensi dan harta untuk menyambut kedatangan sang Presiden. Maka sejatinya, mempersiapkan sambutan terbaik, lebih layak kita berikan kepada Ramadhan dibanding kepada Presiden negeri manapun yang bertamu ke rumah kita. (Hal 12)
Setelah memahami posisi bulan kemualiaan itu, yang tak kalah pentingnya adalah memahami teks al-Qur’an, hadits dan atsar para sahabat nabi tentang Bulan Suci ini. Al-Qur’an menyebutkan bahwa puasa di bulan mulia ini bermaksud untuk mendidik kaum muslimin menjadi orang yang bertaqwa, orang yang bersyukur dan orang yang senantiasa berada dalam kebaikan.
Dalam hadits disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan terbaik. Jika umat islam tahu betapa agungnya bulan ini, maka mereka akan berharap agar sepanjang tahun adalah Ramadhan. Pada bulan itu, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup. Puasa dan sholat malam di dalamnya, jika dilakukan dengan iman dan ihtisaban, akan menjadi sarana penghapus dosa. Dan yang paling utama, pada bulan itu terdapat Lailatul Qadr. Yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan. (Hal 15-16)
Ramadhan adalah bulan cetakan sejarah. Banyak peristiwa monumental yang dicapai oleh kaum muslimin justru ketika mereka tengah berada dalam lapar dan haus. Mulai dari Perang Badar, Fathu Makkah, Penghancuran berhala di ka’bah oleh Khalid bin walid, Perang Qadisia melawan Romawi, Perang Zallaqa melawan Eropa, dan aneka jenis peperangan lain yang hampir semuanya dimenangkan kaum Muslimin. Termasuk Perang Arab melawan Zionis pada tahun 1393 Hijriyah yang berakhir dengan perjanjian Camp David.
Perang bukanlah produk Islam. Ia hanya sebuah mekanisme pembelaan terhadap diri dan agama. Sehingga suka maupun tidak, hal tersebut haruslah dilakukan. Karena dalam hal tersebut, ada banyak kebaikan yang hendak Allah berikan.
Maka, ketika tidak terjadi peperangan fisik, kaum muslimin harus tetap berperang melawan nafsu jahat yang ada dalam diri. Di sinilah bermulanya semuanya keajaiban-keajaiban yang Allah berikan kepada kaum muslimin. Bahwa kemenangan terhadap musuh, hanya bisa diperoleh ketika kaum muslimin berhasil mengalahkan nafsu yang bersemayam dalam dirinya.
Penundukan hawa nafsu inilah yang harusnya berujung pada perubahan kaum muslimin menjadi umat terbaik. Karena perubahan yang Allah gariskan, tidak akan terjadi selama kaum tersebut tidak merubah dirinya. Bulan Puasa seharusnya membuat kita lebih semangat berkarya dan membuat perubahan dalam hidup. Karena apapun yang dilakukan oleh orang yang berpuasa akan menjadi ibadah. Bahkan, tidur sekalipun termasuk ibadah. Meskipun lebih baik tidak hanya tidur saat berpuasa. (Hal 23)
Akhirnya, buku yang ditulis oleh lajang asal Tanah Rencong ini mengajak kita untuk menapaki Ramadhan dengan beragam amal shalih –Tilawah al-Qur’an, sedekah, dzikir, menjaga lisan, Qiyamullail, dst. Diawali dengan renungan-renungan dahsyat tentang Ramadhan, buku ini semakin menarik karena dilengkapi dengan fikih puasa yang wajib kita ketahui. Di dalamnya juga dibahas beragam pertanyaan yang sering terulang di bulan suci ini.
Yang tak kalah menarik, pada akhir buku disajikan peran zakat dalam memakmurkan sebuah komunitas maupun bangsa. Mulai dari zakat harta sampai zakat fitrah. Lebih khusus, zakat fitrah adalah ‘ramuan’ mujarab yang Allah perintahkan untuk menyempurnakan puasa yang kita kerjakan sebulan penuh.
Penulis yang tengah menimba ilmu di Damaskus ini seakan mengajak kita agar berada dalam dekap mesra Ramadhan. Beliau menuturkan halus dengan bahasa hikmah, “Ramadhan adalah bulan pengisian bahan bakar ruhani agar kita bisa melaju kencang dengan selamat menuju Allah dalam sebelas bulan setelahnya. Hingga kita bertemu Ramadhan di tahun beirkutnya. Atau kita mati selepas Ramadhan yang kita optimalkan di tahun ini.”
Penulis : Pirman
Penulis Antologi Surat Cinta Untuk Murobbi dan sejumlah buku lainnya
Penulis resensi di sejumlah media cetak
Penulis : Saief Alemdar
Penerbit : Elex Media Komputindo - Jakarta
Cetakan : I ; Juni 2013
Tebal : 161 Halaman
ISBN : 978-602-02-1477-1
Satu diantara banyaknya tanda Sayangnya Allah kepada hambaNya adalah diturunkannya bulan Ramadhan untuk umat Muhammad. Bulan ke Sembilan dalam kalender hijriyah ini, dalam sebuah hadits riwayat Thabrani, disebut sebagai bulan terbaik. Sebagaimana Jum’at sebagai hari terbaik diantara hari yang lain.
Tentu, kemulian ini bukan bermaksud mendiskreditkan bulan lain. Melainkan sebuah penekanan agar aktivitas sepanjang detik di bulan itu, harus selalu diisi dengan amal-amal kebaikan yang disunnahkan. Dengan kuantitas sebanyak mungkin, dengan kualitas terbaik.
Sayangnya, meskipun banyak riwayat dan ayat yang menjelaskan tentang mulianya bulan ini, banyak diantara kaum muslimin yang salah faham. Bahkan, ada diantara mereka yang tidak mau memahami dengan seksama karakter bulan ini.
Banyak diantara kaum muslimin yang hanya menyambut Ramadhan dengan timbunan makanan enak untuk berbuka dan sahur, hiburan penuh canda tawa tak bermakna, jalan-jalan di pusat-pusat perbelanjaan ataupun pusat keramaian, sampai ‘nongkrong’ berjam-jam menunggu adzan berkumandang, tanpa aktivitas bermakna. Jangankan untuk akhirat, bermanfaat dalam kehidupanpun tidak.
Ketika Ramadhan hamper usai, kaum muslimin kembali disibukkan dengan tunjangan hari raya, belanja pakaian baru dan membuat aneka macam kue dan jenis makanan. Alhasil, sajian ruhani paling bergizi dalam setahun itu hanya dimaknai secara fisik. Tanpa ruh. Tanpa makna.
Untuk menggapai keberkahan Ramadhan yang tinggal separuh ini, perlu kita tinjau ulang niat kita. Yang harus dilakukan pertama kali adalah bertanya pada diri. Apakah Ramadhan adalah tuan rumah atau tamu agung yang kita nanti kedatangannya?
Jika Ramadhan adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang baik, kita haruslah mengikuti aturan main yang diberikan oleh tuan rumah. Tidak boleh asal. Apalagi melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak disukai oleh tuan rumah tempat kita bertamu. Sementara ketika kita menganggap Ramadhan sebagai tamu, sudah selayaknya kita menyambut tamu dengan standar kemuliaan tamu tersebut. Sebagaimana ketika ada Presiden yang hendak mampir ke rumah kita, maka kita korbankan semua yang potensi dan harta untuk menyambut kedatangan sang Presiden. Maka sejatinya, mempersiapkan sambutan terbaik, lebih layak kita berikan kepada Ramadhan dibanding kepada Presiden negeri manapun yang bertamu ke rumah kita. (Hal 12)
Setelah memahami posisi bulan kemualiaan itu, yang tak kalah pentingnya adalah memahami teks al-Qur’an, hadits dan atsar para sahabat nabi tentang Bulan Suci ini. Al-Qur’an menyebutkan bahwa puasa di bulan mulia ini bermaksud untuk mendidik kaum muslimin menjadi orang yang bertaqwa, orang yang bersyukur dan orang yang senantiasa berada dalam kebaikan.
Dalam hadits disebutkan bahwa Ramadhan adalah bulan terbaik. Jika umat islam tahu betapa agungnya bulan ini, maka mereka akan berharap agar sepanjang tahun adalah Ramadhan. Pada bulan itu, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup. Puasa dan sholat malam di dalamnya, jika dilakukan dengan iman dan ihtisaban, akan menjadi sarana penghapus dosa. Dan yang paling utama, pada bulan itu terdapat Lailatul Qadr. Yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan. (Hal 15-16)
Ramadhan adalah bulan cetakan sejarah. Banyak peristiwa monumental yang dicapai oleh kaum muslimin justru ketika mereka tengah berada dalam lapar dan haus. Mulai dari Perang Badar, Fathu Makkah, Penghancuran berhala di ka’bah oleh Khalid bin walid, Perang Qadisia melawan Romawi, Perang Zallaqa melawan Eropa, dan aneka jenis peperangan lain yang hampir semuanya dimenangkan kaum Muslimin. Termasuk Perang Arab melawan Zionis pada tahun 1393 Hijriyah yang berakhir dengan perjanjian Camp David.
Perang bukanlah produk Islam. Ia hanya sebuah mekanisme pembelaan terhadap diri dan agama. Sehingga suka maupun tidak, hal tersebut haruslah dilakukan. Karena dalam hal tersebut, ada banyak kebaikan yang hendak Allah berikan.
Maka, ketika tidak terjadi peperangan fisik, kaum muslimin harus tetap berperang melawan nafsu jahat yang ada dalam diri. Di sinilah bermulanya semuanya keajaiban-keajaiban yang Allah berikan kepada kaum muslimin. Bahwa kemenangan terhadap musuh, hanya bisa diperoleh ketika kaum muslimin berhasil mengalahkan nafsu yang bersemayam dalam dirinya.
Penundukan hawa nafsu inilah yang harusnya berujung pada perubahan kaum muslimin menjadi umat terbaik. Karena perubahan yang Allah gariskan, tidak akan terjadi selama kaum tersebut tidak merubah dirinya. Bulan Puasa seharusnya membuat kita lebih semangat berkarya dan membuat perubahan dalam hidup. Karena apapun yang dilakukan oleh orang yang berpuasa akan menjadi ibadah. Bahkan, tidur sekalipun termasuk ibadah. Meskipun lebih baik tidak hanya tidur saat berpuasa. (Hal 23)
Akhirnya, buku yang ditulis oleh lajang asal Tanah Rencong ini mengajak kita untuk menapaki Ramadhan dengan beragam amal shalih –Tilawah al-Qur’an, sedekah, dzikir, menjaga lisan, Qiyamullail, dst. Diawali dengan renungan-renungan dahsyat tentang Ramadhan, buku ini semakin menarik karena dilengkapi dengan fikih puasa yang wajib kita ketahui. Di dalamnya juga dibahas beragam pertanyaan yang sering terulang di bulan suci ini.
Yang tak kalah menarik, pada akhir buku disajikan peran zakat dalam memakmurkan sebuah komunitas maupun bangsa. Mulai dari zakat harta sampai zakat fitrah. Lebih khusus, zakat fitrah adalah ‘ramuan’ mujarab yang Allah perintahkan untuk menyempurnakan puasa yang kita kerjakan sebulan penuh.
Penulis yang tengah menimba ilmu di Damaskus ini seakan mengajak kita agar berada dalam dekap mesra Ramadhan. Beliau menuturkan halus dengan bahasa hikmah, “Ramadhan adalah bulan pengisian bahan bakar ruhani agar kita bisa melaju kencang dengan selamat menuju Allah dalam sebelas bulan setelahnya. Hingga kita bertemu Ramadhan di tahun beirkutnya. Atau kita mati selepas Ramadhan yang kita optimalkan di tahun ini.”
Penulis : Pirman
Penulis Antologi Surat Cinta Untuk Murobbi dan sejumlah buku lainnya
Penulis resensi di sejumlah media cetak
0 komentar:
Posting Komentar