“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS Ali Imran: 92)
Di dalam ilmu tajwid, kita mengenal istilah “wakof”. Sebuah istilah yang mengatur bagaimana arahan mengenai kapan harus berhenti, sebaiknya berhenti atau malah dilarang berhenti ketika membaca Al Qur’an. Dengan memahami kaidah ini, tentunya pembacaan Al Qur’an yang kita lakukan akan sempurna.
Sementara dalam haji, kita juga mengenal istilah “wukuf”. Wukuf adalah kegiatan utama dalam ibadah haji. Bahkan, inti ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah untuk berdiam diri dan berdoa di tanggal 9 Zulhijjah. Bila dalam rangkaian kegiatan haji jamaah tidak dapat melaksanakan wukuf dengan baik, maka tidak sempurna ibadah hajinya.
Untuk ibadah harta, Rasulullah saw juga menganjurkan “wakaf”. Wakaf adalah satu jenis sedekah yang harus dikelola dengan khusus. Harta yang diwakafkan beralih dari kepemilikan pribadi kepada kepemilikan umat yang dikelola untuk sebesar-besar manfaatnya bagi umat. Harta wakaf tidak dapat diwariskan ataupun diperjualbelikan. Anjuran wakaf Rasulullah saw hadir sebagai bentuk ketaatan atas penegasan Allah bahwa kesempurnaan kebajikan akan hadir setelah mampu secara ikhlas mensedekahkan sebahagian harta yang paling kita cintai.
Kalau zakat adalah kewajiban dan sedekah untuk menjemput keberkahan hidup, maka wakaf adalah sebuah panggilan hati. Menafkahkan harta yang paling kita cintai adalah sebuah pilihan besar antara rasa berhak menikmati harta yang telah kita perjuangkan dengan susah payah; dengan keyakinan bahwa harta adalah titipan Allah semata dan dapat menjadi jalan ibadah menuju ridho-Nya dunia-akhirat. Belum lagi, harta tercinta tentu juga bukan harta sembarangan, pastilah harta terbaik yang kita miliki.
Adalah sebuah fitrah bahwa manusia tentu tergoda untuk mencintai harta berlebihan. Namun, menjadikan diri terhindar dari godaan untuk mencintai harta berlebihan adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk “menghilangkan” harta dengan jalan bersedekah atau berwakaf adalah sebuah keputusan yang kadang tidak mudah. Terlebih dengan perhitungan rasionalitas, logika dan berkurangnya kenyamanan hidup.
Tetapi, kehilangan harta pada akhirnya pasti akan terjadi. Bisa karena musibah/takdir dimana Allah berkehendak mencabut harta tersebut, kebakaran misalnya. Ataupun, memang karena kematian telah datang dan membuat harta kemudian menjadi hak ahli waris. Hanya saja, hilang karena sedekah atau wakaf tentulah hanya secara kasat mata di dunia. Setelah wafat, harta tersebut akan kembali dalam bentuk tabungan atau investasi pahala yang menjadi modal penting menghadapi hari perhitungan Allah kelak.
Karena itu, bila belum berwakaf, bisa jadi kita belum memiliki sebuah harta terbaik yang menyempurnakan keberkahan hidup. Tanpa wakaf, bisa jadi kita juga belum memiliki sebuah harta terbaik yang bisa kita banggakan ketika datang hari dimana Allah membandingkan kebaikan dan keburukan kita. Padahal, hasil pembandingan itu akan memutuskan apakah kita akan menghuni surga Allah yang Maha Indah, atau justru neraka Allah yang sedetik pun kita tidak sanggup menanggung pedih azabnya.
Mari sempurnakan ibadah harta kita dengan wakaf. Mari miliki harta terbaik untuk keberkahan hidup kita di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bis shawab.[]
Penulis : Urip Budiarto
Direktur Tabung Wakaf Indonesia - Dompet Dhuafa
Di dalam ilmu tajwid, kita mengenal istilah “wakof”. Sebuah istilah yang mengatur bagaimana arahan mengenai kapan harus berhenti, sebaiknya berhenti atau malah dilarang berhenti ketika membaca Al Qur’an. Dengan memahami kaidah ini, tentunya pembacaan Al Qur’an yang kita lakukan akan sempurna.
Sementara dalam haji, kita juga mengenal istilah “wukuf”. Wukuf adalah kegiatan utama dalam ibadah haji. Bahkan, inti ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah untuk berdiam diri dan berdoa di tanggal 9 Zulhijjah. Bila dalam rangkaian kegiatan haji jamaah tidak dapat melaksanakan wukuf dengan baik, maka tidak sempurna ibadah hajinya.
Untuk ibadah harta, Rasulullah saw juga menganjurkan “wakaf”. Wakaf adalah satu jenis sedekah yang harus dikelola dengan khusus. Harta yang diwakafkan beralih dari kepemilikan pribadi kepada kepemilikan umat yang dikelola untuk sebesar-besar manfaatnya bagi umat. Harta wakaf tidak dapat diwariskan ataupun diperjualbelikan. Anjuran wakaf Rasulullah saw hadir sebagai bentuk ketaatan atas penegasan Allah bahwa kesempurnaan kebajikan akan hadir setelah mampu secara ikhlas mensedekahkan sebahagian harta yang paling kita cintai.
Kalau zakat adalah kewajiban dan sedekah untuk menjemput keberkahan hidup, maka wakaf adalah sebuah panggilan hati. Menafkahkan harta yang paling kita cintai adalah sebuah pilihan besar antara rasa berhak menikmati harta yang telah kita perjuangkan dengan susah payah; dengan keyakinan bahwa harta adalah titipan Allah semata dan dapat menjadi jalan ibadah menuju ridho-Nya dunia-akhirat. Belum lagi, harta tercinta tentu juga bukan harta sembarangan, pastilah harta terbaik yang kita miliki.
Adalah sebuah fitrah bahwa manusia tentu tergoda untuk mencintai harta berlebihan. Namun, menjadikan diri terhindar dari godaan untuk mencintai harta berlebihan adalah sebuah pilihan. Pilihan untuk “menghilangkan” harta dengan jalan bersedekah atau berwakaf adalah sebuah keputusan yang kadang tidak mudah. Terlebih dengan perhitungan rasionalitas, logika dan berkurangnya kenyamanan hidup.
Tetapi, kehilangan harta pada akhirnya pasti akan terjadi. Bisa karena musibah/takdir dimana Allah berkehendak mencabut harta tersebut, kebakaran misalnya. Ataupun, memang karena kematian telah datang dan membuat harta kemudian menjadi hak ahli waris. Hanya saja, hilang karena sedekah atau wakaf tentulah hanya secara kasat mata di dunia. Setelah wafat, harta tersebut akan kembali dalam bentuk tabungan atau investasi pahala yang menjadi modal penting menghadapi hari perhitungan Allah kelak.
Karena itu, bila belum berwakaf, bisa jadi kita belum memiliki sebuah harta terbaik yang menyempurnakan keberkahan hidup. Tanpa wakaf, bisa jadi kita juga belum memiliki sebuah harta terbaik yang bisa kita banggakan ketika datang hari dimana Allah membandingkan kebaikan dan keburukan kita. Padahal, hasil pembandingan itu akan memutuskan apakah kita akan menghuni surga Allah yang Maha Indah, atau justru neraka Allah yang sedetik pun kita tidak sanggup menanggung pedih azabnya.
Mari sempurnakan ibadah harta kita dengan wakaf. Mari miliki harta terbaik untuk keberkahan hidup kita di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bis shawab.[]
Penulis : Urip Budiarto
Direktur Tabung Wakaf Indonesia - Dompet Dhuafa
0 komentar:
Posting Komentar