Pemberian gelar pahlawan yang diotoritaskan oleh pemerintah kepada nama-nama tertentu, dengan seabrek kriteria dan seterusnya, memang bertujuan untuk mengetatkan. Supaya tidak sembarang orang bisa 'mengaku' sebagai pahlawan. Meskipun, hal ini berdampak negatif juga. yakni, sempitnya makna pahlawan itu sendiri.
Karena sejatinya, pahlawan itu, sederhananya, adalah mereka yang memiliki jasa. Maka mereka, jumlahnya tak terhitung.
Sehingga, dalam kamus kehidupan kita, pahlawan adalah ibu kita. Yang telah mempertaruhkan nyawa satu-satunya, untuk kehidupan kita. Padahal, ibu tak benar-benar tahu, bahwa kelak ketika besar, kita akan membuatnya bangga.
Pahlawan juga ayah kita. Kerja cintanyalah, salah satunya, yang membuat kita bertumbuh hingga sebesar ini. Beliau memeras darah dan keringatnya untuk pertumbuhan kita. Meskipun, tak jarang, kita selalu membuat beliau kecewa. Bahkan mungkin, saat ini, belum ada yang bisa kita berikan untuk membuat beliau bangga.
Guru kita. Baik guru ngaji, sekolah, atau siapapun yang telah mentransfer ilmu untuk kita, merekalah pahlawan kita sejatinya. Dengan sabar dan cinta, mereka mendewasakan kita dengan ilmu. Dengan bimbingannya, kita bisa lebih arif dalam memaknai kehidupan yang semakin buas ini.
Akhirnya, banyak sekali pahlawan-pahlawan dalam kehidupan kita. Yang disadari ataupun tidak.
Bagi seorang suami, sudah selayaknyalah menjadikan istri mereka sebagai pahlawan. Dia telah menggadaikan kesenangannya untuk kesenangan kita. Rela bergadang menunggu suaminya pulang, bangun ketika pagi buta untuk menyediakan sarapan dan bekal untuk kita, juga anak-anak kita, mencuci, masak dan aneka pekerjaan domestik lainnya. Kesemuanya itu, dilakukan sepenuh cinta. Bukan untuk yang lain, tetapi untuk kita yang ia cintai. Padahal, dulunya, suaminya, siapapun, hanyalah orang asing yang tidak ada jaminan bahwa kita akan bisa menjadikan sarana untuk mereka bahagia.
Bagi istri, suamipun demikian. Pahlawan mereka sejatinya. Meski suami-suami itu bukan siapa-siapa, dan mungkin belum memberikan banyak hal kepada kita. Tetapi keberanian mereka untuk meminta ijin kepada orang tua anda, setidaknya sudah menjadi bukti bahwa mereka sungguh-sungguh. Mereka mengambil keputusan itu bukan dengan pertimbangan judi. Tapi sebuah harapan, agar anda, kelak bisa menjadi sahabat sejatinya, di sepanjang hari, selama sisa hidup kita. Untuk bersama dalam taqwa, untuk bersama menjejaki surga.
Maka akhirnya, pahlawan bukan pertanyaan, siapa saja mereka. Tetapi lebih pada sebuah perenungan, apa yang sudah kita berikan untuk orang-orang yang kita cintai? Keluarga juga umat di sekitar kita? Sehingga, ketika saat ini, belum bisa melakukan sesuatu apapun, jangan kan untuk orang lain, diri sendiri saja belum jelas masa depannya, nampaknya kita harus terus berlari. Sekencang mungkin, untuk menuju kepada Allah. Karena sejatinya, semua kita adalah pahlawan. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com, Owner Toko Buku Bahagia
Karena sejatinya, pahlawan itu, sederhananya, adalah mereka yang memiliki jasa. Maka mereka, jumlahnya tak terhitung.
Sehingga, dalam kamus kehidupan kita, pahlawan adalah ibu kita. Yang telah mempertaruhkan nyawa satu-satunya, untuk kehidupan kita. Padahal, ibu tak benar-benar tahu, bahwa kelak ketika besar, kita akan membuatnya bangga.
Pahlawan juga ayah kita. Kerja cintanyalah, salah satunya, yang membuat kita bertumbuh hingga sebesar ini. Beliau memeras darah dan keringatnya untuk pertumbuhan kita. Meskipun, tak jarang, kita selalu membuat beliau kecewa. Bahkan mungkin, saat ini, belum ada yang bisa kita berikan untuk membuat beliau bangga.
Guru kita. Baik guru ngaji, sekolah, atau siapapun yang telah mentransfer ilmu untuk kita, merekalah pahlawan kita sejatinya. Dengan sabar dan cinta, mereka mendewasakan kita dengan ilmu. Dengan bimbingannya, kita bisa lebih arif dalam memaknai kehidupan yang semakin buas ini.
Akhirnya, banyak sekali pahlawan-pahlawan dalam kehidupan kita. Yang disadari ataupun tidak.
Bagi seorang suami, sudah selayaknyalah menjadikan istri mereka sebagai pahlawan. Dia telah menggadaikan kesenangannya untuk kesenangan kita. Rela bergadang menunggu suaminya pulang, bangun ketika pagi buta untuk menyediakan sarapan dan bekal untuk kita, juga anak-anak kita, mencuci, masak dan aneka pekerjaan domestik lainnya. Kesemuanya itu, dilakukan sepenuh cinta. Bukan untuk yang lain, tetapi untuk kita yang ia cintai. Padahal, dulunya, suaminya, siapapun, hanyalah orang asing yang tidak ada jaminan bahwa kita akan bisa menjadikan sarana untuk mereka bahagia.
Bagi istri, suamipun demikian. Pahlawan mereka sejatinya. Meski suami-suami itu bukan siapa-siapa, dan mungkin belum memberikan banyak hal kepada kita. Tetapi keberanian mereka untuk meminta ijin kepada orang tua anda, setidaknya sudah menjadi bukti bahwa mereka sungguh-sungguh. Mereka mengambil keputusan itu bukan dengan pertimbangan judi. Tapi sebuah harapan, agar anda, kelak bisa menjadi sahabat sejatinya, di sepanjang hari, selama sisa hidup kita. Untuk bersama dalam taqwa, untuk bersama menjejaki surga.
Maka akhirnya, pahlawan bukan pertanyaan, siapa saja mereka. Tetapi lebih pada sebuah perenungan, apa yang sudah kita berikan untuk orang-orang yang kita cintai? Keluarga juga umat di sekitar kita? Sehingga, ketika saat ini, belum bisa melakukan sesuatu apapun, jangan kan untuk orang lain, diri sendiri saja belum jelas masa depannya, nampaknya kita harus terus berlari. Sekencang mungkin, untuk menuju kepada Allah. Karena sejatinya, semua kita adalah pahlawan. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com, Owner Toko Buku Bahagia
0 komentar:
Posting Komentar