Di sebuah kamar yang berukuran sederhana, tinggallah aku seorang perempuan yang jauh dari orang tua. Kamar yang begitu pas-pasan untuk dua orang yang di dalamnya berisikan satu kamar mandi, 2 buah lemari pakaian dan 2 buah tempat tidur. Di kamar ini aku selalu mengenang masa lalu yang begitu suram, setiap memejamkan mata bayangan itu teringat. Masa sekolah yang begitu buruk jauh dari yang namanya agama Islam. Walaupun di sekolah pelajaran agama tersebut ada tapi tak dapat kuaplikasikan.
Mulai dari masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) aku adalah olaragahwan karate. Selama tiga tahun aku mempelajar semua jurus tanpa tekecuali, mencari tingkat sabuk tertinggi. Teman-temanku cowok. Sampai jenis pakaian dan style pun seperti anak laki-laki. Beranjak dari sekolah tersebut aku naik tingkat ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Pindah aliran ke seni teater, selalu pulang malam karena latihan. Bergaul dengan sekumpulan orang yang gila akan seni terkadang dan terkadang bisa membuat gila untuk memikirkan apa yang mereka lakukan. Termasuk aku sendiri.
Sekarang beradalah aku di jenjang pendidikan yang tertinggi di mana ujung jenjang tersebut adalah sarjana. Kegagalan pertamaku adalah tidak lulus di Universitas negri yang membuat prustasi dan akhirnya dikirim ke Universitas swasta yang jauh dari pikiran dan keinginanku yang tak sampai ke sana. Tapi dari tempat tersebutlah aku belajar betapa pentingnya mempelajari ilmu akhirat.
Enam bulan aku beradaptasi belum juga mendapatkan hidayah, ditambah enam bulan lagi masih kosong. Dan akhirnya aku dipertemukan dengan seorang perempuan yang begitu cantik menggunakan jilbanya. Begitu sejuk jika memandang wajahnya, dan begitu merdu mendengar suaranya. Bagiku beliaulah anugrah terindah yang pernah kumiliki.
Beliau selalu mengajakku untuk nongkrong bareng di mesjid, mengajakku dugem (duduk gembira) di sebuah kelompok kecil. Aku lihat satu per satu teman-teman baruku mereka pada membaca Al-Quran sehabis sholat, berdiskusi mengenai agama, dan pesta ria jika ada rejeki. Beliau juga tak lupa mengenalkanku kepada seseorang yang akan melindungiku ketika aku jauh dari orang tua. Seseorang tersebut akan menjaga dan bertanggung jawab akan semua kegiatan yang aku lakukan dan aku dapat menyebutnya dengan murobi.
Akhirnya aku dapat berjalan sesuai keinginan hati, dengan langkah kaki yang ringan aku melakuan segala yang disampaikan oleh murobi. Dari melakukan sholat wajib disertai sholat sunnah, dari puasa sunnah yang dulunya tak pernah kuketahui, membaca Al-Quran dengan targetan, mengikuti organisasi Islam dan berkumpul dengan orang-orang shalihah. Semua tercatat di mutaba’ah yaumiyah atau buku evaluasi amalan harian.
Tak hanya itu aku selalu mencatat semua nasehat yang aku dapat dari beberapa kegiatan Islam di kampus dari yang namanya seminar islam, tasqif, dauroh, Madrasah dan banyak hal lain yang kudapat hingga buku catatanku penuh dalam setahun. Bila kumerasa bosan dalam kegiatan ini aku selalu membaca sebuah pesan dari sahabat melalui handphone dan ku simpan. “Tak terhitung keluh yang lahir di helaan nafasku. Hidupku terkadang terasa tak adil, Ihklasku goyah dg iman yg terombang ambing ku coba utk mengadu. Yaa As samii’ berbisik dilelapku pun Engkau tau, namun tak jarang keyakinanku luluh lantak karena giuran fitan dunia. Ku coba utk meminta. Yaa Al wahhaab. Yaa Ar Razzaaq. Terhina sekalipun Engkau cukupi hajatku, namun syukurku tak Jarang mlupakn-Mu Yaa Al Ghaniyy. Dengan Rahman & Rahim-Mu, Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Mu yang hina tiada daya & upaya tanpa seizin-Mu. Oleh krn itu Yaa At Tawwab ampuni segala dosaku. Yaa Al Hafizh jangan Engkau Palingkan hatiku setelah Engkau berikan petunjuk”.
Dan saatnya aku yang membagikan ilmu yang aku dapat karena sudah tarbiyah selama 1,5 tahun, semangatku tumbuh ketika bertemu adik-adik binaan baru. Dengan hati gugup karena awal sekali dan aku merasa tak ada ilmu hanya satu pesan dari murobiku “Bila da’wah ibarat sebuah pohon, maka ada saja daun-daun yang berjatuhan. Tapi pohon dakwah itu tidak pernah kehabisan cara untuk menumbuhkan tunas-tunas barunya. Sementara daun-daun yang berguguran tak lebih akan menjadi sampah dalam sejarah. Jangan menyerah karena lelah. Biarlah lelah mengerjakanmu dampai lelah”. Satu buku yang selalu memenamiku saat mengisi mentoring yaitu buku Mentoring Fun karya Wida Az-Zahidda.
Dalam pikiranku terbesit bahwa mereka yang diluar sana sama sepertiku, namun hati mereka belum terbuka. Pemilik hati ini hanya Allah SWT, hanya Dia yang mampu membolak-balikan hati ini. Dan saat ini Allah telah membuka hatiku untuk berhijrah ke hati-Nya. Langkah berat akan terasa semakin berat jika dibarengi dengan memori negatif masa lalu, dan indahnya jalan akan terasa lebih nyaman jika dilewati dengan penuh semangat dan rasa cinta untuk menciptakan sebuah memori positif di masa depan.
Sebelum waktumu terasa terburu, sebelum lelahmu menutup mata, adakah langkahmu terisi ambisi, apakah kalbumu terasa sunyi? Ada, ambisi syahid dengan senyum di wajah dan sunyi jika hati ini jauh dari Rabb sang pencipta, sunyi jika qolbu ini hanya dipenuhi dengan hal duniawi. Ditutup dengan sebuah pertanyaan dengan jawaban dan senyuman penuh berkah.[]
Penulis : Adha Juningsih
Pekanbaru, Riau
Mulai dari masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) aku adalah olaragahwan karate. Selama tiga tahun aku mempelajar semua jurus tanpa tekecuali, mencari tingkat sabuk tertinggi. Teman-temanku cowok. Sampai jenis pakaian dan style pun seperti anak laki-laki. Beranjak dari sekolah tersebut aku naik tingkat ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Pindah aliran ke seni teater, selalu pulang malam karena latihan. Bergaul dengan sekumpulan orang yang gila akan seni terkadang dan terkadang bisa membuat gila untuk memikirkan apa yang mereka lakukan. Termasuk aku sendiri.
Sekarang beradalah aku di jenjang pendidikan yang tertinggi di mana ujung jenjang tersebut adalah sarjana. Kegagalan pertamaku adalah tidak lulus di Universitas negri yang membuat prustasi dan akhirnya dikirim ke Universitas swasta yang jauh dari pikiran dan keinginanku yang tak sampai ke sana. Tapi dari tempat tersebutlah aku belajar betapa pentingnya mempelajari ilmu akhirat.
Enam bulan aku beradaptasi belum juga mendapatkan hidayah, ditambah enam bulan lagi masih kosong. Dan akhirnya aku dipertemukan dengan seorang perempuan yang begitu cantik menggunakan jilbanya. Begitu sejuk jika memandang wajahnya, dan begitu merdu mendengar suaranya. Bagiku beliaulah anugrah terindah yang pernah kumiliki.
Beliau selalu mengajakku untuk nongkrong bareng di mesjid, mengajakku dugem (duduk gembira) di sebuah kelompok kecil. Aku lihat satu per satu teman-teman baruku mereka pada membaca Al-Quran sehabis sholat, berdiskusi mengenai agama, dan pesta ria jika ada rejeki. Beliau juga tak lupa mengenalkanku kepada seseorang yang akan melindungiku ketika aku jauh dari orang tua. Seseorang tersebut akan menjaga dan bertanggung jawab akan semua kegiatan yang aku lakukan dan aku dapat menyebutnya dengan murobi.
Akhirnya aku dapat berjalan sesuai keinginan hati, dengan langkah kaki yang ringan aku melakuan segala yang disampaikan oleh murobi. Dari melakukan sholat wajib disertai sholat sunnah, dari puasa sunnah yang dulunya tak pernah kuketahui, membaca Al-Quran dengan targetan, mengikuti organisasi Islam dan berkumpul dengan orang-orang shalihah. Semua tercatat di mutaba’ah yaumiyah atau buku evaluasi amalan harian.
Tak hanya itu aku selalu mencatat semua nasehat yang aku dapat dari beberapa kegiatan Islam di kampus dari yang namanya seminar islam, tasqif, dauroh, Madrasah dan banyak hal lain yang kudapat hingga buku catatanku penuh dalam setahun. Bila kumerasa bosan dalam kegiatan ini aku selalu membaca sebuah pesan dari sahabat melalui handphone dan ku simpan. “Tak terhitung keluh yang lahir di helaan nafasku. Hidupku terkadang terasa tak adil, Ihklasku goyah dg iman yg terombang ambing ku coba utk mengadu. Yaa As samii’ berbisik dilelapku pun Engkau tau, namun tak jarang keyakinanku luluh lantak karena giuran fitan dunia. Ku coba utk meminta. Yaa Al wahhaab. Yaa Ar Razzaaq. Terhina sekalipun Engkau cukupi hajatku, namun syukurku tak Jarang mlupakn-Mu Yaa Al Ghaniyy. Dengan Rahman & Rahim-Mu, Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Mu yang hina tiada daya & upaya tanpa seizin-Mu. Oleh krn itu Yaa At Tawwab ampuni segala dosaku. Yaa Al Hafizh jangan Engkau Palingkan hatiku setelah Engkau berikan petunjuk”.
Dan saatnya aku yang membagikan ilmu yang aku dapat karena sudah tarbiyah selama 1,5 tahun, semangatku tumbuh ketika bertemu adik-adik binaan baru. Dengan hati gugup karena awal sekali dan aku merasa tak ada ilmu hanya satu pesan dari murobiku “Bila da’wah ibarat sebuah pohon, maka ada saja daun-daun yang berjatuhan. Tapi pohon dakwah itu tidak pernah kehabisan cara untuk menumbuhkan tunas-tunas barunya. Sementara daun-daun yang berguguran tak lebih akan menjadi sampah dalam sejarah. Jangan menyerah karena lelah. Biarlah lelah mengerjakanmu dampai lelah”. Satu buku yang selalu memenamiku saat mengisi mentoring yaitu buku Mentoring Fun karya Wida Az-Zahidda.
Dalam pikiranku terbesit bahwa mereka yang diluar sana sama sepertiku, namun hati mereka belum terbuka. Pemilik hati ini hanya Allah SWT, hanya Dia yang mampu membolak-balikan hati ini. Dan saat ini Allah telah membuka hatiku untuk berhijrah ke hati-Nya. Langkah berat akan terasa semakin berat jika dibarengi dengan memori negatif masa lalu, dan indahnya jalan akan terasa lebih nyaman jika dilewati dengan penuh semangat dan rasa cinta untuk menciptakan sebuah memori positif di masa depan.
Sebelum waktumu terasa terburu, sebelum lelahmu menutup mata, adakah langkahmu terisi ambisi, apakah kalbumu terasa sunyi? Ada, ambisi syahid dengan senyum di wajah dan sunyi jika hati ini jauh dari Rabb sang pencipta, sunyi jika qolbu ini hanya dipenuhi dengan hal duniawi. Ditutup dengan sebuah pertanyaan dengan jawaban dan senyuman penuh berkah.[]
Penulis : Adha Juningsih
Pekanbaru, Riau
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar