Flores, Nusa Tengara Timur. Apa yang terbersit dalam pikiran anda ketika mendengar dua kata ini? Orangnya yang berkulit gelap? Jagung dan singkong? Sulit mendapatkan air bersih? Babi? Atau daerah rawan konflik? Hehe jangan dulu paranoid, saudaraku! Semua pertanyaan itu jawabannya bisa saja “ya”, bisa juga “tidak”, tergantung dari pengalaman dan pengetahuan anda semua. Alhamdulillah, penulis pernah merasakan atmosfer dakwah di NTT selama satu tahun. Banyak pengalaman yang penulis alami selama masa pengabdian di sana. Dan berikut ini, sedikit pengalaman penulis ketika berdakwah di NTT. Semoga bermanfaat!
Penulis adalah mahasiswa Ma’had ‘Aly An-Nu’aimy, Jakarta Selatan, angkatan VI, yang mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan khidmatul ummah di NTT, khususnya di Kabupaten Sikka. Kegiatan ini dimulai pada bulan Ramadhan 1433 H., atau bulan Juli 2013 lalu. Penulis berangkat dari Jakarta bersama seorang sahabat asal Laranthuka, Flores Timur.
Saudaraku, sifat dasar dakwah ini ialah membebani, penuh makar dan ujian, perlu pengorbanan, serta membutuhkan waktu yang sangat panjang. Tapi walaupun begitu, dakwah tetap harus kita tinggikan di manapun kita berada. Ketika ujian dan rintangan menyapa, hadapi dan nikmati saja, to! Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Hasan Al-Banna, “Berjihad di jalan kebenaran dan petunjuk, sekalipun begitu terjalnya jalan yang harus dilalui dan betapa banyak rintangan yang harus dihadapi, merupakan hiburan dan kenikmatan yang mengasyikkan.” Dengan begitu, dakwah ini akan menjelma cinta bagi kita semua.
Saudaraku, susah dan senang menjadi lumrah dalam menapaki jalan dakwah ini (walaupun terkadang susahnya yang lebih banyak, ya!. Hehe). Begitu pula yang penulis rasakan ketika berkhidmah di tanah Flores. Cuaca daerah pesisir yang dirasa begitu “ekstrim”, hampir saja membuat penulis tumbang di awal-awal pengabdiannya karena kondisi tubuh yang belum siap menghadapi perubahan cuaca yang mendadak. Belum lagi ancaman malaria NTT yang katanya dahsyat buanget. Hehe. Alhamdulillah, penulis bisa melewati itu semua. Selain itu, kondisi medan yang berbentuk kepulauan juga sedikit menghambat proses dakwah. Penulis pernah mengikuti program jaulah Ramadhan yang bekerja sama dengan MUI dan Muhammadiyah setempat. Kegiatan ini mengharuskan penulis menyeberangi lautan sekitar 3 sampai 4 jam dengan menggunakan perahu motor. Penulis juga pernah berkeliling Pulau Besar untuk mendistribusikan hewan qurban titipan lembaga sosial dan beberapa yayasan islam dari Jakarta. Perjalanan ini memakan waktu hampir sehari penuh dengan menggunakan perahu motor yang lebih besar.
Ujian paling menantang adalah ancaman konflik sosial yang mengancam nyawa penulis dan penduduk muslim di Maumere. Peristiwa ini bersumber dari hal yang sepele. Kejadian yang berawal dari seorang gadis katholik yang tidak terima ejekan dari oknum pemuda muslim ini, terus berkembang dan hampir berbuntut konflik SARA. Penulis akhirnya ikut bersiaga bersama warga lainnya, berjaga-jaga seandainya ada serangan dari pihak musuh. Walaupun agak gentar, penulis sudah siap jika harus berkorban nyawa dalam kejadian ini. Tapi Alhamdulillah, kejadian yang memecah belah persatuan dan kesatuan ini berhasil dicegah setelah kedua belah pihak sepakat untuk berdamai.
Saudaraku, penulis juga mengadakan pelatihan membaca Al-Qur’an bagi ibu-ibu rumah tangga di Kampung nelayan Wuring. Ibu-ibu yang kebanyakan istri nelayan ini cukup antusias mengikuti majelis ini. Di majelis ini, separuh hati penulis terpaut di NTT. Kenapa? Entahlah. Mungkin inilah yang Allah SWT. hendak jelaskan kepada kita lewat Firman-Nya, “Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman), walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang berada di muka bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah, lagi Maha Bijaksana.” Penulis bercucuran air mata ketika harus berpisah dengan ibu-ibu pengajian tersebut. “Kalau ustadz pulang, siapa yang ngajar kami lagi, ustadz?” curhat salah seorang ibu kepada penulis. Kejadian ini sontak mengkudeta perasaan dan menciptakan konspirasi hati bagi penulis. Hehe.
Satu lagi! Alhamdulillah, selama satu tahun mengabdi kepada masyarakat, penulis sedikit sekali merogoh kocek pribadi untuk membeli makan. Mulai dari sarapan, makan siang, sampai makan malam, semuanya masyarakat yang menyediakan. Pokoknya, penulis tidak pernah khawatir kelaparan. Malahan, berat badan penulis sampai naik 10 kg, lho! Hehe. Alhamdu……lillah. Nah, temen-temen aktifis dakwah pasti ngerti kalo saya bilang, “ini belutnya!”, ya to? Hehe.
Saudaraku, dikarenakan halaman yang membatasi kita, penulis akhiri tulisan ini dengan mengutip Firman Allah SWT., “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada seseorang yang kau cintai. Akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” Semoga bermanfaat. Uhibbukum fillahi jami’an! Walhamdulillahi Robbil ‘alamin. Wassalaamu’alaikum.
Penulis : Dedi Sutardi
Bandung
Penulis adalah mahasiswa Ma’had ‘Aly An-Nu’aimy, Jakarta Selatan, angkatan VI, yang mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan khidmatul ummah di NTT, khususnya di Kabupaten Sikka. Kegiatan ini dimulai pada bulan Ramadhan 1433 H., atau bulan Juli 2013 lalu. Penulis berangkat dari Jakarta bersama seorang sahabat asal Laranthuka, Flores Timur.
Saudaraku, sifat dasar dakwah ini ialah membebani, penuh makar dan ujian, perlu pengorbanan, serta membutuhkan waktu yang sangat panjang. Tapi walaupun begitu, dakwah tetap harus kita tinggikan di manapun kita berada. Ketika ujian dan rintangan menyapa, hadapi dan nikmati saja, to! Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Hasan Al-Banna, “Berjihad di jalan kebenaran dan petunjuk, sekalipun begitu terjalnya jalan yang harus dilalui dan betapa banyak rintangan yang harus dihadapi, merupakan hiburan dan kenikmatan yang mengasyikkan.” Dengan begitu, dakwah ini akan menjelma cinta bagi kita semua.
Saudaraku, susah dan senang menjadi lumrah dalam menapaki jalan dakwah ini (walaupun terkadang susahnya yang lebih banyak, ya!. Hehe). Begitu pula yang penulis rasakan ketika berkhidmah di tanah Flores. Cuaca daerah pesisir yang dirasa begitu “ekstrim”, hampir saja membuat penulis tumbang di awal-awal pengabdiannya karena kondisi tubuh yang belum siap menghadapi perubahan cuaca yang mendadak. Belum lagi ancaman malaria NTT yang katanya dahsyat buanget. Hehe. Alhamdulillah, penulis bisa melewati itu semua. Selain itu, kondisi medan yang berbentuk kepulauan juga sedikit menghambat proses dakwah. Penulis pernah mengikuti program jaulah Ramadhan yang bekerja sama dengan MUI dan Muhammadiyah setempat. Kegiatan ini mengharuskan penulis menyeberangi lautan sekitar 3 sampai 4 jam dengan menggunakan perahu motor. Penulis juga pernah berkeliling Pulau Besar untuk mendistribusikan hewan qurban titipan lembaga sosial dan beberapa yayasan islam dari Jakarta. Perjalanan ini memakan waktu hampir sehari penuh dengan menggunakan perahu motor yang lebih besar.
Ujian paling menantang adalah ancaman konflik sosial yang mengancam nyawa penulis dan penduduk muslim di Maumere. Peristiwa ini bersumber dari hal yang sepele. Kejadian yang berawal dari seorang gadis katholik yang tidak terima ejekan dari oknum pemuda muslim ini, terus berkembang dan hampir berbuntut konflik SARA. Penulis akhirnya ikut bersiaga bersama warga lainnya, berjaga-jaga seandainya ada serangan dari pihak musuh. Walaupun agak gentar, penulis sudah siap jika harus berkorban nyawa dalam kejadian ini. Tapi Alhamdulillah, kejadian yang memecah belah persatuan dan kesatuan ini berhasil dicegah setelah kedua belah pihak sepakat untuk berdamai.
Saudaraku, penulis juga mengadakan pelatihan membaca Al-Qur’an bagi ibu-ibu rumah tangga di Kampung nelayan Wuring. Ibu-ibu yang kebanyakan istri nelayan ini cukup antusias mengikuti majelis ini. Di majelis ini, separuh hati penulis terpaut di NTT. Kenapa? Entahlah. Mungkin inilah yang Allah SWT. hendak jelaskan kepada kita lewat Firman-Nya, “Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman), walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang berada di muka bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah, lagi Maha Bijaksana.” Penulis bercucuran air mata ketika harus berpisah dengan ibu-ibu pengajian tersebut. “Kalau ustadz pulang, siapa yang ngajar kami lagi, ustadz?” curhat salah seorang ibu kepada penulis. Kejadian ini sontak mengkudeta perasaan dan menciptakan konspirasi hati bagi penulis. Hehe.
Satu lagi! Alhamdulillah, selama satu tahun mengabdi kepada masyarakat, penulis sedikit sekali merogoh kocek pribadi untuk membeli makan. Mulai dari sarapan, makan siang, sampai makan malam, semuanya masyarakat yang menyediakan. Pokoknya, penulis tidak pernah khawatir kelaparan. Malahan, berat badan penulis sampai naik 10 kg, lho! Hehe. Alhamdu……lillah. Nah, temen-temen aktifis dakwah pasti ngerti kalo saya bilang, “ini belutnya!”, ya to? Hehe.
Saudaraku, dikarenakan halaman yang membatasi kita, penulis akhiri tulisan ini dengan mengutip Firman Allah SWT., “Sesungguhnya kamu tidak bisa memberi petunjuk kepada seseorang yang kau cintai. Akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” Semoga bermanfaat. Uhibbukum fillahi jami’an! Walhamdulillahi Robbil ‘alamin. Wassalaamu’alaikum.
Penulis : Dedi Sutardi
Bandung
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar