Alkisah, dari seorang Mubaligh di Kota Palu. Sepulang dari khuruj fiisabilillah selama 40 hari, ia menceritakan salah satu pengalaman dakwah dan rombongannya kepada saya. Kisah yang mengundang tawa dan tangis sekaligus. Siapa sangka!
Suatu pagi, usai ta’lim di waktu dhuha, Mubarak selaku Amir Jama’ah, beserta rombongannya mulai menyusuri wilayah kompleks perumahan di sekitar masjid yang mereka tinggali. Perumahan elit yang dihuni pejabat-pejabat daerah itu, mereka hampiri satu per satu. Ada yang menerima mereka dengan baik-baik, ada yang mengusir mereka, ada pula yang sama sekali tak mau membuka pintu. Balasan yang mereka terima tentu hanya membuat mereka tersenyum, tak menggoyahkan semangat mereka untuk menyeru yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Lalu, sampailah mereka pada sebuah rumah mewah yang penghuninya adalah seorang pengusaha besar di kota itu. Mereka diterima dengan ramah dan baik, sampai pada inti dari pembicaraan yang mengandung dakwah, mengajak Si Bapak untuk sholat dhuhur berjama’ah di masjid.
“Ohh jadi kamorang pe maksud ini?1 Hey, dengar!” Bantah Si Bapak dengan nada meninggi sembari berdiri dari tempat duduknya. “Kamorang2 itu umur berapa trus saya ini umur berapa? Masih anak kemarin sore mo baajar-ajar3 saya tentang agama.” Gerutunya dengan wajah memerah.
“Bukan Pak, maksud kami bukan untuk mengajar..”
“Intinya kamorang-kamorang ini mau ajak saya sholat di masjid supaya bisa ikut sama golongannya kamorang itu, yang pake-pake gamis dengan sorban kayak teroris itu. Sekarang keluar dari rumah saya cepat. Cepat!”
Sesampainya di pagar, Si Amir masih tetap mengajaknya untuk berbicara baik-baik. “Pak, tolong jangan marah dulu, dengarkan maksud kami dengan baik. Kami hanya ingin mengajak bapak sholat bersama kami di masjid, menghidupkan dan memakmurkan masjid.”
“Aah saya tidak butuh! Bawa, bawa sana sholatmu itu. Teusah4 ajak-ajak saya. Saya tahu juga kapan saya mo5 sholat kapan tidak. Bukan urusanmu! Pergi cepat!” Teriak Bapak berkumis tebal itu sambil menutup pagar lalu menguncinya.
“Kalo begitu mohon maaf jika saya salah Pak.” Jawab Si Amir sambil menutup pembicaraan dengan wajah merah menahan amarah.
“Oh memang salah. Kamorang memang pantas buat minta maaf! Jangan lupa, minta maaf juga pada Tuhan, caranya kamorang ini hanya bikin ribut dan mengganggu orang lain!” Jawabnya sambil menutup keras pintu rumahnya.
Kemudian rombongan Mubarak berjalan menuju masjid untuk persiapan sholat dhuhur. Hanya keheningan yang menemani langkah mereka. Sampai Si Amir memecahkannya dengan berteriak, “Sumpah! saya do’akan itu bapak, supaya cepat dapat hidayah! Mudah-mudahan dia yang paling cepat badapat6 hidayah! Supaya kalo ketemu kita lagi nanti, dia minta maaf dan menarik semua kata-katanya. Aaarrrgh!” wajah Si Amir merah mengurat. Sontak saja, teman serombongan kaget mendengar do’anya. Mereka berpikir Amirnya akan mendo’akan yang tidak-tidak karena ia sudah dicaci maki. Tapi, amarahnya ternyata dilampiaskan ke do’a yang sangat merinding. Begitu pula saya, yang mendengarnya. Meleleh! []
1.”Oh jadi maksud kalian ini?”
2.Kalian.
3.Mau ngajarin.
4.Tidak usah.
5.Mau.
6. Mendapat
Penulis : Dewi Triana
Palu
Suatu pagi, usai ta’lim di waktu dhuha, Mubarak selaku Amir Jama’ah, beserta rombongannya mulai menyusuri wilayah kompleks perumahan di sekitar masjid yang mereka tinggali. Perumahan elit yang dihuni pejabat-pejabat daerah itu, mereka hampiri satu per satu. Ada yang menerima mereka dengan baik-baik, ada yang mengusir mereka, ada pula yang sama sekali tak mau membuka pintu. Balasan yang mereka terima tentu hanya membuat mereka tersenyum, tak menggoyahkan semangat mereka untuk menyeru yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Lalu, sampailah mereka pada sebuah rumah mewah yang penghuninya adalah seorang pengusaha besar di kota itu. Mereka diterima dengan ramah dan baik, sampai pada inti dari pembicaraan yang mengandung dakwah, mengajak Si Bapak untuk sholat dhuhur berjama’ah di masjid.
“Ohh jadi kamorang pe maksud ini?1 Hey, dengar!” Bantah Si Bapak dengan nada meninggi sembari berdiri dari tempat duduknya. “Kamorang2 itu umur berapa trus saya ini umur berapa? Masih anak kemarin sore mo baajar-ajar3 saya tentang agama.” Gerutunya dengan wajah memerah.
“Bukan Pak, maksud kami bukan untuk mengajar..”
“Intinya kamorang-kamorang ini mau ajak saya sholat di masjid supaya bisa ikut sama golongannya kamorang itu, yang pake-pake gamis dengan sorban kayak teroris itu. Sekarang keluar dari rumah saya cepat. Cepat!”
Sesampainya di pagar, Si Amir masih tetap mengajaknya untuk berbicara baik-baik. “Pak, tolong jangan marah dulu, dengarkan maksud kami dengan baik. Kami hanya ingin mengajak bapak sholat bersama kami di masjid, menghidupkan dan memakmurkan masjid.”
“Aah saya tidak butuh! Bawa, bawa sana sholatmu itu. Teusah4 ajak-ajak saya. Saya tahu juga kapan saya mo5 sholat kapan tidak. Bukan urusanmu! Pergi cepat!” Teriak Bapak berkumis tebal itu sambil menutup pagar lalu menguncinya.
“Kalo begitu mohon maaf jika saya salah Pak.” Jawab Si Amir sambil menutup pembicaraan dengan wajah merah menahan amarah.
“Oh memang salah. Kamorang memang pantas buat minta maaf! Jangan lupa, minta maaf juga pada Tuhan, caranya kamorang ini hanya bikin ribut dan mengganggu orang lain!” Jawabnya sambil menutup keras pintu rumahnya.
Kemudian rombongan Mubarak berjalan menuju masjid untuk persiapan sholat dhuhur. Hanya keheningan yang menemani langkah mereka. Sampai Si Amir memecahkannya dengan berteriak, “Sumpah! saya do’akan itu bapak, supaya cepat dapat hidayah! Mudah-mudahan dia yang paling cepat badapat6 hidayah! Supaya kalo ketemu kita lagi nanti, dia minta maaf dan menarik semua kata-katanya. Aaarrrgh!” wajah Si Amir merah mengurat. Sontak saja, teman serombongan kaget mendengar do’anya. Mereka berpikir Amirnya akan mendo’akan yang tidak-tidak karena ia sudah dicaci maki. Tapi, amarahnya ternyata dilampiaskan ke do’a yang sangat merinding. Begitu pula saya, yang mendengarnya. Meleleh! []
1.”Oh jadi maksud kalian ini?”
2.Kalian.
3.Mau ngajarin.
4.Tidak usah.
5.Mau.
6. Mendapat
Penulis : Dewi Triana
Palu
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar