Sejujurnya hati ini langsung akan luluh ketika bertemu dengan ayat ini. Bening mata sering merembes tatkala mengingat bahwa ada satu hal yang belum kudapatkan dalam perjalananku merentas jalan perjuangan dakwah. Ternyata, sering sekali kudapati diri ini begitu saja puas saat menimbang bahwa saat itu aku telah berhasil memberikan satu manfaat yang luas kepada umat. Sampai-sampai kesadaranku kesiangan bahwa seharusnya aku juga harus memberikan sebagian manfaat tersebut untuk keluargaku.
Shalat Bapak, adalah hal yang kurindui dalam perjalanan hidup ini. Meskipun sering bujukan lembutku pada beliau mengajak, terkadang jawaban ‘iya’ beliau jawabkan, tetapi tetap belum shalat pada akhirnya. Sejujurnya pula, Ibu pun sering membujuk Bapak untuk shalat lima waktu, jika memungkinkan dengan berjamaah, tetapi kami sadar bahwa Allah lah yang berhak memberikan hidayah kepada hamba-Nya, tanpa bisa seorang hamba memaksa.
Aku tidak akan begitu saja putus asa, mulai dari hal-hal kecil kucoba lakukan, seperti halnya menyiapkan baju koko dan sarung Bapak menjelang shalat, selalu merapikan baju-baju Bapak yang khusus untuk shalat, dan terkadang pula aku usahakan untuk memberikan baju koko atau apapun yang disukai Bapak di setiap hari lahir beliau. Semua masih sama, karena aku masih merindukan shalat Bapak, sangat merindukan.
Memang, Bapak adalah sosok yang memiliki peran luar biasa dalam perjalananku mendulang ilmu. Keuletan, kesabaran, keteguhan beliau selalu menciptakan motivasi baru dalam setiap aktivitasku. Hanya saja lingkungan kerja Beliau yang sudah bertahun-tahun beliau tekuni memiliki pengaruh sangat besar hingga dalam hal shalat, secara alami terasa biasa-biasa saja ketika tidak dilaksanakan oleh Beliau. Seiring hal itulah, aku sering tergugu tidak berdaya tatkala aku bisa dengan nikmat menyusuri sujud panjangku untuk menyandarkan lelah, tapi di sebalik kenikmatanku, Bapak sering memilih untuk menghabiskan pagi yang penuh kenikmatan ibadah dengan merapatkan selimut sampai matahari menegur beliau. Hendakkah aku ingin menikmatinya sendiri?? Sungguh tidak! Akhirnya, hanya do’a yang selalu menjadi senjata terampuhku untuk optimis, karena Allah yang menguasai hati hamba-hamba-Nya.
Sebagai manusia, bukannya tidak mungkin jika suatu waktu aku bisa juga terserang oleh rasa putus asa, bahkan sering. Sampai-sampai aku kadang berandai, kalau saja shalat Bapak bisa kugantikan, pasti akan kugantikan, dan aku akan nyaman kembali ketika bertemu dengan suart At-Tahrim ayat 6. Astaghfirullah…
Ditambah lagi pendapat teman-teman yang sering menegur kesadaranku ...
“Bapak Ibu anti pasti sudah haji ya?”
“Aku tahu bahwa Jenengan lebih beruntung Mbak memiliki orang tua seperti Bapak Jenengan yang sholeh dan bisa mendidik Jenengan seperti ini. Pasti mereka adalah orang yang sholeh …”
Mendadak kurasakan dadaku berdesir jika hal-hal yeng menyangkut ibadah orang tua ditujukan padaku, perih. Aku selalu memimpikan dalam sujudku untuk shalat bersama Bapak bukan hanya di hari raya saja. Aku berserah pada Allah, kuserahkan pada Allah, bahwa hal tersebut bukanlah hal mudah untuk kudapatkan, kecuali atas izin Allah.
Hingga suatu pagi menjelang menit-menit di adzan Subuh menggema di selereng Merapi Merbabu, aku benar-benar memohon agar Allah membukakan hati Bapak untuk mencintai dan melaksanakan shalat. Benar-benar kuserahkan segalanya hingga tidak sadar di sela sesenggukanku, dalam sujudku setelah salam, aku berulang melafalkan Surat Al-Falaq yang rasanya beda dengan biasanya. Semakin kuulang aku semakin merasa takut, tapi seiring juga muncul rasa tenang dalam hati. Aku benar-benar merasa di batas kemampuanku untuk berusaha mengajak Bapak untuk shalat. Aku merasakan ketakutan yang amat luar biasa bila-bila sampai batas akhir hidupku aku tetap tidak bisa mengajakkan Bapak untuk shalat.
“Mbak, …” Tidak kusadari sentuhan lembut mendarat di pundakku. Membuatku cepat-cepat memberesi air wajah yang masih deras membasahi sajadah. “Bapak akan shalat,” Kata itu Beliau ungkapkan sembari beliau memelukku dengan mata yang juga basah.
Kusaksikan dengan hati yang bergetar hebat bahwa Bapak telah berada di depanku dengan pakaian shalat yang sebelumnya telah kusiapkan. Rabbi, kucubit lenganku yang membuatku meringis karena sakit. Aku tidak bermimpi. Dan hari itu kusaksikan dengan ikhlasan nyata bahwa Bapak sudah shalat. Allahu Akbar. Laa khaula walaa quwwata ilaa billah … Ya Allah jagalah shalat kami karena-Mu. Amiin []
Penulis : Gunarti Yulfani
Magelang
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
0 komentar:
Posting Komentar