Hidayah bisa datang kapan saja dan melalui berbagai cara. Terkadang seseorang tidak tersentuh dengan dakwah yang berbentuk ceramah, tetapi saat menyadari kemuliaan akhlak sang dai, hatinya pun luluh. Hidayah menyirami jiwanya dan syahadat pun diikrarkannya.
Seperti yang dialami oleh tetangga Sahal bin Abdullah At Tustari. Tetangga yang beragama majusi ini hidup sekian lama di lantai dua, di atas rumah Sahal. Tetapi ia tidak pernah menyadari bahwa WC nya bocor dan menetes di rumah Sahal.
Setiap hari, Sahal meletakkan ember besar untuk menampung kotoran yang menetes dari WC tetangganya ini. Ketika malam tiba, Sahal membuangnya. Ia memilih waktu malam agar orang lain tak melihatnya, agar tetangganya tidak menjadi malu karenanya.
Hingga suatu hari di tahun 283 hijriyah, Sahal jatuh sakit. Kebetulan saat itu orang majusi tersebut bertamu ke rumahnya. Ia pun melihat ada yang menetes dari arah WC nya. Tetesan itu jatuh ke dalam ember besar milik Sahal.
“Apa ini?” tanyanya dengan nada hati-hati.
“Itu kotoran dari WC mu yang bocor. Aku membuangnya kala malam tiba. Hal ini telah kulakukan cukup lama. Hanya saja aku khawatir jika aku telah tiada, orang yang menempati rumah ini tidak dapat menerimanya. Bagaimana menurut pendapatmu?”
Mendengar jawaban Sahal ini, barulah ia menyadari kemuliaan akhlak Sahal. Tak ada tetangga sepertinya yang betah hidup bertahun-tahun bersamanya. Maka ia pun menjawab: “Wahai Syaikh, engkau berinteraksi denganku seperti ini sudah lama sekali. Sedangkan aku hidup dalam kekafiran. Ulurkanlah tanganmu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Subhanallah... tetangga Sahal itu akhirnya menjadi saudara seaqidah. Dan tak lama kemudian, Sahal pun berpulang ke rahmatullah. [Sumber: Qashashu Ash Shalihin karya DR Mustafa Murad]
Seperti yang dialami oleh tetangga Sahal bin Abdullah At Tustari. Tetangga yang beragama majusi ini hidup sekian lama di lantai dua, di atas rumah Sahal. Tetapi ia tidak pernah menyadari bahwa WC nya bocor dan menetes di rumah Sahal.
Setiap hari, Sahal meletakkan ember besar untuk menampung kotoran yang menetes dari WC tetangganya ini. Ketika malam tiba, Sahal membuangnya. Ia memilih waktu malam agar orang lain tak melihatnya, agar tetangganya tidak menjadi malu karenanya.
Hingga suatu hari di tahun 283 hijriyah, Sahal jatuh sakit. Kebetulan saat itu orang majusi tersebut bertamu ke rumahnya. Ia pun melihat ada yang menetes dari arah WC nya. Tetesan itu jatuh ke dalam ember besar milik Sahal.
“Apa ini?” tanyanya dengan nada hati-hati.
“Itu kotoran dari WC mu yang bocor. Aku membuangnya kala malam tiba. Hal ini telah kulakukan cukup lama. Hanya saja aku khawatir jika aku telah tiada, orang yang menempati rumah ini tidak dapat menerimanya. Bagaimana menurut pendapatmu?”
Mendengar jawaban Sahal ini, barulah ia menyadari kemuliaan akhlak Sahal. Tak ada tetangga sepertinya yang betah hidup bertahun-tahun bersamanya. Maka ia pun menjawab: “Wahai Syaikh, engkau berinteraksi denganku seperti ini sudah lama sekali. Sedangkan aku hidup dalam kekafiran. Ulurkanlah tanganmu, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Subhanallah... tetangga Sahal itu akhirnya menjadi saudara seaqidah. Dan tak lama kemudian, Sahal pun berpulang ke rahmatullah. [Sumber: Qashashu Ash Shalihin karya DR Mustafa Murad]
0 komentar:
Posting Komentar