Salah satu penyimpangan besar Syiah adalah ajaran nikah mut’ah. Yakni seorang laki-laki menikahi perempuan untuk sementara dengan membayar uang kontrak nikah dalam jumlah tertentu, tanpa perlu persetujuan atau sepengetahuan walinya.
Sayyid Husein Al Musawi, salah seorang tokoh Syiah di kota Najaf yang kemudian keluar dari Syiah menceritakan kisahnya ketika seorang pengikut Syiah marah kepada tokohnya yang menghalalkan anak-anak gadis mereka dimut’ah, tetapi putri pembesar dan tokoh diharamkan.
Berikut kisahnya seperti ia tuturkan dalam bukunya Lillahi, Tsumma li Tarikh yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Mengapa Saya Keluar dari Syiah:
Suatu waktu saya duduk bersama Imam Al Khaui di kantornya. Tiba-tiba masuk kepada kami dua orang laki-laki yang sedang memperdebatkan suatu masalah. Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada Imam Al Khaui untuk mendapatkan jawaban darinya.
Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai sayid, apa pendapatmu tentang mut’ah, apakah ia halal atau haram?”
Imam Al Khaui melihat kepadanya dan dia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia berkata kepadanya, “Di mana kamu tinggal?” maka dia menjawab, “Saya tinggal di Mosul, saya tinggal di Najaf semenjak sekitar dua bulan yang lalu.”
Imam berkata kepadanya, “Kalau demikian berarti anda adalah orang Sunni?”
Pemuda itu menjawab, “Ya!”
Maka pemuda itu berkata kepadanya, “Saya di sini semenjak dua bulan yang lalu merasa kesepian, maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu dengan cara mut’ah sebelum saya kembali kepada keluargaku.”
Maka sang Imam membelalakkan matanya sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para pembesar, namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”
Si pemuda melihat kepada Al Khaui sambil tersenyum. Pandangannya mengisyaratkan akan pengetahuannya bahwa Al Khaui sedang mengamalkan taqiyah.
Kedua pemuda itu bangkit dan pergi. Saya meminta ijin kepada Imam Khaui untuk keluar. Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya mengetahui bahwa penanya adalah orang Sunni dan sahabatnya adalah orang Syi'i. Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mut’ah, apakah ia halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada rujukan agama, yaitu Imam Al Khaui. Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi, pemuda yang berpaham Syiah berontak sambil berkata, “Wahai orang-orang durhaka, kamu sekalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak perempuan kami, dan mengabarkan bahwa hal itu halal, dan dengan hal itu kalian mendekatkan diri kepada Allah, namun kalian mengharamkan kepada kami untuk nikah mut’ah dengan anak-anak perempuan kalian?”
Maka dia mulai memaki dan mencaci serta bersumpah untuk berpindah kepada madzhab Ahlu Sunnah, maka saya pun mulai menenangkannya, kemudian saya bersumpah bahwa nikah mut’ah itu haram, kemudian saya menjelaskan tentang dalil-dalilnya. [IK/bersamadakwah]
Sayyid Husein Al Musawi, salah seorang tokoh Syiah di kota Najaf yang kemudian keluar dari Syiah menceritakan kisahnya ketika seorang pengikut Syiah marah kepada tokohnya yang menghalalkan anak-anak gadis mereka dimut’ah, tetapi putri pembesar dan tokoh diharamkan.
Berikut kisahnya seperti ia tuturkan dalam bukunya Lillahi, Tsumma li Tarikh yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Mengapa Saya Keluar dari Syiah:
Suatu waktu saya duduk bersama Imam Al Khaui di kantornya. Tiba-tiba masuk kepada kami dua orang laki-laki yang sedang memperdebatkan suatu masalah. Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada Imam Al Khaui untuk mendapatkan jawaban darinya.
Salah seorang di antara mereka bertanya, “Wahai sayid, apa pendapatmu tentang mut’ah, apakah ia halal atau haram?”
Imam Al Khaui melihat kepadanya dan dia menangkap sesuatu dari pertanyaannya, kemudian dia berkata kepadanya, “Di mana kamu tinggal?” maka dia menjawab, “Saya tinggal di Mosul, saya tinggal di Najaf semenjak sekitar dua bulan yang lalu.”
Imam berkata kepadanya, “Kalau demikian berarti anda adalah orang Sunni?”
Pemuda itu menjawab, “Ya!”
Maka pemuda itu berkata kepadanya, “Saya di sini semenjak dua bulan yang lalu merasa kesepian, maka nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu dengan cara mut’ah sebelum saya kembali kepada keluargaku.”
Maka sang Imam membelalakkan matanya sejenak, kemudian berkata kepadanya, “Saya adalah pembesar, dan hal itu haram atas para pembesar, namun halal bagi kalangan awam dari orang-orang Syiah.”
Si pemuda melihat kepada Al Khaui sambil tersenyum. Pandangannya mengisyaratkan akan pengetahuannya bahwa Al Khaui sedang mengamalkan taqiyah.
Kedua pemuda itu bangkit dan pergi. Saya meminta ijin kepada Imam Khaui untuk keluar. Saya menyusul kedua pemuda tadi. Saya mengetahui bahwa penanya adalah orang Sunni dan sahabatnya adalah orang Syi'i. Keduanya berselisih pendapat tentang nikah mut’ah, apakah ia halal atau haram? Keduanya bersepakat untuk menanyakannya kepada rujukan agama, yaitu Imam Al Khaui. Ketika saya berbicara dengan kedua pemuda tadi, pemuda yang berpaham Syiah berontak sambil berkata, “Wahai orang-orang durhaka, kamu sekalian membolehkan nikah mut’ah kepada anak-anak perempuan kami, dan mengabarkan bahwa hal itu halal, dan dengan hal itu kalian mendekatkan diri kepada Allah, namun kalian mengharamkan kepada kami untuk nikah mut’ah dengan anak-anak perempuan kalian?”
Maka dia mulai memaki dan mencaci serta bersumpah untuk berpindah kepada madzhab Ahlu Sunnah, maka saya pun mulai menenangkannya, kemudian saya bersumpah bahwa nikah mut’ah itu haram, kemudian saya menjelaskan tentang dalil-dalilnya. [IK/bersamadakwah]
0 komentar:
Posting Komentar