Dalam kaidah-kaidah kehidupan orang besar di setiap lapis zaman, penjara memiliki makna yang unik, berbeda dan kelak menyejarah.
Kita mulai dari Ibnu Taimiyah. Bagi beliau, penjara tak ubahnya surga. Di sana, beliau memiliki kesempatan tak terbatas untuk selalu 'berdua' dengan Allahnya. Ungkapan beliau yang sering dikutip, kurang lebih bermakna, "Bahwa surga, kebahagiaan, adanya di dalam hati." Sehingga, selama hati selalu lapang, dekat dengan Allah Sang Pencipta, tak berartilah semua masalah terkait dunia yang remeh temeh ini.
Selanjutnya, ada Sayyid Quthb. Pemikir Islam yang sempat melalang buana di Negeri Paman Sam ini, akhirnya menemukan pelabuhan hatinya pada Islam yang mulia. Karena vokalnya beliau dalam menentang segala macam pemikiran yang menentang Islam, beliau dipenjara oleh rezim keji Mesir kala itu.
Quthb yang dipenjara, tak mau menyia-nyiakan kesempatan berharga itu. Bayangkan, bagaimana bisa, seseorang yang dipenjara sanggup menyelesaikan tafsir yang kemudian menjadi monumental di sepanjang zaman? Kapan menulisnya? Kertas dan tintaya dari mana? Apakah ada penerangan yang cukup? Bagaimana untuk hunting informasi? Dan, seterusnya.
Pelajaran berikutnya, bahwa kesungguhan selalu membuahkan hasil yang monumental. Hingga kini, Fi Zhilalil Qur'an gubahan Sayyid Quthb dicetak di berbagai negara, dalam berbagai bahasa, oleh banyak penerbit, dan menjadi inspirasi Gerak Aktivis Muslim. Di negeri kita sendiri, tafsir ini dicetak oleh sedikitnya dua penerbit puluhan kali.
Penjara, bagi Quthb adalah tempat untuk berkarya. Menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk umat.
Dari dalam negeri, kita punya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lelaki yang menjadi Ketua MUI Pertama ini sempat mendekam di balik hotel prodeo atas prakarsa rezim di negeri ini.
Apa makna penjara bagi ulama yang akrab dipanggil Buya HAMKA ini? Beliau menuturkan dengan lugas kepada kita, "Tiga hari di dalam penjara, saya sudah mengkhatamkan al-Qur'an 5 kali. Dalam kurun waktu 2 tahun di dalam penjara, saya mengkhatamkan al-Qur'an sekitar 150 kali."
Apakah selesai sampai di situ? Tidak, kawan-kawan!
Selama dua tahun itu, HAMKA merampungkan penulisan Tafsir Al-Azhar sebanyak 28 Juz. Karena dua juz (yakni juz 18 dan 19) sudah diselesaikan sebelum beliau dijebloskan ke dalam jeruji besi.
Sekeluarnya beliau dari hotel prodeo, uang hasil royalti penulisan tafsir itu bisa digunakan untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci. Bukan hanya beliau, tetapi juga untuk keluarganya. Hingga kini, tafsir yang diterbitkanoleh Pustaka Panjimas ini, menjadi inspirasi bagi mereka yang hendak menyelami samudera al-Qur'an dan hendak menjadikan al-Qur'an sebagai pedoman mereka untuk menjalani kehidupan ini.
Ketiga orang besar ini, memberikan kita pelajaran berharga. Bahwa di manapun, dan bagaimanapun keadaan kita saat ini, hendaknya tidak membuat diri malas untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk umat. Bahwa bahagia, prestasi, karya, dan karya monumental, sama sekali tidak terkait dengan suasana ataupun fasilitas. Tapi adanya di hati dan kemauan yang kuat untuk memberikan sumbangan terbaik bagi peradaban.
Selain ketiga nama besar di atas, kita masih ingat dengan sosok Mursi. Presiden Mesir yang hafal al-Qur'an ini, ketika dijebloskan ke dalam jeruji besi, hanya meminta dua hal, sajadah dan mushaf. Tentu, kita sama mengetahui, apa fungsi dari kedua barang berharga tersebut. Adalah dua diantara banyaknya sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Yang lebih hangat, sebagaimana kita jumpai bersama bebarapa hari yang lalu, ketika ada tokoh yang divonis berat, tidak berimbang dan sarat kejanggalan, beliau dengan tegar terus tersenyum dan berkata, "Kita tidak mungkin berharap keadilan dari orang yang tidak bisa berlaku berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Kita hanya bisa berharap keadilan kepada Allah yang Maha Adil."
Nampaknya, bagi orang ini, penjara bisa bermakna surga sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, atau tempat untuk menghasilkan Fi Zhilalil Qur'an sebagaimana Qutbh, atau sebuah fase untuk melakukan kontemplasi sebagaimana HAMKA ketika menulis Al-Azhar.
Kita tak tahu, dan tak pernah tahu akan apa yang terjadi esok hari. Jika saat ini, beliau yang dijadikan korban. Bisa jadi, kelak, entah kapan, kitalah yang akan diperlakukan selayak beliau-beliau yang telah melakukan sesuatu demi kebenaran.
Sehingga, yang perlu kita siapkan, selain kompetensi, adalah sebuah kesadaran, bahwa penjara bisa bermakna surga. Jika, kita bisa memaknai ruhani sebagaimana Ibnu Taimiyah. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Kita mulai dari Ibnu Taimiyah. Bagi beliau, penjara tak ubahnya surga. Di sana, beliau memiliki kesempatan tak terbatas untuk selalu 'berdua' dengan Allahnya. Ungkapan beliau yang sering dikutip, kurang lebih bermakna, "Bahwa surga, kebahagiaan, adanya di dalam hati." Sehingga, selama hati selalu lapang, dekat dengan Allah Sang Pencipta, tak berartilah semua masalah terkait dunia yang remeh temeh ini.
Selanjutnya, ada Sayyid Quthb. Pemikir Islam yang sempat melalang buana di Negeri Paman Sam ini, akhirnya menemukan pelabuhan hatinya pada Islam yang mulia. Karena vokalnya beliau dalam menentang segala macam pemikiran yang menentang Islam, beliau dipenjara oleh rezim keji Mesir kala itu.
Quthb yang dipenjara, tak mau menyia-nyiakan kesempatan berharga itu. Bayangkan, bagaimana bisa, seseorang yang dipenjara sanggup menyelesaikan tafsir yang kemudian menjadi monumental di sepanjang zaman? Kapan menulisnya? Kertas dan tintaya dari mana? Apakah ada penerangan yang cukup? Bagaimana untuk hunting informasi? Dan, seterusnya.
Pelajaran berikutnya, bahwa kesungguhan selalu membuahkan hasil yang monumental. Hingga kini, Fi Zhilalil Qur'an gubahan Sayyid Quthb dicetak di berbagai negara, dalam berbagai bahasa, oleh banyak penerbit, dan menjadi inspirasi Gerak Aktivis Muslim. Di negeri kita sendiri, tafsir ini dicetak oleh sedikitnya dua penerbit puluhan kali.
Penjara, bagi Quthb adalah tempat untuk berkarya. Menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk umat.
Dari dalam negeri, kita punya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Lelaki yang menjadi Ketua MUI Pertama ini sempat mendekam di balik hotel prodeo atas prakarsa rezim di negeri ini.
Apa makna penjara bagi ulama yang akrab dipanggil Buya HAMKA ini? Beliau menuturkan dengan lugas kepada kita, "Tiga hari di dalam penjara, saya sudah mengkhatamkan al-Qur'an 5 kali. Dalam kurun waktu 2 tahun di dalam penjara, saya mengkhatamkan al-Qur'an sekitar 150 kali."
Apakah selesai sampai di situ? Tidak, kawan-kawan!
Selama dua tahun itu, HAMKA merampungkan penulisan Tafsir Al-Azhar sebanyak 28 Juz. Karena dua juz (yakni juz 18 dan 19) sudah diselesaikan sebelum beliau dijebloskan ke dalam jeruji besi.
Sekeluarnya beliau dari hotel prodeo, uang hasil royalti penulisan tafsir itu bisa digunakan untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci. Bukan hanya beliau, tetapi juga untuk keluarganya. Hingga kini, tafsir yang diterbitkanoleh Pustaka Panjimas ini, menjadi inspirasi bagi mereka yang hendak menyelami samudera al-Qur'an dan hendak menjadikan al-Qur'an sebagai pedoman mereka untuk menjalani kehidupan ini.
Ketiga orang besar ini, memberikan kita pelajaran berharga. Bahwa di manapun, dan bagaimanapun keadaan kita saat ini, hendaknya tidak membuat diri malas untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk umat. Bahwa bahagia, prestasi, karya, dan karya monumental, sama sekali tidak terkait dengan suasana ataupun fasilitas. Tapi adanya di hati dan kemauan yang kuat untuk memberikan sumbangan terbaik bagi peradaban.
Selain ketiga nama besar di atas, kita masih ingat dengan sosok Mursi. Presiden Mesir yang hafal al-Qur'an ini, ketika dijebloskan ke dalam jeruji besi, hanya meminta dua hal, sajadah dan mushaf. Tentu, kita sama mengetahui, apa fungsi dari kedua barang berharga tersebut. Adalah dua diantara banyaknya sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Yang lebih hangat, sebagaimana kita jumpai bersama bebarapa hari yang lalu, ketika ada tokoh yang divonis berat, tidak berimbang dan sarat kejanggalan, beliau dengan tegar terus tersenyum dan berkata, "Kita tidak mungkin berharap keadilan dari orang yang tidak bisa berlaku berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Kita hanya bisa berharap keadilan kepada Allah yang Maha Adil."
Nampaknya, bagi orang ini, penjara bisa bermakna surga sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, atau tempat untuk menghasilkan Fi Zhilalil Qur'an sebagaimana Qutbh, atau sebuah fase untuk melakukan kontemplasi sebagaimana HAMKA ketika menulis Al-Azhar.
Kita tak tahu, dan tak pernah tahu akan apa yang terjadi esok hari. Jika saat ini, beliau yang dijadikan korban. Bisa jadi, kelak, entah kapan, kitalah yang akan diperlakukan selayak beliau-beliau yang telah melakukan sesuatu demi kebenaran.
Sehingga, yang perlu kita siapkan, selain kompetensi, adalah sebuah kesadaran, bahwa penjara bisa bermakna surga. Jika, kita bisa memaknai ruhani sebagaimana Ibnu Taimiyah. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar