Judul : Pengkhianatan-pengkhianatan Syiah
Judul Asli : Khiyanat Asy Syi'ah wa Atsaruha fi Hazaa-im Al Ummah Al Islamiyah
Penulis : DR Imad Ali Abdus Sami'
Penerjemah :Hafidz Muhammad Amin, Lc
Penerbit : Pustaka Al Kautsar, Jakarta
Cetakan ke : 3
Tahun terbit : Januari 2012
Dimensi : 17,5 cm; xx + 216 hlm
ISBN : 979-592-337-4
Melihat sepak terjang Syiah akhir-akhir ini, khususnya di Irak dan Suriah, sebagian umat Islam mungkin bertanya-tanya. Mengapa mereka demikian sengit berhadapan dengan ahlus sunnah? Mengapa mereka mati-matian membela rezim Assad di Suriah hingga harus mensuplai tentara dari Iran dan Hezbullat Lebanon?
DR. Imad Ali Abdus Sami' menyusun sebuah dokumentasi berharga yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, dimulai dari masalah aqidah, yang dipaparkan pada halaman 13 sampai 28.
Menurut aqidah Syiah, orang yang tidak beriman terhadap otoritas Imam Itsna Asyariah (iman dua belas) adalah kafir. Aqidah tersebut dapat dijumpai di berbagai literatur Syiah. Misalnya Al I'tiqadaat karya Muhammad bin Ali bin Husein bin Bawabih Al Qummi yang digelari Ash Shaduq, Al Alfain fi Imamah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karya Jamaludin bin Al Husein bin Muthahar Al Hully, Bihar Al Anwar karya Al Mulla Muhammad Bakir Al Majlisi, dan lain-lain.
Persoalan aqidah kedua, Syiah meyakini bahwa ahlus Sunnah memusuhi Ahlul Bait, dan karenanya mereka harus dilawan. Bahkan, keyakinan ini membawa implikasi pada permusuhan besar Syiah yang meyakini bahwa ahlus sunnah halal darah dan hartanya.
"Darah kaum sunni itu halal, akan tetapi saya mengingatkan Anda, jika Anda mampu untuk memendamnya di bawah dinding atau menenggelamkannya di dalam air agar mereka tidak menyaksikan hal tersebut, maka lakukanlah," demikian fatwa dalam kitab Ilal Asy Syara'i. (hlm 23-24). Penulis juga mengutip fatwa Ruhullah Khumaini dalam kitab Tahrir Al Wasilah yang menghukumi ahlus sunnah sebagaimana ahlul harb yang boleh dirampas hartanya sebagai ghanimah.
Setelah memaparkan aqidah di balik pengkhianatan Syiah, halaman 29 hingga 193 dalam buku ini memotret pengkhianatan-pengkhianatan Syiah di berbagai zaman. Sejak zaman sahabat hingga zaman modern.
Pengkhianatan pertama Syiah adalah pengkhianatan kepada ahlul bait, yang justru mereka mengklaim diri sebagai penerus ahlul bait tersebut. Pengkhianatan kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, diantaranya, adalah pembangkangan mereka yang saat itu berpusat di Kufah ketika Ali hendak berperang ke Syam. Ali pun menyebut mereka sebagai "serigala-serigala penipu." (hlm. 30)
Pengkhiantan Syiah kepada Hasan dan Husein lebih parah lagi. Mereka membujuk Hasan agar berperang melawan Muawiyah. Namun mereka justru mengkhianati Hasan dan berencana menyerahkannya kepada Muawiyah. Hasan pun melaknat mereka: "Aku memandang Muawiyah lebih baik terhadapku daripada orang-orang yang mengaku mendukungku tetapi justru ingin membunuhku dan mengambil hartaku." (hlm. 33)
Setelah wafatnya Muawiyah pada tahun 60 H, mereka membujuk Husein bin Ali agar datang ke Kufah untuk memimpin mereka. Namun pengkhianatan kembali terjadi. Mereka membiarkan Husein dan keluarganya dibunuh oleh Ibnu Ziyad.
Pengkhianatan Syiah yang lain terus terjadi sepanjang sejarah Islam. Entitas terbesar Syiah terwujud pada Daulah Fathimiyah pada tahun 296 H. Dengan dimilikinya kekuatan senjata yang besar dalam institusi daulah inilah, Syiah melakukan berbagai macam usaha untuk melenyapkan orang-orang ahlus sunnah (hlm.47). Mereka bekerja sama dengan Eropa untuk merebut Alexandria dari tangan Shalahuddin Al Ayyubi. Bahkan mereka merencanakan pembunuhan terhadap Shalahuddin Al Ayyubi pada tahun 569 h. (hlm. 109).
Di zaman modern, pengkhianatan Syiah juga membentuk daftar yang cukup panjang. Di Bahrain, 12 pemimpin Syiah menggerakkan revolusi dan menciptakan kerusuhan besar-besaran. (hlm. 176). Di Kuwait, huru hara yang hampir sama juga terjadi setelah Syiah berulah melalui tokohnya Ahmad Abbas Al Muhri yang mendapatkan dukungan penuh Khomeini.
Pada 1925, organisasi Syiah didirikan di bagian timur Saudi. 23 tahun kemudian gerakan mereka meluas hingga sampai ke Jubail dan meresahkan kalangan ahlus sunnah di Saudi. Hingga pada 1950 pemerintah Saudi membasmi gerakan tersebut. Tahun 1970 Syiah di Saudi bangkit lagi, bahkan menggelar demonstrasi dan kerusuhan hingga ledakan pada 1978. Bersamaan dengan revolusi Iran, Syiah di Syiria dan Lebanon juga bangkit.
Di Irak, Syiah mendukung serangan AS ke negara itu. Begitu AS menang, pengikut Syiah segera tumpah ruah ke jalanan, beraksi menjarah dan menghancurkan aset-aset ahlus sunnah. Pengkhianatan Syiah di Irak ini dibahas sepanjang 10 halaman hingga halaman 193. Sayangnya, buku ini terbit satu dekade lalu sehingga tidak dapat mengetengahkan perkembangan terbaru saat Nuri Al Maliki, perdana menteri Irak boneka AS, mengusulkan Karbala menjadi kiblat umat Islam menggantikan Makkah. Andaikan buku ini terbit tahun ini, mungkin akan menjadi semakin tebal dengan pengkhianatan Syiah di Suriah dan dukungan mereka secara militer terhadap rezim Bashar Assad sejak 2012. [Abu Nida]
Judul Asli : Khiyanat Asy Syi'ah wa Atsaruha fi Hazaa-im Al Ummah Al Islamiyah
Penulis : DR Imad Ali Abdus Sami'
Penerjemah :Hafidz Muhammad Amin, Lc
Penerbit : Pustaka Al Kautsar, Jakarta
Cetakan ke : 3
Tahun terbit : Januari 2012
Dimensi : 17,5 cm; xx + 216 hlm
ISBN : 979-592-337-4
Melihat sepak terjang Syiah akhir-akhir ini, khususnya di Irak dan Suriah, sebagian umat Islam mungkin bertanya-tanya. Mengapa mereka demikian sengit berhadapan dengan ahlus sunnah? Mengapa mereka mati-matian membela rezim Assad di Suriah hingga harus mensuplai tentara dari Iran dan Hezbullat Lebanon?
DR. Imad Ali Abdus Sami' menyusun sebuah dokumentasi berharga yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Pertama, dimulai dari masalah aqidah, yang dipaparkan pada halaman 13 sampai 28.
Menurut aqidah Syiah, orang yang tidak beriman terhadap otoritas Imam Itsna Asyariah (iman dua belas) adalah kafir. Aqidah tersebut dapat dijumpai di berbagai literatur Syiah. Misalnya Al I'tiqadaat karya Muhammad bin Ali bin Husein bin Bawabih Al Qummi yang digelari Ash Shaduq, Al Alfain fi Imamah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karya Jamaludin bin Al Husein bin Muthahar Al Hully, Bihar Al Anwar karya Al Mulla Muhammad Bakir Al Majlisi, dan lain-lain.
Persoalan aqidah kedua, Syiah meyakini bahwa ahlus Sunnah memusuhi Ahlul Bait, dan karenanya mereka harus dilawan. Bahkan, keyakinan ini membawa implikasi pada permusuhan besar Syiah yang meyakini bahwa ahlus sunnah halal darah dan hartanya.
"Darah kaum sunni itu halal, akan tetapi saya mengingatkan Anda, jika Anda mampu untuk memendamnya di bawah dinding atau menenggelamkannya di dalam air agar mereka tidak menyaksikan hal tersebut, maka lakukanlah," demikian fatwa dalam kitab Ilal Asy Syara'i. (hlm 23-24). Penulis juga mengutip fatwa Ruhullah Khumaini dalam kitab Tahrir Al Wasilah yang menghukumi ahlus sunnah sebagaimana ahlul harb yang boleh dirampas hartanya sebagai ghanimah.
Setelah memaparkan aqidah di balik pengkhianatan Syiah, halaman 29 hingga 193 dalam buku ini memotret pengkhianatan-pengkhianatan Syiah di berbagai zaman. Sejak zaman sahabat hingga zaman modern.
Pengkhianatan pertama Syiah adalah pengkhianatan kepada ahlul bait, yang justru mereka mengklaim diri sebagai penerus ahlul bait tersebut. Pengkhianatan kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, diantaranya, adalah pembangkangan mereka yang saat itu berpusat di Kufah ketika Ali hendak berperang ke Syam. Ali pun menyebut mereka sebagai "serigala-serigala penipu." (hlm. 30)
Pengkhiantan Syiah kepada Hasan dan Husein lebih parah lagi. Mereka membujuk Hasan agar berperang melawan Muawiyah. Namun mereka justru mengkhianati Hasan dan berencana menyerahkannya kepada Muawiyah. Hasan pun melaknat mereka: "Aku memandang Muawiyah lebih baik terhadapku daripada orang-orang yang mengaku mendukungku tetapi justru ingin membunuhku dan mengambil hartaku." (hlm. 33)
Setelah wafatnya Muawiyah pada tahun 60 H, mereka membujuk Husein bin Ali agar datang ke Kufah untuk memimpin mereka. Namun pengkhianatan kembali terjadi. Mereka membiarkan Husein dan keluarganya dibunuh oleh Ibnu Ziyad.
Pengkhianatan Syiah yang lain terus terjadi sepanjang sejarah Islam. Entitas terbesar Syiah terwujud pada Daulah Fathimiyah pada tahun 296 H. Dengan dimilikinya kekuatan senjata yang besar dalam institusi daulah inilah, Syiah melakukan berbagai macam usaha untuk melenyapkan orang-orang ahlus sunnah (hlm.47). Mereka bekerja sama dengan Eropa untuk merebut Alexandria dari tangan Shalahuddin Al Ayyubi. Bahkan mereka merencanakan pembunuhan terhadap Shalahuddin Al Ayyubi pada tahun 569 h. (hlm. 109).
Di zaman modern, pengkhianatan Syiah juga membentuk daftar yang cukup panjang. Di Bahrain, 12 pemimpin Syiah menggerakkan revolusi dan menciptakan kerusuhan besar-besaran. (hlm. 176). Di Kuwait, huru hara yang hampir sama juga terjadi setelah Syiah berulah melalui tokohnya Ahmad Abbas Al Muhri yang mendapatkan dukungan penuh Khomeini.
Pada 1925, organisasi Syiah didirikan di bagian timur Saudi. 23 tahun kemudian gerakan mereka meluas hingga sampai ke Jubail dan meresahkan kalangan ahlus sunnah di Saudi. Hingga pada 1950 pemerintah Saudi membasmi gerakan tersebut. Tahun 1970 Syiah di Saudi bangkit lagi, bahkan menggelar demonstrasi dan kerusuhan hingga ledakan pada 1978. Bersamaan dengan revolusi Iran, Syiah di Syiria dan Lebanon juga bangkit.
Di Irak, Syiah mendukung serangan AS ke negara itu. Begitu AS menang, pengikut Syiah segera tumpah ruah ke jalanan, beraksi menjarah dan menghancurkan aset-aset ahlus sunnah. Pengkhianatan Syiah di Irak ini dibahas sepanjang 10 halaman hingga halaman 193. Sayangnya, buku ini terbit satu dekade lalu sehingga tidak dapat mengetengahkan perkembangan terbaru saat Nuri Al Maliki, perdana menteri Irak boneka AS, mengusulkan Karbala menjadi kiblat umat Islam menggantikan Makkah. Andaikan buku ini terbit tahun ini, mungkin akan menjadi semakin tebal dengan pengkhianatan Syiah di Suriah dan dukungan mereka secara militer terhadap rezim Bashar Assad sejak 2012. [Abu Nida]
0 komentar:
Posting Komentar