“Ustadzah itu begini dan begitu...” kata itu tertulis pada sebuah kertas yang ditaruh di atas tempat tidur teman saya.
Sesaat setelah membaca tulisan itu, teman saya terduduk lemas. Tangannya gemetar. Air mata mulai menetes mengalir di sela-sela pipinya. Tak disangka, di mata anak-anak ia seperti itu. Ia kemudian menenangkan diri. Diambilnya air wudlu lalu melaksanakan shalat. Kebetulan waktu itu adzan berkumandang.
Setelah sholat ia hanya diam di kamarnya. Tak beranjak walau hanya untuk menengok santri-santrinya. Entah takut atau kalut masih menyelimuti hatinya. Setelah agak sedikit tenang dibacanya kembali surat kaleng itu. Ada satu kata yang begitu menancap di hatinya: “Ustadzah itu nyuruh kami melakukan ini dan itu, tapi ustadzah sendiri gak mau melakukannya!”
Kalimat itu seolah terucap berapi-api. Mencabik-cabik hatinya. Teringat kembali akan surat Ash-Shaff ayat 2-3 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Itu sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Ini hanyalah cerita singkat mengenai ekspresi seorang santri terhadap ustadzahnya. Ada banyak hal yang disampaikannya. Tapi dari surat itu saya mengambil kesimpulan, bahwa dalam benak santri tersebut ada pertanyaan yang selalu mengeglayuti hatinya, “Mengapa ustadzahku menyuruhku ini dan itu sedangkan beliau sendiri tidak melaksanakannya? Mengapa beliau membuat peraturan ini dan itu sedang beliau tidak mau melaksanakannya?”
Mungkin bagi anak-anak, terutama siswa SMP, hal ini terkesan tidak adil. Dan ini adalah sebuah tanda tanya besar, bagaimana anak-anak bisa mengerjakan kebaikan kalau kita sendiri tak mau melakukannya? Bagaimana anak-anak mau menuruti perintah kita kalau kita sendiri tidak mau mengerjakannya?
Saudaraku... Tentu ini sangat berkebalikan dengan metode mendidik Rasulullah. Dalam sabdanya yang driwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang mengatakan pada anak kecil, ‘kemarilah aku beri sesuatu’ namun dia tidak memberi, maka itu ada adalah sebuah kedustaan”.”
Meski hal ini terkesan remeh, secara tidak langsung kita telah mengajarinya berbohong. Kita telah memberi iming-iming palsu sehingga timbullah kekecewaan yang akan membekas dalam ingatan anak tersebut. Yang suatu saat anak itu akan menirunya dengan mengatakan begini, “Aah dulu ibu pernah menjanjikan saya hadiah. Tapi ternyata bohong. Sekarang kalau aku bohong gak apa-apa kan? Kan ibu dulu juga pernah bohong”. Atau misalkan begini “Aah ustadzah saja pernah telat shalat. Jadi kalau kita telat sesekali juga ga apa-apa kan?”
Dalam buku Prophetic Parenting karya DR. Muhammad Nur Abdul Hafiz dijelaskan bahwa seorang anak akan selalu memperhatikan dan meneladani prilaku orang dewasa. Baik itu orang tuanya, saudaranya atau gurunya. Apabila mereka melihatnya berprilaku jujur, mereka akan tumbuh dalam kejujuran. Demikian seterusnya.
Orang dewasa (khususnya kedua orang tua dan guru) selalu dituntut menjadi suri teladan yang baik. Karena seorang anak yang berada di masa pertumbuhan selalu memperhatikan sikap dan ucapan orang tuanya. Dia juga bertanya sebab mereka berlaku demikian.
Selain itu dalam buku 100 Cara agar Anak Bahagia, Dr. Timothy menjelaskan bahwa anak-anak belajar dengan mengamati. Mereka memperhatikan dan menirukan tingkah laku kita. Untuk itu kita harus menjadi teladan yang baik bagi mereka. Apabila kita ingin kata-kata kita didengar oleh mereka.
Oleh karenanya, kalau dulu kita mengatkan “Lakukan sesuai kataku, bukan seperti perbuatanku” maka mari kita buang jauh-jauh kata-kata itu. Karena perbuatan jauh lebih menancap dari perkataan. Anak didik kita akan cenderung meniru perbuatan kita daripada apa yang kita katakan. Sehingga dari situ kita dapat berkaca “Sepeti apakah diri kita?”. Karena anak kita atau anak didik kita adalah cerminan diri kita.
Semoga ini menjadi bahan evaluasi bagi kita...
Wallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]
Sesaat setelah membaca tulisan itu, teman saya terduduk lemas. Tangannya gemetar. Air mata mulai menetes mengalir di sela-sela pipinya. Tak disangka, di mata anak-anak ia seperti itu. Ia kemudian menenangkan diri. Diambilnya air wudlu lalu melaksanakan shalat. Kebetulan waktu itu adzan berkumandang.
Setelah sholat ia hanya diam di kamarnya. Tak beranjak walau hanya untuk menengok santri-santrinya. Entah takut atau kalut masih menyelimuti hatinya. Setelah agak sedikit tenang dibacanya kembali surat kaleng itu. Ada satu kata yang begitu menancap di hatinya: “Ustadzah itu nyuruh kami melakukan ini dan itu, tapi ustadzah sendiri gak mau melakukannya!”
Kalimat itu seolah terucap berapi-api. Mencabik-cabik hatinya. Teringat kembali akan surat Ash-Shaff ayat 2-3 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Itu sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Ini hanyalah cerita singkat mengenai ekspresi seorang santri terhadap ustadzahnya. Ada banyak hal yang disampaikannya. Tapi dari surat itu saya mengambil kesimpulan, bahwa dalam benak santri tersebut ada pertanyaan yang selalu mengeglayuti hatinya, “Mengapa ustadzahku menyuruhku ini dan itu sedangkan beliau sendiri tidak melaksanakannya? Mengapa beliau membuat peraturan ini dan itu sedang beliau tidak mau melaksanakannya?”
Mungkin bagi anak-anak, terutama siswa SMP, hal ini terkesan tidak adil. Dan ini adalah sebuah tanda tanya besar, bagaimana anak-anak bisa mengerjakan kebaikan kalau kita sendiri tak mau melakukannya? Bagaimana anak-anak mau menuruti perintah kita kalau kita sendiri tidak mau mengerjakannya?
Saudaraku... Tentu ini sangat berkebalikan dengan metode mendidik Rasulullah. Dalam sabdanya yang driwayatkan oleh Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang mengatakan pada anak kecil, ‘kemarilah aku beri sesuatu’ namun dia tidak memberi, maka itu ada adalah sebuah kedustaan”.”
Meski hal ini terkesan remeh, secara tidak langsung kita telah mengajarinya berbohong. Kita telah memberi iming-iming palsu sehingga timbullah kekecewaan yang akan membekas dalam ingatan anak tersebut. Yang suatu saat anak itu akan menirunya dengan mengatakan begini, “Aah dulu ibu pernah menjanjikan saya hadiah. Tapi ternyata bohong. Sekarang kalau aku bohong gak apa-apa kan? Kan ibu dulu juga pernah bohong”. Atau misalkan begini “Aah ustadzah saja pernah telat shalat. Jadi kalau kita telat sesekali juga ga apa-apa kan?”
Dalam buku Prophetic Parenting karya DR. Muhammad Nur Abdul Hafiz dijelaskan bahwa seorang anak akan selalu memperhatikan dan meneladani prilaku orang dewasa. Baik itu orang tuanya, saudaranya atau gurunya. Apabila mereka melihatnya berprilaku jujur, mereka akan tumbuh dalam kejujuran. Demikian seterusnya.
Orang dewasa (khususnya kedua orang tua dan guru) selalu dituntut menjadi suri teladan yang baik. Karena seorang anak yang berada di masa pertumbuhan selalu memperhatikan sikap dan ucapan orang tuanya. Dia juga bertanya sebab mereka berlaku demikian.
Selain itu dalam buku 100 Cara agar Anak Bahagia, Dr. Timothy menjelaskan bahwa anak-anak belajar dengan mengamati. Mereka memperhatikan dan menirukan tingkah laku kita. Untuk itu kita harus menjadi teladan yang baik bagi mereka. Apabila kita ingin kata-kata kita didengar oleh mereka.
Oleh karenanya, kalau dulu kita mengatkan “Lakukan sesuai kataku, bukan seperti perbuatanku” maka mari kita buang jauh-jauh kata-kata itu. Karena perbuatan jauh lebih menancap dari perkataan. Anak didik kita akan cenderung meniru perbuatan kita daripada apa yang kita katakan. Sehingga dari situ kita dapat berkaca “Sepeti apakah diri kita?”. Karena anak kita atau anak didik kita adalah cerminan diri kita.
Semoga ini menjadi bahan evaluasi bagi kita...
Wallahu a’lam bish shawab. [Ukhtu Emil]
0 komentar:
Posting Komentar