"Kalau anak kami berbuat baik, saya yakin banyak sekali orang yang telah berkontribusi sampai dia bisa menjadi baik. Tetapi kalau anak kami berbuat tidak baik, itu adalah tanggung jawab kami sendiri sebagai orangtua. Kami tidak pantas menyalahkan siapa-siapa."
"Subhanallah, menakjubkan!" Itulah kalimat yang terlontar dari kami, para guru yang sedang mengikuti pelatihan siang itu. Pemateri kami, ustadz Setiawan Agung Wibowo menceritakan pengalaman temannya sebagai guru sekolah Jerman di Serpong untuk lebih membuka wawasan kami.
Berdasarkan kisah guru tersebut, beberapa waktu lalu seorang anak direktur salah satu perusahaan telekomunikasi swasta di Indonesia menggunakan kosa kata baru yang tidak pantas dan mengandung unsur seksual yang vulgar. Beberapa guru di sana menduga anak ini telah mengakses website yang berisi konten dewasa yang tidak pantas.
Ketika pertama kali mendengar berita ini hampir kebanyakan orang pasti berfikir, anak orang kaya sih, terlalu dimanja, makanya aneh-aneh. Atau, paling-paling anaknya bodoh makanya buka-buka website porno. Bahkan kita mungkin berpikir, pasti ini anak kurang perhatian di rumah dan orangtuanya tidak pernah mendidiknya dengan baik. Kalau memang demikian, case closed. Kita tahu siapa kambing hitamnya.
Tetapi kenyataannya tidak demikian. Meskipun secara finansial berlimpah, anak ini tidak sombong atau sok pamer kekayaan. Pembawaannya sederhana, sopan, dan kemampuan sosialnya sangat baik. Selain itu, dia adalah salah satu murid yang memiliki kemampuan menonjol di bidang Fisika dan Matematika serta berkinerja sangat baik di bidang lain. Dia keukeuh bercita-cita untuk kuliah di bidang nuklir. Kemampuan akademisnya pun sangat menunjang. Kedua orangtuanya juga penuh perhatian dan dekat kepada anak ini sampai-sampai setiap kali bapaknya tugas ke luar negeri, anak dan istrinya dibawa supaya mereka selalu dekat.
Sebelum kepala sekolah memanggil orangtua anak ini, pihak sekolah menyampaikan kekhawatiran para guru kepadanya. Tanpa banyak tarik ulur, anak ini mengaku telah mengakses situs-situs porno dan merasa kalau dirinya kecanduan. Anak ini baru berusia 13 tahun dan duduk di kelas 7. Segera setelah itu pihak sekolah menghubungi kedua orangtua anak ini dan mereka serta merta datang hari itu juga.
Kedua orangtua ini begitu solid. Kalimat pertama yang mereka ucapkan ketika bertemu pihak sekolah adalah kalimat penuh terima kasih karena mereka telah diberitahu tentang hal buruk yang dilakukan anaknya. Setelah mendengar cerita tentang anak mereka, kedua orangtua anak ini langsung mengajak pihak sekolah berdiskusi mengenai solusinya. Tidak sekalipun mereka menyalahkan internet, gadget, pengaruh negatif teman-teman anaknya, sekolah yang terlalu bebas, guru-guru yang tidak mengkontrol, pendidikan agama yang kurang, masyarakat yang rusak, informasi yang terlalu terbuka, dll. Fokus mereka hanya mencari solusi terbaik untuk anaknya.
Setelah berdiskusi panjang lebar dan mencari solusi yang ramah terhadap anak, tanpa hukuman, yaitu melalui serangkaian pendidikan untuk menggugah kesadarannya yang dilakukan di sekolah dan di rumah, pihak sekolah mengakhiri pertemuan hari itu.
"Saya berkesempatan ngobrol lebih lanjut dengan kedua orangtua ini sembari jalan di hall sekolah. Terus terang saya kagum dengan mereka berdua dan saya ungkapkan rasa salut saya kepada mereka yang fokus mencari solusi daripada mencari kambing hitam," kata ustadz Agung menirukan cerita temannya.
"Dengan rendah hati dan tidak dibuat-buat, ayah anak ini bilang, 'Kalau anak kami berbuat baik, saya yakin banyak sekali orang yang telah berkontribusi sampai dia bisa menjadi baik. Tetapi kalau anak kami berbuat tidak baik, itu adalah tanggung jawab kami sendiri sebagai orangtua. Kami tidak pantas menyalahkan siapa-siapa'," tambahnya lagi.
“Saya berharap ini jadi renungan para guru yang ada di sini,” ujarnya mengakhiri kisah ini. Saya pribadi berharap, ini bukan hanya menjadi renungan saya dan teman-teman saya tetapi juga seluruh pendidik dan orang tua. Jika orang tua dan pendidik memegang prinsip bahwa pendidikan adalah upaya perubahan maka mereka tidak akan langsung menghukum kesalahan anak.
Wallahua’lam bish shawab. [Gresia Divi]
"Subhanallah, menakjubkan!" Itulah kalimat yang terlontar dari kami, para guru yang sedang mengikuti pelatihan siang itu. Pemateri kami, ustadz Setiawan Agung Wibowo menceritakan pengalaman temannya sebagai guru sekolah Jerman di Serpong untuk lebih membuka wawasan kami.
Berdasarkan kisah guru tersebut, beberapa waktu lalu seorang anak direktur salah satu perusahaan telekomunikasi swasta di Indonesia menggunakan kosa kata baru yang tidak pantas dan mengandung unsur seksual yang vulgar. Beberapa guru di sana menduga anak ini telah mengakses website yang berisi konten dewasa yang tidak pantas.
Ketika pertama kali mendengar berita ini hampir kebanyakan orang pasti berfikir, anak orang kaya sih, terlalu dimanja, makanya aneh-aneh. Atau, paling-paling anaknya bodoh makanya buka-buka website porno. Bahkan kita mungkin berpikir, pasti ini anak kurang perhatian di rumah dan orangtuanya tidak pernah mendidiknya dengan baik. Kalau memang demikian, case closed. Kita tahu siapa kambing hitamnya.
Tetapi kenyataannya tidak demikian. Meskipun secara finansial berlimpah, anak ini tidak sombong atau sok pamer kekayaan. Pembawaannya sederhana, sopan, dan kemampuan sosialnya sangat baik. Selain itu, dia adalah salah satu murid yang memiliki kemampuan menonjol di bidang Fisika dan Matematika serta berkinerja sangat baik di bidang lain. Dia keukeuh bercita-cita untuk kuliah di bidang nuklir. Kemampuan akademisnya pun sangat menunjang. Kedua orangtuanya juga penuh perhatian dan dekat kepada anak ini sampai-sampai setiap kali bapaknya tugas ke luar negeri, anak dan istrinya dibawa supaya mereka selalu dekat.
Sebelum kepala sekolah memanggil orangtua anak ini, pihak sekolah menyampaikan kekhawatiran para guru kepadanya. Tanpa banyak tarik ulur, anak ini mengaku telah mengakses situs-situs porno dan merasa kalau dirinya kecanduan. Anak ini baru berusia 13 tahun dan duduk di kelas 7. Segera setelah itu pihak sekolah menghubungi kedua orangtua anak ini dan mereka serta merta datang hari itu juga.
Kedua orangtua ini begitu solid. Kalimat pertama yang mereka ucapkan ketika bertemu pihak sekolah adalah kalimat penuh terima kasih karena mereka telah diberitahu tentang hal buruk yang dilakukan anaknya. Setelah mendengar cerita tentang anak mereka, kedua orangtua anak ini langsung mengajak pihak sekolah berdiskusi mengenai solusinya. Tidak sekalipun mereka menyalahkan internet, gadget, pengaruh negatif teman-teman anaknya, sekolah yang terlalu bebas, guru-guru yang tidak mengkontrol, pendidikan agama yang kurang, masyarakat yang rusak, informasi yang terlalu terbuka, dll. Fokus mereka hanya mencari solusi terbaik untuk anaknya.
Setelah berdiskusi panjang lebar dan mencari solusi yang ramah terhadap anak, tanpa hukuman, yaitu melalui serangkaian pendidikan untuk menggugah kesadarannya yang dilakukan di sekolah dan di rumah, pihak sekolah mengakhiri pertemuan hari itu.
"Saya berkesempatan ngobrol lebih lanjut dengan kedua orangtua ini sembari jalan di hall sekolah. Terus terang saya kagum dengan mereka berdua dan saya ungkapkan rasa salut saya kepada mereka yang fokus mencari solusi daripada mencari kambing hitam," kata ustadz Agung menirukan cerita temannya.
"Dengan rendah hati dan tidak dibuat-buat, ayah anak ini bilang, 'Kalau anak kami berbuat baik, saya yakin banyak sekali orang yang telah berkontribusi sampai dia bisa menjadi baik. Tetapi kalau anak kami berbuat tidak baik, itu adalah tanggung jawab kami sendiri sebagai orangtua. Kami tidak pantas menyalahkan siapa-siapa'," tambahnya lagi.
“Saya berharap ini jadi renungan para guru yang ada di sini,” ujarnya mengakhiri kisah ini. Saya pribadi berharap, ini bukan hanya menjadi renungan saya dan teman-teman saya tetapi juga seluruh pendidik dan orang tua. Jika orang tua dan pendidik memegang prinsip bahwa pendidikan adalah upaya perubahan maka mereka tidak akan langsung menghukum kesalahan anak.
Wallahua’lam bish shawab. [Gresia Divi]
0 komentar:
Posting Komentar