Ayah adalah ayah. Ia bukanlah ibu. Jika ibu sering memberikan perhatian dengan banyak nasehat, maka ayah, sesuai khasnya, lebih banyak diam. Namun, diamnya adalah sebentuk cinta. Dalam diam, ia terus berpikir untuk mencari jalan keluar. Dalam pikiran logisnya, banyak bicara tak selalu menghasilkan banyak solusi. Maka ayah, selamanya, tak mungkin sama dengan ibu.
Setiap kita, siapapun, pasti punya kenangan dengan ayah kita. Entah, sebagai apapun ayah kita itu. Pun, jika misalnya, ayah kita adalah seorang penjahat, maka satu jasanya yang haram kita lupakan, bahwa ayah adalah salah satu sebab lahirnya kita ke dunia ini. Ayah kitalah yang mengeluarkan air mani untuk membuahi sel telur ibu. Maka ayah, sebejat apapun, adalah peran yang tak mungkin digantikan oleh selainnya.
Ayah kita, mungkin saja adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai jabatan. Ayah kita, bisa jadi, bukanlah sosok kaya yang berharta. Ayah kita, mungkin saja, bukanlah keturunan ningrat yang layak dibanggakan. Tapi yang paling pasti, ayah kita adalah seorang pemberani yang telah mepersunting ibu kita sehingga kemudian melahirkan kita ke dunia ini.
Sebagai apapun ayah, pastilah kita mempunyai kenangan manis dengan sosok pendiam ini. Sosok yang bisa jadi, legam kulitnya lantaran terpanggang surya. Sosok yang mungkin saja, berkerut dahinya lantaran setiap waktu memeras otak demi kelangsungan hidup kita, anak-anaknya. Sosok yang mungkin saja, bertambah lelah saat kita tengah dewasa, berkeluarga dan beranak. Karena ayah, adalah perlambang keberanian.
Seorang sahabat bertutur. Bahwa ayahnya, adalah pahlawan. Di sepanjang kehidupannya, jarang sekali ia menghabiskan waktu bersama sang ayah. Lantaran ayahnya, mempunyai kehidupan di perantauan. Alhasil, jadwal pulangnya tak menentu. Bahkan, dalam banyak kasus, sang ayah lebih rela memulangkan uangnya untuk kebutuhan istri dan anak-anaknya. Ia bukan tak mau pulang, tapi ia lebih memilih menumpuk rindu, demi sesuap nasi bagi orang-orang yang dia cintai.
Suatu ketika, ketika sang ayah mengetahui bahwa salah satu anaknya aktif dalam kegiatan di masjid dan aneka kegiatan agama di kampungnya, dalam sebuah kesempatan pulang kampung yang tak tentu itu, ia memanggil buah cintanya. Diajaklah dia bercerita, tentang aneka rupa persoalan kehidupan. Lalu, mengalirlah buliran-buliran nasehat yang menentramkan jiwanya.
Sang anak nampak kaget, karena ayahnya ini terkenal pendiam. Namun perbincangan kala itu, benar-benar membekas dalam benaknya. Kata sang ayah lembut, ”Nak, ayah tahu bahwa kau mulai aktif di kegiatan keagamaan. Ayah sangat senang, semoga pahalamu mengalir juga untuk ayah.” Ucapnya berharap.
“Sejak dulu, ayah tahu, bahwa di kampung kita, ketika ada undangan kenduri, yang punya hajat pasti akan memberikan uang. Memang, mereka ikhlas dan menganggap itu sebagai ucapan terima kasih. Tapi, ayah berpesan, jangan jadikan itu sebagai tujuan. Jika perlu, jangan terima. Berikan kepada orang lain yang lebih berhak.”
Sang anak bingung. Mengapa ayahnya memerintahkan untuk menolak uang pemberian? Sementara ia tahu bahwa keluarganya bukanlah keluarga berada?
Kini, sang anak mengerti, bahwa ketika itu, ayahnya sedang mengajarkan makna keikhlasan. Bahwa amal, bahwa membantu sesama, haruslah diniatkan untuk Allah, bukan untuk selainnya. Apalagi, hanya untuk recehan yang tak seberapa.
Sahabat yang lain pun berkisah. Tentang ayahnya. Sang ayah adalah seorang kuli bangunan. Sehari-hari, sang ayah biasa menjadi pesuruh. Ragam majikan sudah pernah diikuti. Mulai dari yang preman, hingga yang haji. Hingga akhirnya, sang ayah menemukan kejanggalan. Mereka yang kadangkala dianggap baik oleh masyarakat, justru berkelakuan sebaliknya. Bahkan, ayahnya itu, seringkali didholimi. Baik berupa pembayaran yang tak sesuai dengan akad, atau kata-kata kotor yang tak bermoral.
Dalam sebuah kesempatan, sang ayah kemudian menuturkan, “Sayang, ayah ini sudah kenyang dengan pahit getirnya hidup. Hampir semua jenis orang sudah ayah ikuti untuk dijadikan majikan.” Ucapnya seraya mengelus lembut kepala anaknya.
“Ayah hanya ingin berpesan kepadamu, selaraskanlah antara fikiran, ucapan dan tindakan.” Lanjutnya sambit menyeruput kopi kental favoritnya. Dalam hening, sang anak hanya bingung lantaran belum mengetahui maksud ayahnya itu.
Seiring berjalannya waktu, sang anak memahami. Ketika itu, ayahnya sedang mengajarkan tentang iman. Bahwa iman, tak hanya ada di hati. Melainkan terucap dengan lisan. Dan, terbukti dalam laku.
Begitulah. Nasehat ayah yang kadang singkat, ternyata memiliki ribuan bahkan jutaan makna. Sebagai anak, kita mesti pandai menafsirkannya, meski tafsiran kita, tak mungkin sebijak nasehat ayah.
Ayah juga kerapkali mengajarkan tanggungjawab, tanpa banyak bertutur. Dalam sebuah perbincangan, seseorang berkisah. Seputar ayahnya. Ia mengenang nasehat ayahnya itu sesaat selepas sang anak mengucap ijab qobul pernikahan. Sang anak yang merupakan anak ketiga dari banyak bersaudara itu menuturkan, “Ayahku itu tak banyak cakap. Beliau lebih suka diam. Kesehariannya juga biasa saja. Kutahu, beliau juga tak bersekolah.” Kisahnya, seraya menerawang ke angkasa.
“Namun, aku dibuat terkejut ketika hari pernikahanku. Selepas kucium tangan, dan kupeluk erat badan ringkihnya, ketika aku minta didoakan, seraya membalas jabat tanganku dan merengkuhku dalam dekapnya, beliau memberikan nasehat yang sangat berharga. Kata ayahku, ‘Jangan lupakan kewajibanmu sebagai kepala keluarga.’” Pungkasnya bertutur.
Begitulah, dan kisah tetang ayah, akan terus seperti itu. Ia adalah sosok bijak yang hemat bertutur. Karena dalam kamus kehidupan seorang ayah, seringkali terdapat sebuah nasehat bijak. Bahwa, dalam banyak kasus, semakin banyak bicara, bisa membuat seseorang semakin banyak bersalah. Maka diamnya seorang ayah, adalah fikir. Diamnya ayah, adalah perenungan untuk menemukan solusi dan kesejatian diri.
Kita, tak mungkin bisa sebijak ayah. Tapi kita, bisa menjadi bijak dalam pandnagan anak-anak kita kelak. Tentu, jika kita mau belajar dengan sungguh-sungguh. Dan, materi untuk menjadi ayah yang baik itu, tidak ada di bangku kuliah manapun. Ia hanya bisa didapat di madrasah bernama keluarga.
Untuk ayahku, aku ingin sampaikan, bahwa aku, anak-anakmu, sangat mencintaimu, karena Allah. Jika seringkali kami membantah, bukan lantaran benci. Itu hanya karena kami, anak-anakmu, belum mengetahui apa maksud di balik bijaknya nasehatmu. Semoga Allah membahagiakan ayah, sebagaimana ayah telah membuat kami bahagia. Aku, hanya ingin memanggilmu, “Ayah...” []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Setiap kita, siapapun, pasti punya kenangan dengan ayah kita. Entah, sebagai apapun ayah kita itu. Pun, jika misalnya, ayah kita adalah seorang penjahat, maka satu jasanya yang haram kita lupakan, bahwa ayah adalah salah satu sebab lahirnya kita ke dunia ini. Ayah kitalah yang mengeluarkan air mani untuk membuahi sel telur ibu. Maka ayah, sebejat apapun, adalah peran yang tak mungkin digantikan oleh selainnya.
Ayah kita, mungkin saja adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai jabatan. Ayah kita, bisa jadi, bukanlah sosok kaya yang berharta. Ayah kita, mungkin saja, bukanlah keturunan ningrat yang layak dibanggakan. Tapi yang paling pasti, ayah kita adalah seorang pemberani yang telah mepersunting ibu kita sehingga kemudian melahirkan kita ke dunia ini.
Sebagai apapun ayah, pastilah kita mempunyai kenangan manis dengan sosok pendiam ini. Sosok yang bisa jadi, legam kulitnya lantaran terpanggang surya. Sosok yang mungkin saja, berkerut dahinya lantaran setiap waktu memeras otak demi kelangsungan hidup kita, anak-anaknya. Sosok yang mungkin saja, bertambah lelah saat kita tengah dewasa, berkeluarga dan beranak. Karena ayah, adalah perlambang keberanian.
Seorang sahabat bertutur. Bahwa ayahnya, adalah pahlawan. Di sepanjang kehidupannya, jarang sekali ia menghabiskan waktu bersama sang ayah. Lantaran ayahnya, mempunyai kehidupan di perantauan. Alhasil, jadwal pulangnya tak menentu. Bahkan, dalam banyak kasus, sang ayah lebih rela memulangkan uangnya untuk kebutuhan istri dan anak-anaknya. Ia bukan tak mau pulang, tapi ia lebih memilih menumpuk rindu, demi sesuap nasi bagi orang-orang yang dia cintai.
Suatu ketika, ketika sang ayah mengetahui bahwa salah satu anaknya aktif dalam kegiatan di masjid dan aneka kegiatan agama di kampungnya, dalam sebuah kesempatan pulang kampung yang tak tentu itu, ia memanggil buah cintanya. Diajaklah dia bercerita, tentang aneka rupa persoalan kehidupan. Lalu, mengalirlah buliran-buliran nasehat yang menentramkan jiwanya.
Sang anak nampak kaget, karena ayahnya ini terkenal pendiam. Namun perbincangan kala itu, benar-benar membekas dalam benaknya. Kata sang ayah lembut, ”Nak, ayah tahu bahwa kau mulai aktif di kegiatan keagamaan. Ayah sangat senang, semoga pahalamu mengalir juga untuk ayah.” Ucapnya berharap.
“Sejak dulu, ayah tahu, bahwa di kampung kita, ketika ada undangan kenduri, yang punya hajat pasti akan memberikan uang. Memang, mereka ikhlas dan menganggap itu sebagai ucapan terima kasih. Tapi, ayah berpesan, jangan jadikan itu sebagai tujuan. Jika perlu, jangan terima. Berikan kepada orang lain yang lebih berhak.”
Sang anak bingung. Mengapa ayahnya memerintahkan untuk menolak uang pemberian? Sementara ia tahu bahwa keluarganya bukanlah keluarga berada?
Kini, sang anak mengerti, bahwa ketika itu, ayahnya sedang mengajarkan makna keikhlasan. Bahwa amal, bahwa membantu sesama, haruslah diniatkan untuk Allah, bukan untuk selainnya. Apalagi, hanya untuk recehan yang tak seberapa.
Sahabat yang lain pun berkisah. Tentang ayahnya. Sang ayah adalah seorang kuli bangunan. Sehari-hari, sang ayah biasa menjadi pesuruh. Ragam majikan sudah pernah diikuti. Mulai dari yang preman, hingga yang haji. Hingga akhirnya, sang ayah menemukan kejanggalan. Mereka yang kadangkala dianggap baik oleh masyarakat, justru berkelakuan sebaliknya. Bahkan, ayahnya itu, seringkali didholimi. Baik berupa pembayaran yang tak sesuai dengan akad, atau kata-kata kotor yang tak bermoral.
Dalam sebuah kesempatan, sang ayah kemudian menuturkan, “Sayang, ayah ini sudah kenyang dengan pahit getirnya hidup. Hampir semua jenis orang sudah ayah ikuti untuk dijadikan majikan.” Ucapnya seraya mengelus lembut kepala anaknya.
“Ayah hanya ingin berpesan kepadamu, selaraskanlah antara fikiran, ucapan dan tindakan.” Lanjutnya sambit menyeruput kopi kental favoritnya. Dalam hening, sang anak hanya bingung lantaran belum mengetahui maksud ayahnya itu.
Seiring berjalannya waktu, sang anak memahami. Ketika itu, ayahnya sedang mengajarkan tentang iman. Bahwa iman, tak hanya ada di hati. Melainkan terucap dengan lisan. Dan, terbukti dalam laku.
Begitulah. Nasehat ayah yang kadang singkat, ternyata memiliki ribuan bahkan jutaan makna. Sebagai anak, kita mesti pandai menafsirkannya, meski tafsiran kita, tak mungkin sebijak nasehat ayah.
Ayah juga kerapkali mengajarkan tanggungjawab, tanpa banyak bertutur. Dalam sebuah perbincangan, seseorang berkisah. Seputar ayahnya. Ia mengenang nasehat ayahnya itu sesaat selepas sang anak mengucap ijab qobul pernikahan. Sang anak yang merupakan anak ketiga dari banyak bersaudara itu menuturkan, “Ayahku itu tak banyak cakap. Beliau lebih suka diam. Kesehariannya juga biasa saja. Kutahu, beliau juga tak bersekolah.” Kisahnya, seraya menerawang ke angkasa.
“Namun, aku dibuat terkejut ketika hari pernikahanku. Selepas kucium tangan, dan kupeluk erat badan ringkihnya, ketika aku minta didoakan, seraya membalas jabat tanganku dan merengkuhku dalam dekapnya, beliau memberikan nasehat yang sangat berharga. Kata ayahku, ‘Jangan lupakan kewajibanmu sebagai kepala keluarga.’” Pungkasnya bertutur.
Begitulah, dan kisah tetang ayah, akan terus seperti itu. Ia adalah sosok bijak yang hemat bertutur. Karena dalam kamus kehidupan seorang ayah, seringkali terdapat sebuah nasehat bijak. Bahwa, dalam banyak kasus, semakin banyak bicara, bisa membuat seseorang semakin banyak bersalah. Maka diamnya seorang ayah, adalah fikir. Diamnya ayah, adalah perenungan untuk menemukan solusi dan kesejatian diri.
Kita, tak mungkin bisa sebijak ayah. Tapi kita, bisa menjadi bijak dalam pandnagan anak-anak kita kelak. Tentu, jika kita mau belajar dengan sungguh-sungguh. Dan, materi untuk menjadi ayah yang baik itu, tidak ada di bangku kuliah manapun. Ia hanya bisa didapat di madrasah bernama keluarga.
Untuk ayahku, aku ingin sampaikan, bahwa aku, anak-anakmu, sangat mencintaimu, karena Allah. Jika seringkali kami membantah, bukan lantaran benci. Itu hanya karena kami, anak-anakmu, belum mengetahui apa maksud di balik bijaknya nasehatmu. Semoga Allah membahagiakan ayah, sebagaimana ayah telah membuat kami bahagia. Aku, hanya ingin memanggilmu, “Ayah...” []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar