Doa orang tua adalah syarat utama bagi suksesnya seorang anak. Karena doa, adalah perlambang ridho. Sedangkan dalam hadits disebutkan, bahwa ridho Allah tergantung ridho orang tua dan murka Allah tergantung pula dengan murka orang tua.
Doa dari orang tua kepada anaknya adalah perlambang cinta. Ia tidak tergantung dengan bakti kita kepada keduanya. Sehingga, tidak jarang kita jumpai, banyak anak-anak durhaka yang tetap didoakan oleh orang tuanya, lebih-lebih lagi seorang ibu. Meskipun, dengan sempurnanya bakti, doa itu akan semakin terasa khasiatnya.
Sudah banyak cerita, sejak dulu hingga masa yang akan datang. Banyak contoh tentang kasus bakti anak kepada orang tuanya. Ketika berbakti, maka sukses, selamat dunia dan akhirat adalah jaminannya. Sementara, ketika durhaka, maka siksa adalah balasan yang tak mungkin dielakkan, oleh siapapun. Parahnya, siksa bagi mereka yang durhaka ini tidak hanya diberikan di akhirat, melainkan juga ditimpakan juga ketika pelakunya masih hidup di dunia.
Pada sebuah sore, di rumahnya yang megah, seorang sahabat bertutur. Tentang khasiat doa orang tua bagi kesuksesan dirinya. Orang ini memulai karir sebagai kuli di salah satu stasiun televisi ternama di negeri ini. Dalam sebuah kesempatan, stasiun televisi yang akan mengadakan konser akbar ini, ketika zaman dahulu panggung masih menggunakan kayu, mengalami sebuah kejadian yang tidak diharapkan.
Panggung yang sudah disiapkan untuk konser itu roboh tepat tiga puluh menit sebelum konser dimulai. Sang produserpun bingung, hingga akhirnya, ia menawarkan kepada kumpulan kuli-kuli yang ada di tempat itu, “Siapa yang bisa membetulkan panggung konser itu dalam waktu kurang dari tiga puluh menit?” Serta merta, kumpulan kuli yang memang mempunyai keahlian dalam bidang pertukangan itu langsung menyanggupi tantangan sang produser. Hanya dalam waktu lima belas menit, panggung yang porak poranda bisa dibetulkan dengan kualitas prima. Alhasil, rombongan kuli itu merasa sumringah dan mendapatkan kesempatan melihat konser itu dari dekat. Sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Esok harinya, sang produser kembali mendatangi kumpulan kuli-kuli itu dengan bertanya aneh, “Siapa yang kemarin membetulkan panggung untuk acara konser?” Mereka yang telah berjasa itu, malu mengakui. Bukan lantaran gengsi, tapi lebih kepada perasaan takut. Khawatir disalahkan, takut jika ada barang-barang yang hilang, dan seterusnya. Kemudian, setelah sang produser mengatakan lugas, “Saya mau mengucapkan terima kasih.” Serta merta, mereka berebut mengacungkan jarinya.
Cerita berlanjut, hingga beberapa dari mereka diangkat ke jenis pekerjaan yang lebih baik. Mulai diajak untuk mengikuti shooting sebagai pembawa alat-alat studio, hingga kemudian belajar, dan terus belajar. Pengalaman yang lama itu kemudian mengantarkan salah seorang dari mereka, sebut saja Bayu, menuju puncak karir. Ia berhasil menguasai semua teknik dalam dunia perfilman, hanya berbekal dari melihat dan praktek di lapangan. Dalam hal ini, benarlah sebuah nasehat bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik.
Lambat laun, ia mulai berfikir untuk maju. Hingga akhirnya, dia mulai serius dalam dunia perfilman itu. Sebelum itu, hanya sebagai seorang kuli angkat, ia sempat berada dalam dasar keterpurukan. Bahkan, istrinya minta diceraikan karena ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan keluarga.
Lantaran sakit hati itu pula, ia mempunyai semangat yang tinggi untuk membuktikan. Berbekal semangat itu pula, ia tak lupa meminta doa dan dukungan dari orang tuanya di kampung. Hingga akhirnya, kesungguhan bertemu dengan momentum. Karirnya mencapai puncak. Di stasiun televisi tempat dia bekerja itu, posisinya sudah tak tergantikan. Hingga kemudian, ia merasa bosan dan memutuskan untuk resign. Selepas resign, ia memutuskan untuk bekerja free lance dengan membuat Production House sendiri. Bagi Bayu, ini hal yang mudah. Karena seluk beluk tentang dunia ini sudah dia kuasai. Terkait order, dia justru bingung, “Jika orang lain kebingungan dalam mencari order, saya justru bingung karena kebanyakan order. Sementara modal saya pas-pasan.” Kemudian, dia melalangbuana ke berbagai stasiun televisi di negeri ini. Hingga karyanya diterima di mana-mana. Mulai dari RCTI, ANTV, TRANS, MNC TV, METRO TV, dan stasiun-stasiun televisi lain seperti Kompas TV dan seterusnya.
Di sinilah cerita lain bermula. Lantaran kebanyakan order, ia menjadi pemburu rupiah. Bahkan, sholat sering lupa lantaran sibuk. Ditambah lagi, orang tuanya sudah meninggal lantaran usia. Sehingga, ujarnya sambil mengenang, “Jadi, setelah orang tua wafat, nyaris tak ada yang mengingatkan saya. Sholat lupa, karena alasan sibuk dan seterusnya.” Tak ayal, kerajaan bisnis yang ia bangun itu mulai mengalami kemunduran. Padahal, dari segi saingan, ia tidak memiliki lawan yang berarti.
Namun, kehancuran sebuah kerajaan bisnis, atau apapun, selalu mempunyai ceritanya sendiri. Apalagi, jika faktor-faktor pendukung asasinya sudah mulai diabaikan.
Perlahan, banyak tagihan macet. Dari stasiun televisi sendiri, mempunyai sistem jangka pembayaran yang lama, sehingga butuh dana besar untuk modal. Paling cepat, pembayaran dari stasiun televisi itu tiga pekan. Itupun haya satu stasiun, yang lain antara 1-3 bulan. Uang modalnya sendiri banyak yang dibawa kabur oleh pihak-pihak yang diajak kerja sama. Bahkan, ia menuturkan, salah satu ustadz yang ia promosikan via PH-nya itu, tidak membayar uang tagihan yang jumlahnya ratusan juta rupiah. Ketika kami tanyakan, ia berujar ikhlas, “Itu sudah tidak saya pikirkan, mas. Biarlah ustadz itu saja yang menanggung dosanya. Saya sudah cari ke mana-mana, tapi dia selalu lari dan banyak janji. Saya mau fokus dengan usaha baru saya saja.”
Terkait ketergelincirannya itu, pria asal Jepara ini sudah menemukan penyebab utamanya, “Mulanya dari ketiadaan doa orang tua. Karena sampainya saya ke puncak karir itu, sebab utamanya adalah doa beliau. Setelah orang tua saya wafat, saya oleng. Tidak dapat doa dari mereka, tidak ada yang mengingatkan saya. Sehingga, ketika Allah menarik semua kekayaan yang sempat diberikan itu, saya ikhlas. Karena saya sudah sangat jauh dariNya dan melalaikan perintah-perintahNya.”
Dalam perbincangan hangat di sore hari itu, akhirnya kami berpamit. Bayu harus meluncur ke bilangan Jakarta karena ada urusan terkait pameran yang sedang diselenggarakan oleh rekan-rekannya yang lain. Sementara kami, melanjutkan jalan-jalan menikmati hari yang mulai malam.
Alhamdulillah, Rasulullah memang tak pernah berdusta. Perintah silaturahim yang digalakkan sejak seribu empat ratusan tahun yang lalu itu memang mempunyai dampak yang dahsyat. Kami berhasil mendapatkan hikmah yang sangat mahal, langsung dari pelaku sejarahnya.
Semoga kita semakin mengerti. Bahwa doa orang tua adalah syarat utama kesuksesan seorang anak. Jika saat ini, banyak cita-cita kita yang belum tercapai, maka jalan yang harus kita tempuh adalah mendatangi orang tua kita. Mencium tangannya, kedua pipi dan keningnya. Lantas, meminta dengan tulus agar beliau selalu membawa nama kita dalam doa mereka. Memang, tanpa dimintapun, beliau akan selalu mendoakan. Tapi bagi kita, anak-anaknya, minta didoakan adalah perlambang rendah hati, bahwa kita menghargai orang tua kita, bahwa kita membutuhkan mereka, sehebat apapun kita saat ini. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Doa dari orang tua kepada anaknya adalah perlambang cinta. Ia tidak tergantung dengan bakti kita kepada keduanya. Sehingga, tidak jarang kita jumpai, banyak anak-anak durhaka yang tetap didoakan oleh orang tuanya, lebih-lebih lagi seorang ibu. Meskipun, dengan sempurnanya bakti, doa itu akan semakin terasa khasiatnya.
Sudah banyak cerita, sejak dulu hingga masa yang akan datang. Banyak contoh tentang kasus bakti anak kepada orang tuanya. Ketika berbakti, maka sukses, selamat dunia dan akhirat adalah jaminannya. Sementara, ketika durhaka, maka siksa adalah balasan yang tak mungkin dielakkan, oleh siapapun. Parahnya, siksa bagi mereka yang durhaka ini tidak hanya diberikan di akhirat, melainkan juga ditimpakan juga ketika pelakunya masih hidup di dunia.
Pada sebuah sore, di rumahnya yang megah, seorang sahabat bertutur. Tentang khasiat doa orang tua bagi kesuksesan dirinya. Orang ini memulai karir sebagai kuli di salah satu stasiun televisi ternama di negeri ini. Dalam sebuah kesempatan, stasiun televisi yang akan mengadakan konser akbar ini, ketika zaman dahulu panggung masih menggunakan kayu, mengalami sebuah kejadian yang tidak diharapkan.
Panggung yang sudah disiapkan untuk konser itu roboh tepat tiga puluh menit sebelum konser dimulai. Sang produserpun bingung, hingga akhirnya, ia menawarkan kepada kumpulan kuli-kuli yang ada di tempat itu, “Siapa yang bisa membetulkan panggung konser itu dalam waktu kurang dari tiga puluh menit?” Serta merta, kumpulan kuli yang memang mempunyai keahlian dalam bidang pertukangan itu langsung menyanggupi tantangan sang produser. Hanya dalam waktu lima belas menit, panggung yang porak poranda bisa dibetulkan dengan kualitas prima. Alhasil, rombongan kuli itu merasa sumringah dan mendapatkan kesempatan melihat konser itu dari dekat. Sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Esok harinya, sang produser kembali mendatangi kumpulan kuli-kuli itu dengan bertanya aneh, “Siapa yang kemarin membetulkan panggung untuk acara konser?” Mereka yang telah berjasa itu, malu mengakui. Bukan lantaran gengsi, tapi lebih kepada perasaan takut. Khawatir disalahkan, takut jika ada barang-barang yang hilang, dan seterusnya. Kemudian, setelah sang produser mengatakan lugas, “Saya mau mengucapkan terima kasih.” Serta merta, mereka berebut mengacungkan jarinya.
Cerita berlanjut, hingga beberapa dari mereka diangkat ke jenis pekerjaan yang lebih baik. Mulai diajak untuk mengikuti shooting sebagai pembawa alat-alat studio, hingga kemudian belajar, dan terus belajar. Pengalaman yang lama itu kemudian mengantarkan salah seorang dari mereka, sebut saja Bayu, menuju puncak karir. Ia berhasil menguasai semua teknik dalam dunia perfilman, hanya berbekal dari melihat dan praktek di lapangan. Dalam hal ini, benarlah sebuah nasehat bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik.
Lambat laun, ia mulai berfikir untuk maju. Hingga akhirnya, dia mulai serius dalam dunia perfilman itu. Sebelum itu, hanya sebagai seorang kuli angkat, ia sempat berada dalam dasar keterpurukan. Bahkan, istrinya minta diceraikan karena ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan keluarga.
Lantaran sakit hati itu pula, ia mempunyai semangat yang tinggi untuk membuktikan. Berbekal semangat itu pula, ia tak lupa meminta doa dan dukungan dari orang tuanya di kampung. Hingga akhirnya, kesungguhan bertemu dengan momentum. Karirnya mencapai puncak. Di stasiun televisi tempat dia bekerja itu, posisinya sudah tak tergantikan. Hingga kemudian, ia merasa bosan dan memutuskan untuk resign. Selepas resign, ia memutuskan untuk bekerja free lance dengan membuat Production House sendiri. Bagi Bayu, ini hal yang mudah. Karena seluk beluk tentang dunia ini sudah dia kuasai. Terkait order, dia justru bingung, “Jika orang lain kebingungan dalam mencari order, saya justru bingung karena kebanyakan order. Sementara modal saya pas-pasan.” Kemudian, dia melalangbuana ke berbagai stasiun televisi di negeri ini. Hingga karyanya diterima di mana-mana. Mulai dari RCTI, ANTV, TRANS, MNC TV, METRO TV, dan stasiun-stasiun televisi lain seperti Kompas TV dan seterusnya.
Di sinilah cerita lain bermula. Lantaran kebanyakan order, ia menjadi pemburu rupiah. Bahkan, sholat sering lupa lantaran sibuk. Ditambah lagi, orang tuanya sudah meninggal lantaran usia. Sehingga, ujarnya sambil mengenang, “Jadi, setelah orang tua wafat, nyaris tak ada yang mengingatkan saya. Sholat lupa, karena alasan sibuk dan seterusnya.” Tak ayal, kerajaan bisnis yang ia bangun itu mulai mengalami kemunduran. Padahal, dari segi saingan, ia tidak memiliki lawan yang berarti.
Namun, kehancuran sebuah kerajaan bisnis, atau apapun, selalu mempunyai ceritanya sendiri. Apalagi, jika faktor-faktor pendukung asasinya sudah mulai diabaikan.
Perlahan, banyak tagihan macet. Dari stasiun televisi sendiri, mempunyai sistem jangka pembayaran yang lama, sehingga butuh dana besar untuk modal. Paling cepat, pembayaran dari stasiun televisi itu tiga pekan. Itupun haya satu stasiun, yang lain antara 1-3 bulan. Uang modalnya sendiri banyak yang dibawa kabur oleh pihak-pihak yang diajak kerja sama. Bahkan, ia menuturkan, salah satu ustadz yang ia promosikan via PH-nya itu, tidak membayar uang tagihan yang jumlahnya ratusan juta rupiah. Ketika kami tanyakan, ia berujar ikhlas, “Itu sudah tidak saya pikirkan, mas. Biarlah ustadz itu saja yang menanggung dosanya. Saya sudah cari ke mana-mana, tapi dia selalu lari dan banyak janji. Saya mau fokus dengan usaha baru saya saja.”
Terkait ketergelincirannya itu, pria asal Jepara ini sudah menemukan penyebab utamanya, “Mulanya dari ketiadaan doa orang tua. Karena sampainya saya ke puncak karir itu, sebab utamanya adalah doa beliau. Setelah orang tua saya wafat, saya oleng. Tidak dapat doa dari mereka, tidak ada yang mengingatkan saya. Sehingga, ketika Allah menarik semua kekayaan yang sempat diberikan itu, saya ikhlas. Karena saya sudah sangat jauh dariNya dan melalaikan perintah-perintahNya.”
Dalam perbincangan hangat di sore hari itu, akhirnya kami berpamit. Bayu harus meluncur ke bilangan Jakarta karena ada urusan terkait pameran yang sedang diselenggarakan oleh rekan-rekannya yang lain. Sementara kami, melanjutkan jalan-jalan menikmati hari yang mulai malam.
Alhamdulillah, Rasulullah memang tak pernah berdusta. Perintah silaturahim yang digalakkan sejak seribu empat ratusan tahun yang lalu itu memang mempunyai dampak yang dahsyat. Kami berhasil mendapatkan hikmah yang sangat mahal, langsung dari pelaku sejarahnya.
Semoga kita semakin mengerti. Bahwa doa orang tua adalah syarat utama kesuksesan seorang anak. Jika saat ini, banyak cita-cita kita yang belum tercapai, maka jalan yang harus kita tempuh adalah mendatangi orang tua kita. Mencium tangannya, kedua pipi dan keningnya. Lantas, meminta dengan tulus agar beliau selalu membawa nama kita dalam doa mereka. Memang, tanpa dimintapun, beliau akan selalu mendoakan. Tapi bagi kita, anak-anaknya, minta didoakan adalah perlambang rendah hati, bahwa kita menghargai orang tua kita, bahwa kita membutuhkan mereka, sehebat apapun kita saat ini. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar