Lima tahun berkeluarga, Nur dan Rio tidak juga mendapatkan putra. Kegelisahan Nur semakin bertambah setelah hasil tes rumah sakit menunjukkan bahwa dirinya mandul. Nur bahkan kehilangan keceriannya selama beberapa minggu setelah mengetahui hasil tes itu. Wanita berusia 29 tahun itu seperti kehilangan nyawa. Rio sendiri menyesal telah mengajak istrinya untuk bersama-sama memeriksakan kesuburan mereka.
Suatu hari, Rio teringat Haji Muhidin yang terkenal bijak. Ia pun memutuskan untuk silaturahim dan berbagi masalah yang berat itu, siapa tahu haji yang tersohor dengan kebaikannya ini bisa membantu.
“Maaf, kapan terakhir Nak Rio berdoa...?” tanya Haji Muhidin setelah Rio bercerita mengenai masalahnya dan kondisi istrinya yang saat ini ‘setengah gila’ karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya mandul.
“Lupa saya...” jawab Rio malu-malu. Ia mengakui sudah lama tidak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Bahkan perasaan saya, sejak SMP saya tidak shalat.”
Haji Muhidin manggut-manggut. Ia tidak menyalahkan Rio karena boleh jadi orangtuanya yang tidak mendidiknya dengan baik. Tidak mengenalkannya kepada Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah dan dimintai pertolongan.
“Mengapa sekarang tidak memulainya lagi? Memulai berdoa dan shalat maksud saya,” Haji Muhidin memberikan umpan pertanyaan.
“Begitu ya?...”
“Nanti saya ajari caranya,” Haji Muhidin menangkap keragu-raguan Rio, bahwa ia memang tidak bisa shalat.
“Shalatlah dulu semampu Nak Rio, sambil perlahan-lahan diperbaiki. Tapi kalau berdoa, Nak Rio tidak perlu belajar. Berdoa itu hanya perlu keyakinan akan dikabulkan Sang Maha, dan berdoa hanya perlu kesungguhan hati sebagai prasyarat awal.”
“Nak Rio tahu? Tuhan itu begitu Kuasa. Ia mampu mengabulkan permintaan yang kadang bagi kita tidak mungkin. Kadang kita merasa tersudut, nyatanya Dia masih berkenan memberikan jalan keluar. Kadang kita merasa terjatuh, tapi Dia berkenan membuat kita bangkit. Dan kadang kita merasa sesuatu sudah berakhir, tapi nyatanya Dia masih berkenan memberikan kesempatan.”
Pertemuan itu benar-benar berpengaruh besar dalam hidup Rio. Ia bagaikan bertemu oase di padang pasir. Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh nasehat Haji Muhidin yang menjelaskan bahwa tidak semua hal berjalan sesuai dengan kehendak manusia.
“Berdoa dan menyandarkan diri kepada Sang Khaliq akan membuat hati kita tetap sejuk untuk sadar, dan itulah sisi keterbatasan kita sebagai manusia, sambil tidak lupa berusaha dan berdoa.”
“Bukan kemandulan yang harus disedihkan, tetapi tidak punya iman yang harus dikhawatirkan.” Nasehat ini terus diingat oleh Rio, menjadi pegangan hidupnya.
Dan lima tahun kemudian, setelah terus berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, istri Rio bukan saja pulih kondisi fisik dan mentalnya, ia kini juga sedang berada di rumah sakit. Bukan untuk rawat lanjutan, melainkan untuk menjalani proses bersalin.
“Allahu Maha Besar,” kata Rio di samping Haji Muhidin yang menemaninya di rumah sakit, “Saya sendiri tidak tahu bagaimana keajaiban ini bisa terjadi.” [Disarikan Abu Nida dari Kun Fayakun karya Ust. Yusuf Mansur]
Suatu hari, Rio teringat Haji Muhidin yang terkenal bijak. Ia pun memutuskan untuk silaturahim dan berbagi masalah yang berat itu, siapa tahu haji yang tersohor dengan kebaikannya ini bisa membantu.
“Maaf, kapan terakhir Nak Rio berdoa...?” tanya Haji Muhidin setelah Rio bercerita mengenai masalahnya dan kondisi istrinya yang saat ini ‘setengah gila’ karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya mandul.
“Lupa saya...” jawab Rio malu-malu. Ia mengakui sudah lama tidak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Bahkan perasaan saya, sejak SMP saya tidak shalat.”
Haji Muhidin manggut-manggut. Ia tidak menyalahkan Rio karena boleh jadi orangtuanya yang tidak mendidiknya dengan baik. Tidak mengenalkannya kepada Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah dan dimintai pertolongan.
“Mengapa sekarang tidak memulainya lagi? Memulai berdoa dan shalat maksud saya,” Haji Muhidin memberikan umpan pertanyaan.
“Begitu ya?...”
“Nanti saya ajari caranya,” Haji Muhidin menangkap keragu-raguan Rio, bahwa ia memang tidak bisa shalat.
“Shalatlah dulu semampu Nak Rio, sambil perlahan-lahan diperbaiki. Tapi kalau berdoa, Nak Rio tidak perlu belajar. Berdoa itu hanya perlu keyakinan akan dikabulkan Sang Maha, dan berdoa hanya perlu kesungguhan hati sebagai prasyarat awal.”
“Nak Rio tahu? Tuhan itu begitu Kuasa. Ia mampu mengabulkan permintaan yang kadang bagi kita tidak mungkin. Kadang kita merasa tersudut, nyatanya Dia masih berkenan memberikan jalan keluar. Kadang kita merasa terjatuh, tapi Dia berkenan membuat kita bangkit. Dan kadang kita merasa sesuatu sudah berakhir, tapi nyatanya Dia masih berkenan memberikan kesempatan.”
Pertemuan itu benar-benar berpengaruh besar dalam hidup Rio. Ia bagaikan bertemu oase di padang pasir. Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh nasehat Haji Muhidin yang menjelaskan bahwa tidak semua hal berjalan sesuai dengan kehendak manusia.
“Berdoa dan menyandarkan diri kepada Sang Khaliq akan membuat hati kita tetap sejuk untuk sadar, dan itulah sisi keterbatasan kita sebagai manusia, sambil tidak lupa berusaha dan berdoa.”
“Bukan kemandulan yang harus disedihkan, tetapi tidak punya iman yang harus dikhawatirkan.” Nasehat ini terus diingat oleh Rio, menjadi pegangan hidupnya.
Dan lima tahun kemudian, setelah terus berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, istri Rio bukan saja pulih kondisi fisik dan mentalnya, ia kini juga sedang berada di rumah sakit. Bukan untuk rawat lanjutan, melainkan untuk menjalani proses bersalin.
“Allahu Maha Besar,” kata Rio di samping Haji Muhidin yang menemaninya di rumah sakit, “Saya sendiri tidak tahu bagaimana keajaiban ini bisa terjadi.” [Disarikan Abu Nida dari Kun Fayakun karya Ust. Yusuf Mansur]
0 komentar:
Posting Komentar