Sudah menjadi hal biasa jika kita temukan jumlah siswa di sebuah lembaga pendidikan, terutama pesantren, yang di tahun ajaran baru jumlahnya banyak kemudian berkurang sedikit demi sedikit.
"Seleksi alam," kata ustadzah saya di ma'had dulu. Beliau menyebut santri yang keluar dari ma'had dengan alasan tidak kerasan dan tidak kuat dengan materi sebagai bagian dari "seleksi alam". Siapa yang tidak sabar, yang tidak kuat berada dalam ma'had dengan sendirinya akan terseleksi oleh alam.
Saya lantas mencermati kata "seleksi alam" tersebut dan mencoba menghubungkan dengan empat prinsip pembelajaran Nabi Khidir yang dijelaskan dalam buku Prophetic Learning karya Agus Dwi Budianto, yaitu :
Yang pertama adalah setiap kali akan belajar ciptakan kemauan yang kuat. Kita menyebutnya sebagai “azzam”. Yakni kemauan yang kuat yang tertanam dalam diri. Setiap manusia adalah pembelajar sejati. Dari bayi kita dilahirkan kita belajar bergerak, belajar mendengar, kemudian belajar memegang sampai ketika kita menjelang sakaratul maut. Semuanya adalah sebuah proses pembelajaran.
Sebagai seorang pembelajar hendaknya kita senantiasa menghadirkan azam dalam diri kita. Mengapa? Karena sesungguhnya jiwa kita akan mudah trombang ambing. Ketika sedikit saja godaan datang kita langsung goyah.
Mari kita menengok Nabi Musa. Beliau punya kemauan yang kuat dalam mencari ilmu bersama Nabi Khidir.
Yang kedua adalah bersikap gigih dalam belajar. Marilah kita lihat Nabi Musa kembali, beliau punya keinginan kuat untuk bertemu Nabi Khidir. Seorang yang dikabarkan lebih pandai daripada beliau. Padahal beliau sendiri seorang Nabi.
Sedangkan kita? Kita pada era sekarang dengan berbagai fasilitas dan kecanggihan teknologi terkadang masih bermalas-malasan. Adanya fasilitas tersebut malah membuat kita cengeng dan mengalami ketergantungan pada keadaan. Sebut saja ketika laptop kita rusak, seketika mood kita untuk belajar langsung hilang.
Seorang pembelajar sejati adalah seorang yang ulet dan gigih dalam belajar. Walau halangan rintangan membentang tak jadi beban masalah tak jadi beban pikiran.
Saudaraku, sebuah prestasi tak akan diperoleh hanya dengan berpangku tangan. Kita ingat Thomas Alva Eddison kan? Ia berhasil menemukan bohlam pada percobaan yang keseribu.
Yang ketiga adalah melipat gandakan kesabaran. Di balik kesabaran ada ketulusan, ada keikhlasan dan ketegaran yang akan mengantarkan kita kepada pintu gerbang kesuksesan.
Sabar ini yang menjadi prasyarat utama Nabi Khidir kepada Nabi Musa ketika ia hendak berguru padanya. Ternyata Nabi Musa tidak terlalu memililki banyak kesabaran sehingga beliau gagal memenuhi prasyarat Nabi Khidir.
Perlu kita garis bawahi banwa ketika kita sabar berarti kita harus mau menerima semua ujian yang ada selama proses pembelajaran dengan hati yang legowo. Segala tantangan yang ada harus kita hadapi dengan kesabaran. Bukan dengan beputus asa. Seperti bersabar atas sarana dan fasilitas, bersabar atas materi pembelajaran yang sedang dipelajari, dan bersabar terhadap guru. Termasuk di dalamnya bersabar dalam memperoleh jawaban atas keingin tahuan.
Yang terakhir adalah mengasah tiada henti. Seorang pembelajar sejati tidak akan pernah puas dengan ilmu yang diperolehnya. Sekali lagi mari kita tengok Nabi Musa. Beliau tidak merasa puas dengan predikat kenabiannya. Sehingga ketika kaumnya mengatakan ada orang yang lebih pandai dari beliau yakni Nabi Khidir, beliau langsung minta petunjuk Allah dan bergegas untuk berguru kepadanya.
Saudaraku, adanya rasa puas itulah yang menjadikan kita malas dan akhirnya berhenti untuk belajar. Kita merasa sudah tahu banyak sehingga kita malas belajar. Pernah tidak kita pada saat kita belajar atau seminar, guru atau pemateri menyampaikan materi yang sudah pernah kita pelajari? Kemudian kita mengatakan "itu kan sudah pernah disampaikan guruku" atau gini "itukan sudah aku pelajari beberapa waktu yang lalu".
Saudaraku, mungkin bisa jadi materi yang disampaikan sama, tetapi apakah kita sudah yakin betul-betul menguasaianya? Bisa jadi materi tersebut menjadi pelengkap atas pengetahuan kita dan bisa menjadi pengingat kita terhadap materi tersebut.
Saudaraku, seorang pembelajar sejati tak mengenal rasa puas, sehingga kita akan terus mengasah diri kita dengan ilmu pengetahuan. Sehingga dari situlah akan terjadi revolusi dan discoveri dalam ilmu pengetahuan.
Mari kita ingat baik-baik nasehat Imam Ghozali, "Siapa yang merasa sudah tahu, niscaya ia akan segera bodoh."
Jadi bukan perkara “seleksi alam”, tetapi kurangnya tekad, azam, serta kesabaran yang menyebabkan jiwa seseoarang terombang-ambing dalam belajar.
Semoga bermanfaat... Waallahu a'lam bish shawab.... [Ukhtu Emil]
"Seleksi alam," kata ustadzah saya di ma'had dulu. Beliau menyebut santri yang keluar dari ma'had dengan alasan tidak kerasan dan tidak kuat dengan materi sebagai bagian dari "seleksi alam". Siapa yang tidak sabar, yang tidak kuat berada dalam ma'had dengan sendirinya akan terseleksi oleh alam.
Saya lantas mencermati kata "seleksi alam" tersebut dan mencoba menghubungkan dengan empat prinsip pembelajaran Nabi Khidir yang dijelaskan dalam buku Prophetic Learning karya Agus Dwi Budianto, yaitu :
Yang pertama adalah setiap kali akan belajar ciptakan kemauan yang kuat. Kita menyebutnya sebagai “azzam”. Yakni kemauan yang kuat yang tertanam dalam diri. Setiap manusia adalah pembelajar sejati. Dari bayi kita dilahirkan kita belajar bergerak, belajar mendengar, kemudian belajar memegang sampai ketika kita menjelang sakaratul maut. Semuanya adalah sebuah proses pembelajaran.
Sebagai seorang pembelajar hendaknya kita senantiasa menghadirkan azam dalam diri kita. Mengapa? Karena sesungguhnya jiwa kita akan mudah trombang ambing. Ketika sedikit saja godaan datang kita langsung goyah.
Mari kita menengok Nabi Musa. Beliau punya kemauan yang kuat dalam mencari ilmu bersama Nabi Khidir.
Yang kedua adalah bersikap gigih dalam belajar. Marilah kita lihat Nabi Musa kembali, beliau punya keinginan kuat untuk bertemu Nabi Khidir. Seorang yang dikabarkan lebih pandai daripada beliau. Padahal beliau sendiri seorang Nabi.
Sedangkan kita? Kita pada era sekarang dengan berbagai fasilitas dan kecanggihan teknologi terkadang masih bermalas-malasan. Adanya fasilitas tersebut malah membuat kita cengeng dan mengalami ketergantungan pada keadaan. Sebut saja ketika laptop kita rusak, seketika mood kita untuk belajar langsung hilang.
Seorang pembelajar sejati adalah seorang yang ulet dan gigih dalam belajar. Walau halangan rintangan membentang tak jadi beban masalah tak jadi beban pikiran.
Saudaraku, sebuah prestasi tak akan diperoleh hanya dengan berpangku tangan. Kita ingat Thomas Alva Eddison kan? Ia berhasil menemukan bohlam pada percobaan yang keseribu.
Yang ketiga adalah melipat gandakan kesabaran. Di balik kesabaran ada ketulusan, ada keikhlasan dan ketegaran yang akan mengantarkan kita kepada pintu gerbang kesuksesan.
Sabar ini yang menjadi prasyarat utama Nabi Khidir kepada Nabi Musa ketika ia hendak berguru padanya. Ternyata Nabi Musa tidak terlalu memililki banyak kesabaran sehingga beliau gagal memenuhi prasyarat Nabi Khidir.
Perlu kita garis bawahi banwa ketika kita sabar berarti kita harus mau menerima semua ujian yang ada selama proses pembelajaran dengan hati yang legowo. Segala tantangan yang ada harus kita hadapi dengan kesabaran. Bukan dengan beputus asa. Seperti bersabar atas sarana dan fasilitas, bersabar atas materi pembelajaran yang sedang dipelajari, dan bersabar terhadap guru. Termasuk di dalamnya bersabar dalam memperoleh jawaban atas keingin tahuan.
Yang terakhir adalah mengasah tiada henti. Seorang pembelajar sejati tidak akan pernah puas dengan ilmu yang diperolehnya. Sekali lagi mari kita tengok Nabi Musa. Beliau tidak merasa puas dengan predikat kenabiannya. Sehingga ketika kaumnya mengatakan ada orang yang lebih pandai dari beliau yakni Nabi Khidir, beliau langsung minta petunjuk Allah dan bergegas untuk berguru kepadanya.
Saudaraku, adanya rasa puas itulah yang menjadikan kita malas dan akhirnya berhenti untuk belajar. Kita merasa sudah tahu banyak sehingga kita malas belajar. Pernah tidak kita pada saat kita belajar atau seminar, guru atau pemateri menyampaikan materi yang sudah pernah kita pelajari? Kemudian kita mengatakan "itu kan sudah pernah disampaikan guruku" atau gini "itukan sudah aku pelajari beberapa waktu yang lalu".
Saudaraku, mungkin bisa jadi materi yang disampaikan sama, tetapi apakah kita sudah yakin betul-betul menguasaianya? Bisa jadi materi tersebut menjadi pelengkap atas pengetahuan kita dan bisa menjadi pengingat kita terhadap materi tersebut.
Saudaraku, seorang pembelajar sejati tak mengenal rasa puas, sehingga kita akan terus mengasah diri kita dengan ilmu pengetahuan. Sehingga dari situlah akan terjadi revolusi dan discoveri dalam ilmu pengetahuan.
Mari kita ingat baik-baik nasehat Imam Ghozali, "Siapa yang merasa sudah tahu, niscaya ia akan segera bodoh."
Jadi bukan perkara “seleksi alam”, tetapi kurangnya tekad, azam, serta kesabaran yang menyebabkan jiwa seseoarang terombang-ambing dalam belajar.
Semoga bermanfaat... Waallahu a'lam bish shawab.... [Ukhtu Emil]
0 komentar:
Posting Komentar