Diakui atau tidak, kadang, bahkan seringkali, kita menjadi pribadi yang latah. Bukan hanya terkait kehidupan secara umum. Pun, dengan hal remeh temeh lainnya. Sebut saja, ketika momen pergantian tahun menjumpai. Serta merta, kita banyak melakukan sesuatu yang kurang diketahui esensinya. Mulai tindakan hura-hura hingga hal-hal lainnya. Sebut saja, salah satunya tentang resolusi.
Sebagai seorang muslim, resolusi tak ada salahnya. Karena dalam al-Qur’an, Allah juga memerintahkan agar kita memerhatikan akan apa yang terjadi di esok hari. Baik kehidupan dunia, terlebih lagi di akhirat. Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan. Bahwa Dia tidak akan mengubah suatu kaum selama kaum tersebut tidak berupaya untuk mengubah dirinya. Dalam haditspun demikian. Rasul menegaskan bahwa tanda dari kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. Dari rangkaian ajaran langit ini, dapatlah kita simpulkan. Bahwa resolusi, bukan hanya dilakukan ketika pergantian tahun. Tapi bisa kita lakukan kapan saja. Sekali dalam sebulan, sepekan sekali, sehari satu kali, bahkan bisa berkali-kali dalam sehari.
Resolusi, bukan hanya terkait kehidupan dunia. Bukan hanya tahun ini kita harus memiliki rumah, atau bertambah koleksi mobil dan sawah. Resolusi, bagi seorang muslim, haruslah menyentuh hal-hal duniawi yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan akhirat. Karena kita menyadari, bahwa dunia hanya sementara. Bahwa dunia, cepat atau lambat, pasti akan ditinggalkan.
Kalau begitu, apa saja yang mesti kita jadikan resolusi di sepanjang kehidupan kita?
Pertama, Shalat. Rasulullah menganggap shalat sebagai salah satu sarana untuk beristirahat dari hiruk pikuk dunia yang melenakkan. Shalat, dalam sebuah hadits disebutkan sebagai mi’roj-nya orang beriman. Ia merupakan sarana untuk selalu terhubung dengan pencipta alam semesta. Untuk mengambil kekuatan dari langit, dan menebarkannya di bumi.
Shalat adalah sarana dzikir. Siapa saja yang mengingat Allah, maka Allah akan mengingatnya. Shalat adalah solusi dari segala macam masalah. Sehingga, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa amal pertama yang dihisab kelak, adalah shalat. Jika shalat bagus, maka amal lain akan serupa. Jika shalat buruk, maka kebaikan amal lainpun sulit diharapkan. Tentu, jika ada orang yang rajin shalat tapi amal lain tak sebaik shalatnya, bisa jadi, shalat yang nampak baik itu tidak memiliki ruh.
Shalat juga pembersih. Ibarat mandi yang meluruhkan seluruh daki. Jika dalam sehari shalat fardhu kita lima kali, terjaga dengan baik, maka insya Allah amal itu menjadi sarana untuk melebur dosa-dosa kita di sepanjang hari itu.
Resolusi tentang shalat ini, bisa bertahap. Bagi yang Islamnya masih di KTP saja, maka bisa diazzamkan untuk melakukan shalat lima waktu, mulai hari ini juga. Bagi yang sudah biasa lima waktu, maka bisa ditambah dengan sunnah rawatib yang muakkad, sepuluh atau dua belas roka’at. Jika fardhu dan rawatib sudah terbiasa, maka bisa ditambah dengan dhuha, tahajjud, dan shalat sunnah lainnya.
Jika semuanya sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka lambat laun, shalat itu akan menjadi sebuah kebutuhan. Sehingga, ada yang kurang ketika belum menjalaninya. Sehingga, ada kenikmatan saat bisa mendirikannya. Sehingga, akan berlimpah inspirasi, ketenangan, kedamaian setelah menunaikannya. Dan, timbul rindu saat waktu shalat yang ditunggu tak jua tiba. Sehingga, akan tertanam keyakinan, sebelum jauh-jauh mencari solusi, perbaiki dulu shalat kita.
Kedua, al-Qur’an. Kalam Allah ini adalah panduan hidup. Ia satu-satunya kitab yang anti kadaluarsa. Allah yang memfirmankan, dan Dia pula yang akan menjaganya. Al-Qur’an adalah sumber inspirasi. Ia merupakan pemicu semangat bagi pembacanya, agar sungguh-sungguh dalam hidup di dunia guna mengumpulkan bekal di akhirat.
Al-qur’an, adalah selaksa oase. Di dalamnya, gambaran surga begitu jelas. Sehingga, kita akan bisa membayangkan dan mengharapkannya, sepenuh hati. Di dalamnya, cerita tentang neraka begitu membekas. Sehingga, kita akan menjaga diri, dan berdoa agar tidak dimasukkan ke dalam tempat terburuk itu.
Resolusi terkait al-Qur’an ini, bisa dimulai dari belajar membaca bagi yang memang belum lancar. Dilanjut dengan tahsin, memperbaiki bacaan. Jika sudah, targetkan untuk satu juz dalam satu hari. Lanjutkan dengan tafsir. Dan, yang paling utama, mengamalkan apa yang diajarkan dalam al-Qur’an. Kunci sukses dalam interaksi dengan Kalam Allah ini, salah satunya, ada pada satu kalimat, “Bacalah al-Qur’an, seperti Allah sedang mendengarkan bacaanmu.” Sehingga bacaan itu, tak sebatas di lidah. Tapi, merasuk dalam fikiran, menghujam dalam hati, dan meledak-ledak untuk diamalkan.
Ketiga, dakwah. Dakwah adalah ajakan. Bukan caci maki, hujatan atau penghakiman. Dakwah adalah tugas asasi para nabi. Yakni mengajak manusia, untuk menyembah Allah saja, dan menafikan selainNya. Teladan dakwah, adalah teladan kesabaran. Sebagaimana Nuh ‘alahis Salam yang mengajak umatnya untuk menyembah Allah dalam kurun waktu 950 tahun. Di sanalah, komitmen, kesabaran, diuji. Tanpa batas.
Dakwah adalah ibadah. Karena surga teramat luas, sehingga tak terlalu seru jika dimasuki sendiri. Sehingga, harus banyak orang yang kita ajak untuk menghuninya.
Dakwah bermula dari diri sendiri. Perbaikan yang tak pernah usai, hingga ajal menjelang. Berlanjut kepada orang yang kita cintai, suami/istri, orang tua, anak, sanak saudara hingga masyarakat luas.
Yang penting untuk dicatat, dakwah bukan sekedar retorika. Tidak terbatas pada masjid, di atas mimbar, dengan sarung, baju koko, ataupun sorban. Ia adalah amalan yang bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, dan tak terbatas pada pakaian yang kita kenakan. Lebih lanjut, dakwah dengan perilaku, dengan teladan, adalah lebih utama disbanding dengan ribuan retorika.
Maka dakwah, adalah seni mengambil hati. Karena kita adalah pendakwah, sebelum sebagai apapun kita. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Sebagai seorang muslim, resolusi tak ada salahnya. Karena dalam al-Qur’an, Allah juga memerintahkan agar kita memerhatikan akan apa yang terjadi di esok hari. Baik kehidupan dunia, terlebih lagi di akhirat. Dalam ayat lain, Allah juga menegaskan. Bahwa Dia tidak akan mengubah suatu kaum selama kaum tersebut tidak berupaya untuk mengubah dirinya. Dalam haditspun demikian. Rasul menegaskan bahwa tanda dari kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. Dari rangkaian ajaran langit ini, dapatlah kita simpulkan. Bahwa resolusi, bukan hanya dilakukan ketika pergantian tahun. Tapi bisa kita lakukan kapan saja. Sekali dalam sebulan, sepekan sekali, sehari satu kali, bahkan bisa berkali-kali dalam sehari.
Resolusi, bukan hanya terkait kehidupan dunia. Bukan hanya tahun ini kita harus memiliki rumah, atau bertambah koleksi mobil dan sawah. Resolusi, bagi seorang muslim, haruslah menyentuh hal-hal duniawi yang bisa dimanfaatkan untuk kehidupan akhirat. Karena kita menyadari, bahwa dunia hanya sementara. Bahwa dunia, cepat atau lambat, pasti akan ditinggalkan.
Kalau begitu, apa saja yang mesti kita jadikan resolusi di sepanjang kehidupan kita?
Pertama, Shalat. Rasulullah menganggap shalat sebagai salah satu sarana untuk beristirahat dari hiruk pikuk dunia yang melenakkan. Shalat, dalam sebuah hadits disebutkan sebagai mi’roj-nya orang beriman. Ia merupakan sarana untuk selalu terhubung dengan pencipta alam semesta. Untuk mengambil kekuatan dari langit, dan menebarkannya di bumi.
Shalat adalah sarana dzikir. Siapa saja yang mengingat Allah, maka Allah akan mengingatnya. Shalat adalah solusi dari segala macam masalah. Sehingga, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa amal pertama yang dihisab kelak, adalah shalat. Jika shalat bagus, maka amal lain akan serupa. Jika shalat buruk, maka kebaikan amal lainpun sulit diharapkan. Tentu, jika ada orang yang rajin shalat tapi amal lain tak sebaik shalatnya, bisa jadi, shalat yang nampak baik itu tidak memiliki ruh.
Shalat juga pembersih. Ibarat mandi yang meluruhkan seluruh daki. Jika dalam sehari shalat fardhu kita lima kali, terjaga dengan baik, maka insya Allah amal itu menjadi sarana untuk melebur dosa-dosa kita di sepanjang hari itu.
Resolusi tentang shalat ini, bisa bertahap. Bagi yang Islamnya masih di KTP saja, maka bisa diazzamkan untuk melakukan shalat lima waktu, mulai hari ini juga. Bagi yang sudah biasa lima waktu, maka bisa ditambah dengan sunnah rawatib yang muakkad, sepuluh atau dua belas roka’at. Jika fardhu dan rawatib sudah terbiasa, maka bisa ditambah dengan dhuha, tahajjud, dan shalat sunnah lainnya.
Jika semuanya sudah menjadi sebuah kebiasaan, maka lambat laun, shalat itu akan menjadi sebuah kebutuhan. Sehingga, ada yang kurang ketika belum menjalaninya. Sehingga, ada kenikmatan saat bisa mendirikannya. Sehingga, akan berlimpah inspirasi, ketenangan, kedamaian setelah menunaikannya. Dan, timbul rindu saat waktu shalat yang ditunggu tak jua tiba. Sehingga, akan tertanam keyakinan, sebelum jauh-jauh mencari solusi, perbaiki dulu shalat kita.
Kedua, al-Qur’an. Kalam Allah ini adalah panduan hidup. Ia satu-satunya kitab yang anti kadaluarsa. Allah yang memfirmankan, dan Dia pula yang akan menjaganya. Al-Qur’an adalah sumber inspirasi. Ia merupakan pemicu semangat bagi pembacanya, agar sungguh-sungguh dalam hidup di dunia guna mengumpulkan bekal di akhirat.
Al-qur’an, adalah selaksa oase. Di dalamnya, gambaran surga begitu jelas. Sehingga, kita akan bisa membayangkan dan mengharapkannya, sepenuh hati. Di dalamnya, cerita tentang neraka begitu membekas. Sehingga, kita akan menjaga diri, dan berdoa agar tidak dimasukkan ke dalam tempat terburuk itu.
Resolusi terkait al-Qur’an ini, bisa dimulai dari belajar membaca bagi yang memang belum lancar. Dilanjut dengan tahsin, memperbaiki bacaan. Jika sudah, targetkan untuk satu juz dalam satu hari. Lanjutkan dengan tafsir. Dan, yang paling utama, mengamalkan apa yang diajarkan dalam al-Qur’an. Kunci sukses dalam interaksi dengan Kalam Allah ini, salah satunya, ada pada satu kalimat, “Bacalah al-Qur’an, seperti Allah sedang mendengarkan bacaanmu.” Sehingga bacaan itu, tak sebatas di lidah. Tapi, merasuk dalam fikiran, menghujam dalam hati, dan meledak-ledak untuk diamalkan.
Ketiga, dakwah. Dakwah adalah ajakan. Bukan caci maki, hujatan atau penghakiman. Dakwah adalah tugas asasi para nabi. Yakni mengajak manusia, untuk menyembah Allah saja, dan menafikan selainNya. Teladan dakwah, adalah teladan kesabaran. Sebagaimana Nuh ‘alahis Salam yang mengajak umatnya untuk menyembah Allah dalam kurun waktu 950 tahun. Di sanalah, komitmen, kesabaran, diuji. Tanpa batas.
Dakwah adalah ibadah. Karena surga teramat luas, sehingga tak terlalu seru jika dimasuki sendiri. Sehingga, harus banyak orang yang kita ajak untuk menghuninya.
Dakwah bermula dari diri sendiri. Perbaikan yang tak pernah usai, hingga ajal menjelang. Berlanjut kepada orang yang kita cintai, suami/istri, orang tua, anak, sanak saudara hingga masyarakat luas.
Yang penting untuk dicatat, dakwah bukan sekedar retorika. Tidak terbatas pada masjid, di atas mimbar, dengan sarung, baju koko, ataupun sorban. Ia adalah amalan yang bisa dilakukan kapan saja, dimana saja, dan tak terbatas pada pakaian yang kita kenakan. Lebih lanjut, dakwah dengan perilaku, dengan teladan, adalah lebih utama disbanding dengan ribuan retorika.
Maka dakwah, adalah seni mengambil hati. Karena kita adalah pendakwah, sebelum sebagai apapun kita. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar