Ingatan Mujahid menerawang ke masa tiga tahun silam. Ketika usia perantauannya menginjak tahun ketiga. Ia adalah anak ketiga dari sembilan bersaudara. Terlahir dari keluarga yang sederhana, tak membuat nyalinya ciut. Berbekal baju dan celana yang lusuh, ia berangkat ke ibu kota untuk mengadu nasib.
Petualangan Mujahid di ibu kota dimulai ketika adik pertamanya masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di kotanya. Ia dan adiknya itu hanya terpaut tiga tahun. Sedangkan adik keduanya, terpaut tiga tahun pula dengan adik pertamanya. Tak ayal, ketika Mujahid baru lulus SMA, adik pertamanya langsung masuk SMA, dan adik keduanya masuk SMP.
Meski demikian, semangat orang tua Mujahid untuk menyekolahkan anak-anaknya tak pernah surut. Apalagi, Mujahid berhasil menunjukkan prestasi gemilang dengan menyabet gelar Siswa Teladan di kabupatennya. Harapannya, adik-adiknya bisa melanjutkan tradisi prestasif itu.
Namun, karut marutnya pendidikan di negeri ini membuat niat orang tua Mujahid menjadi kacau. Apalagi, ketika pendidikan dikomersilkan. Nyaris saja, keluarga itu tak bisa menyekolahkan adik pertama Mujahid. Karena berasal dari keluarga sederhana, bapaknya hanya seorang kuli bangunan di Ibu Kota, dan kedua kakak Mujahid belum mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Tak ayal, Mujahid yang berprestasi itu harus mengalah untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia memilih untuk bekerja, dengan harapan bisa membiayai keenam adik-adiknya.
Didaftarkanlah adik Mujahid ke SMA favorit di kotanya. Bagi kalangan menengah ke bawah, biaya masuk SMA ketika itu tergolong mahal. Belum lagi, biaya masuk SMP adik kedua Mujahid. Sang ibu yang bersikeras agar anak-anaknya mengenyam pendidikan pun, mengambil jalan pintas. Ia menerima tawaran tetangganya untuk berhutang pada rentenir. Di sinilah, awal mula prahara itu terjadi.
Sang Ibu terpaksa mengambil jalan itu, demi anak-anaknya bisa melanjutkan pendidikan. Meskipun, Mujahid sudah berkali-kali mengingatkan, bahwa itu bukanlah jalan terbaik. Dengan semangat berbakti, Mujahid akhirnya membulatkan tekad untuk merantau. Harapannya, gaji dari bekerjanya di Ibu Kota, bisa segera digunakan untuk melunasi hutang pada rentenir.
Waktu berlalu, usia merantau Mujahid sudah memasuki tahun ketiga. Gaji yang ia terima hanya cukup untuk menyambung hidup, dan keperluan keluarganya. Nyaris, tak ada banyak kelebihan untuk membayar hutang pada rentenir. Gaji kakaknya juga demikian. Sehingga, hutang pada rentenir yang awalnya sebesar satu juta rupiah, kini berlipat menjadi tujuh juta rupiah. Jumlah itu tidak termasuk uang tiga jutaan yang sudah digunakan oleh Mujahid dan kakaknya untuk menyicil hutang kepada rentenir. Entahlah, bagaimana lintah darat itu menggerogoti saudaranya sendiri. Padahal, berdasarkan penuturan Mujahid, rumah rentenir itu, persis di depan rumahnya. Miris, tapi begitulah adanya.
Keluarga itupun kembali berunding. Aneka solusi ditawarkan, aneka rencana dicanangkan. Hingga akhirnya, disepakati waktu dan rencana aksi yang akan mereka lakukan. Mujahid berbagi tugas dengan kakaknya. Ia tetap tinggal di Ibu Kota, sedangkan kakaknya bertugas pulang kampung untuk melunasi hutang tersebut.
Waktu yang disepakatipun tiba. Ketika itu, bertepatan dengan hari dimana Mujahid biasa mengikuti Halaqoh Dzikir bersama KH. Arifin Ilham. Dzikir yang lembut, diselingi dengan taujih, serta ukhuwah yang menghangatkan, membuat Mujahid nyaman di halaqoh tersebut. Tak ayal, waktu dzikir itu adalah sarana untuk mencurahkan seluruh masalah kepada Sang Pencipta. Apalagi, dzikir itu dihadiri oleh ratusan bahkan ribuah jama’ah manusia. Belum lagi jama’ah malaikat yang tak pernah terlihat, apalagi terhitung. Sehingga syi’ar dan semangatnya semakin kental terasa.
Selepas subuh, Mujahid membonceng sahabatnya untuk mendatangi halaqoh dzikir itu. Berbekal semangat untuk bertemu saudara seiman, pagi itu sangat cerah dan menyemangati. Sampailah mereka di tempat dzikir selepas tiga puluh menit perjalanan. Keduanya bersegera mencari tempat yang nyaman di atas karpet yang sudah disediakan oleh panitia. Ribuan jama’ah berpakaian serba putih sudah memadati tempat itu.
Dzikir dimulai. Semesta pun bertasbih. Semuanya larut dalam puji-pujian akan kebesaran Allah. Mengenang Sang Nabi dalam syahdu, juga doa-doa untuk kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Tak lupa, doa untuk Indonesia Tercinta, juga untuk masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Dalam lantunan doa itu, Mujahid mengucap lirih, beriring linang air mata, “Ya Allah, bebaskan kami dari jeratan rentenir itu. Dan, berikan petunjuk kepadanya.”
Entah berapa kali doa itu diucapkan. Hingga akhirnya, dzikir diakhiri dengan sujud syukur dan saling menyalami antara sesama jama’ah. Dalam jenak, ketika hati berada dalam puncak ketenangan, Hand Phone Mujahid berbunyi. Ada pesan masuk. Tertera dalam layar hitam itu, pesan masuk dari kakaknya. Hatinya bergetar. Harap-harap cemas. Dengan bismillah, ditekanlah tombol Buka Kunci, dan Baca Pesan. Hatinya bertambah ceria, syukur yang tak terukur, selepas membaca kalimat sederhana di layar itu, “Alhamdulillah, hutang kita pada rentenir sudah lunas.”
Serta merta, ia menyungkur dalam sujud. Kesadarannya penuh, bahwa yang bisa membuat mereka keluar dari jeratan rentenir itu hanyalah Allah. Apalagi, kakaknya hanya membawa dua juta, sedangkan dalam catatan rentenir, hutang keluarganya tujuh juta dari awalnya satu juta. Tanpa banyak tanya, Mujahid membalas singkat pesan itu, “Alhamdulillah…”
Yang tak kalah mengejutkan, berdasarkan kisah dari Mujahid ketika Ramadhan lalu, rentenir itu akan masuk Islam. Ia sudah mulai belajar mengenakan kerudung, dan dalam waktu dekat, insya Allah, ia akan menikah dengan lelaki Muslim.
Begitulah. Hidayah hanya milik Allah. Dialah pemberi solusi atas semua masalah. Tak perlu membenci siapa yang berbuat jahat kepada kita. Karena kebencian, tak pernah memberikan manfaat. cintai, dan doakan. Insya Allah, yang terbaik akan kita dapatkan. Semoga, apa yang Mujahid alami, menginspirasi kita semua.
Salam Jum’at Barokah. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Petualangan Mujahid di ibu kota dimulai ketika adik pertamanya masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) di kotanya. Ia dan adiknya itu hanya terpaut tiga tahun. Sedangkan adik keduanya, terpaut tiga tahun pula dengan adik pertamanya. Tak ayal, ketika Mujahid baru lulus SMA, adik pertamanya langsung masuk SMA, dan adik keduanya masuk SMP.
Meski demikian, semangat orang tua Mujahid untuk menyekolahkan anak-anaknya tak pernah surut. Apalagi, Mujahid berhasil menunjukkan prestasi gemilang dengan menyabet gelar Siswa Teladan di kabupatennya. Harapannya, adik-adiknya bisa melanjutkan tradisi prestasif itu.
Namun, karut marutnya pendidikan di negeri ini membuat niat orang tua Mujahid menjadi kacau. Apalagi, ketika pendidikan dikomersilkan. Nyaris saja, keluarga itu tak bisa menyekolahkan adik pertama Mujahid. Karena berasal dari keluarga sederhana, bapaknya hanya seorang kuli bangunan di Ibu Kota, dan kedua kakak Mujahid belum mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Tak ayal, Mujahid yang berprestasi itu harus mengalah untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia memilih untuk bekerja, dengan harapan bisa membiayai keenam adik-adiknya.
Didaftarkanlah adik Mujahid ke SMA favorit di kotanya. Bagi kalangan menengah ke bawah, biaya masuk SMA ketika itu tergolong mahal. Belum lagi, biaya masuk SMP adik kedua Mujahid. Sang ibu yang bersikeras agar anak-anaknya mengenyam pendidikan pun, mengambil jalan pintas. Ia menerima tawaran tetangganya untuk berhutang pada rentenir. Di sinilah, awal mula prahara itu terjadi.
Sang Ibu terpaksa mengambil jalan itu, demi anak-anaknya bisa melanjutkan pendidikan. Meskipun, Mujahid sudah berkali-kali mengingatkan, bahwa itu bukanlah jalan terbaik. Dengan semangat berbakti, Mujahid akhirnya membulatkan tekad untuk merantau. Harapannya, gaji dari bekerjanya di Ibu Kota, bisa segera digunakan untuk melunasi hutang pada rentenir.
Waktu berlalu, usia merantau Mujahid sudah memasuki tahun ketiga. Gaji yang ia terima hanya cukup untuk menyambung hidup, dan keperluan keluarganya. Nyaris, tak ada banyak kelebihan untuk membayar hutang pada rentenir. Gaji kakaknya juga demikian. Sehingga, hutang pada rentenir yang awalnya sebesar satu juta rupiah, kini berlipat menjadi tujuh juta rupiah. Jumlah itu tidak termasuk uang tiga jutaan yang sudah digunakan oleh Mujahid dan kakaknya untuk menyicil hutang kepada rentenir. Entahlah, bagaimana lintah darat itu menggerogoti saudaranya sendiri. Padahal, berdasarkan penuturan Mujahid, rumah rentenir itu, persis di depan rumahnya. Miris, tapi begitulah adanya.
Keluarga itupun kembali berunding. Aneka solusi ditawarkan, aneka rencana dicanangkan. Hingga akhirnya, disepakati waktu dan rencana aksi yang akan mereka lakukan. Mujahid berbagi tugas dengan kakaknya. Ia tetap tinggal di Ibu Kota, sedangkan kakaknya bertugas pulang kampung untuk melunasi hutang tersebut.
Waktu yang disepakatipun tiba. Ketika itu, bertepatan dengan hari dimana Mujahid biasa mengikuti Halaqoh Dzikir bersama KH. Arifin Ilham. Dzikir yang lembut, diselingi dengan taujih, serta ukhuwah yang menghangatkan, membuat Mujahid nyaman di halaqoh tersebut. Tak ayal, waktu dzikir itu adalah sarana untuk mencurahkan seluruh masalah kepada Sang Pencipta. Apalagi, dzikir itu dihadiri oleh ratusan bahkan ribuah jama’ah manusia. Belum lagi jama’ah malaikat yang tak pernah terlihat, apalagi terhitung. Sehingga syi’ar dan semangatnya semakin kental terasa.
Selepas subuh, Mujahid membonceng sahabatnya untuk mendatangi halaqoh dzikir itu. Berbekal semangat untuk bertemu saudara seiman, pagi itu sangat cerah dan menyemangati. Sampailah mereka di tempat dzikir selepas tiga puluh menit perjalanan. Keduanya bersegera mencari tempat yang nyaman di atas karpet yang sudah disediakan oleh panitia. Ribuan jama’ah berpakaian serba putih sudah memadati tempat itu.
Dzikir dimulai. Semesta pun bertasbih. Semuanya larut dalam puji-pujian akan kebesaran Allah. Mengenang Sang Nabi dalam syahdu, juga doa-doa untuk kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Tak lupa, doa untuk Indonesia Tercinta, juga untuk masyarakat, keluarga dan diri sendiri. Dalam lantunan doa itu, Mujahid mengucap lirih, beriring linang air mata, “Ya Allah, bebaskan kami dari jeratan rentenir itu. Dan, berikan petunjuk kepadanya.”
Entah berapa kali doa itu diucapkan. Hingga akhirnya, dzikir diakhiri dengan sujud syukur dan saling menyalami antara sesama jama’ah. Dalam jenak, ketika hati berada dalam puncak ketenangan, Hand Phone Mujahid berbunyi. Ada pesan masuk. Tertera dalam layar hitam itu, pesan masuk dari kakaknya. Hatinya bergetar. Harap-harap cemas. Dengan bismillah, ditekanlah tombol Buka Kunci, dan Baca Pesan. Hatinya bertambah ceria, syukur yang tak terukur, selepas membaca kalimat sederhana di layar itu, “Alhamdulillah, hutang kita pada rentenir sudah lunas.”
Serta merta, ia menyungkur dalam sujud. Kesadarannya penuh, bahwa yang bisa membuat mereka keluar dari jeratan rentenir itu hanyalah Allah. Apalagi, kakaknya hanya membawa dua juta, sedangkan dalam catatan rentenir, hutang keluarganya tujuh juta dari awalnya satu juta. Tanpa banyak tanya, Mujahid membalas singkat pesan itu, “Alhamdulillah…”
Yang tak kalah mengejutkan, berdasarkan kisah dari Mujahid ketika Ramadhan lalu, rentenir itu akan masuk Islam. Ia sudah mulai belajar mengenakan kerudung, dan dalam waktu dekat, insya Allah, ia akan menikah dengan lelaki Muslim.
Begitulah. Hidayah hanya milik Allah. Dialah pemberi solusi atas semua masalah. Tak perlu membenci siapa yang berbuat jahat kepada kita. Karena kebencian, tak pernah memberikan manfaat. cintai, dan doakan. Insya Allah, yang terbaik akan kita dapatkan. Semoga, apa yang Mujahid alami, menginspirasi kita semua.
Salam Jum’at Barokah. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar