FIQH DA'WAH
oleh: Ustadz Abu Ubaidillah Ridhwan Al-Atsary
الحمد لله رب العالمين، والعاقبة للمتقين، ولا عدوان إلا على الظالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، إله الأولين والآخرين، وقيوم السماوات والأرضين، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وخليله وأمينه على وحيه، أرسله إلى الناس كافة بشيرا ونذيرا، وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا، صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه الذين ساروا على طريقته في الدعوة إلى سبيله، وصبروا على ذلك، وجاهدوا فيه حتى أظهر الله بهم دينه، وأعلى كلمته ولو كره المشركون، وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Segala puji bagi Allah dengan berkat karunia dan taufiq-Nya kita kembali dipertemukan dalam kesempatan yang mulia dan insya Allah berbarokah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi kita yang mulia anutan dan teladan bagi orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, kepada keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari akhir.
Selanjutnya pada kesempatan ini, dengan memohon pertolongan Allah dan menjadikan kita selalu ikhlas dalam beribadah khanya kepada-Nya, akan bersama-sama mempelajari tentang fiqh da’wah berlandaskan kitabullah dan sunnah Nabi dengan pemahaman para sahabatnya yang meliputi:
A. Pengertian Dakwah, keutamaan dan hukumnya:
1. Pengertian secara bahasa: berasal dari kata da’a- yad’uu- du’aan- da’watan yang berarti mengajak, menyeru dan memanggil (al-Mu’jamul Wasith, hal 286)
2. Sedangkan secara istilah/ syara’ adalah: mengajak orang lain agar melakukan perintah Allah baik berupa ucapan maupun amalan, dan meningggalkan segala larangan Allah baik berupa ucapan maupun amalan. (Lihat Usus Manhajis Salaf fid Da’wah ilallah hal 31)
3. Syaikh Fawwaz bin Hulail as-Suhaimi di dalam kitab beliau yang mengagumkan yakni Usus Manhajis Salaf fid Da’wah ilallah hal 32-34 menyebutkan di antara Keutamaan dakwah adalah:
a. Memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan penting.
b. Diberikan pahala yang sangat besar bagi para pelakunya.
c. Termasuk amalan yang fardhu dan wajib bagi kaum muslimin khususnya para ulama.
d. Dakwah merupakan jalan para Rasul yang dijadikan sebagai panutan dan pemimpin dalam menjalankan tugas yang sangat agung ini. (Q.S An-Nahl/16: 36)
Silahkan Download Tulisan Beliau di sini dalam bentuk Document yang merupakan makalah dari Kegiatan Training Kementoringan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Download Makalah : "FIQH DAWAH"
Silahkan Download Tulisan Beliau di sini dalam bentuk Document yang merupakan makalah dari Kegiatan Training Kementoringan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Download Makalah : "FIQH DAWAH"
Sebab-sebab Munculnya Terorisme
Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain
Pendahuluan
Sudah merupakan tabiat manusia -khususnya orang yang bergerak di bidang pemberitaan- untuk antusias menanggapi kejadian yang mengagetkan dan menggemparkan mereka. Tak ayal lagi, berbagai komentar dan pernyataan terlontar pasca kejadian-kejadian tersebut. Di antara mereka ada yang mengutuk, ada yang benci dan ada pula yang mendukung. Sejumlah analisa akan bahaya yang muncul dari perbuatan tersebut dilansir di berbagai media massa, forum diskusi, seminar dan lain-lainnya.
Ya, sangat disayangkan, kebanyakan analisa tersebut hanya menyinggung bahayanya dari apa yang ditangkap oleh kasat mata manusia tanpa menoleh kepada pandangan syari’at Islam yang begitu lengkap dalam mengungkap dampak-dampak negatif dari perbuatan-perbuatan tersebut[1]. Dan yang lebih menyedihkan lagi bahwa sangatlah sedikit di antara mereka yang menyinggung faktor-faktor penyebab yang merupakan sumber malapetaka dan musibah pada kejadian-kejadian tersebut. Mereka lupa bahwa tanpa menuntaskan sumbernya, maka malapetaka dan musibah tersebut tetap akan meninggalkan masalah dan ancaman serius di masa mendatang. Kebanyakan orang memang memahami bahwa “tiada asap tanpa api”, namun sangat disayangkan bahwa pembicaraan tentang kejadian-kejadian tersebut hanya terbatas pada zhohirnya, bahayanya, gangguan terhadap manusia dan seterusnya.
Dan seorang muslim yang baik akan selalu bercermin dan mengintrospeksi dirinya pada segala musibah yang terjadi dan kemudian segera bertaubat kepada Allah Ta’âlâ terhadap apa-apa yang telah ia terlantarkan. Sebab tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa, dan tidaklah musibah tersebut diangkat kecuali dengan bertaubat. Dan makna ini tentunya sangat banyak dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Diantaranya adalah firman-Nya,
“Dan apa saja yang menimpamu berupa suatu bencana, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisâ` : 79)
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian maka (itu) adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri.” (QS. Asy-Syûrâ : 30)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rûm : 41)
Berikut ini, kami akan mencoba menyebutkan sebab-sebab pokok yang merupakan sumber pemicu munculnya aksi-aksi teror tersebut.
Dan secara umum, munculnya aksi-aksi teror tersebut kembali kepada tiga sebab pokok,
Satu : Sebab-sebab yang kembali kepada para pelaku teror itu sendiri. Baik karena kejahilannya, pemahamannya yang sesat dan semisalnya.
Dua : Sebab-sebab yang kembali kepada lingkungan masyarakat yang ia tinggal di dalamnya, yang telah bergejolak padanya berbagai kerusakan, suasa politik yang panas, ketidakpuasan dan sebagainya.
Tiga : Sebab-sebab yang kembali kepada faktor-faktor eksternal, berupa makar-makar musuh, kezholiman, penindasan dan sebagainya.
Tentunya uraian-uraian ini tidak bisa mencakup seluruh sebab munculnya terorisme karena jalan-jalan kesesatan tiada terbilang dan keadaan suatu negara atau masyarakat beraneka ragam dari sisi keagamaan, perekonomian, politik dan lain-lainnya sehingga kami hanya menyebutkan rincian sebab-sebab pokoknya saja.
Kami juga tidak menyinggung sebab-sebab terorisme yang terdapat pada orang-orang kafir sebab mereka telah dikenal dengan prilaku terorisme dari dahulu hingga sekarang, di mana kelakuan-kelakuan teror mereka tidaklah luput dari pandangan manusia yang mempunyai akal sehat.
Pembahasan ini adalah perbaikan dari dalam untuk kaum muslimin, individu maupun negara, dimana Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah mengingatkan,
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d : 11)
[1] Insya Allah akan ada uraian tersendiri tentang hal ini pada hal 147.
Bagian Pertama
Uraian-uraian yang akan disebutkan, adalah kami simpulkan dari berbagai jasa ulama zaman ini dalam menanggulangi masalah terorisme, baik itu berupa karya tulis, ceramah ilmiyah maupun yang lainnya.
Sebab Pertama : Jauh dari tuntunan syari’at Allah.
Menjauh dan berpaling dari syari’at Islam adalah sebab kebinasaan dan kesengsaraan. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thôhâ : 123-124)
Maka meninggalkan tuntunan dan aturan agama dan tidak menerapkannya dalam kehidupan adalah sebab kesengsaraan dan kesesatan, di mana terorisme terhitung bagian dari kesengsaraan yang menimpa manusia.
Dan fenomena terjauh dari tuntunan syari’at ini nampak dalam beberapa perkara :
1. Banyaknya bid’ah dan keyakinan yang rusak sehingga melahirkan perpecahan, pertikaian dan kelompok sempalan.
2. Berpaling dari jalan Salafush Shôlih, bahkan mengingkari dan menentangnya.
3. Tersebarnya kemungkaran, kekejian dan maksiat serta munculnya berbagai kerusakan, bahkan kadang dalam bentuk produk yang bersegel resmi dan mendapat perlindungan.
4. Terpaut kepada semboyan-semboyan dan dasar-dasar pemikiran rusak yang kebanyakannya diekspor dari luar kaum muslimin.
Perkara-perkara di atas dan yang semisalnya semua tergolong keberpalingan dan penjauhan diri dari agama. Kalau hal itu tetap berlangsung dan tidak diadakan perubahan terhadapnya maka pasti akan menjadi jalan utama pintu terorisme.
Sebab Kedua : Jahil terhadap tuntunan syari’at dan sedikit pemahaman agama.
Kejahilan adalah penyakit dan kejelekan yang sangat berbahaya. Darinyalah lahir berbagai fitnah, kerusakan dan malapetaka.
Dari kenyataan yang ada, kita melihat berbagai aksi terorisme dengan mengatasnamakan agama, padahal kenyataannya hal tersebut muncul dari sedikitnya pemahaman terhadap agama yang benar.
Kejahilan terhadap tuntunan agama ini nampak dengan jelas pada beberapa perkara penting,
1. Jahil terhadap kaidah-kaidah syari’at, etika dan adab-adabnya. Sehingga kadang si jahil melakukan suatu perbuatan yang menurutnya adalah sebuah perbaikan dan solusi, namun ia telah menempuh jalan salah lagi sesat karena kejahilannya terhadap kaidah-kaidah agama, etika dan adab-adabnya, seperti keadaan sebagian pelaku teror yang ingin merubah kemungkaran dan mengeluarkan orang-orang kafir dari negeri kaum muslimin dengan melakukan peledakan, penghancuran tempat tinggal dan fasilitas mereka tanpa menghiraukan kaidah-kaidah syari’at tentang pembagian-pembagian orang kafir, kapan disyari’atkan melakukan peperangan terhadap mereka, dan tidak memperdulikan kaum muslimin yang menjadi korban dari perbuatan tersebut.
2. Jahil akan maksud, mashlahat dan hikmah Islam dalam syari’at yang ditetapkannya.
Memahami maksud dan hikmah-hikmah syari’at adalah suatu hal yang sangat mendasar dalam agama kita.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Sesungguhnya syari’at ini, dasar dan asasnya dibangun di atas berbagai hikmah dan kemashlahatan untuk segenap hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dan (syari’at) seluruhnya adalah keadilan, seluruhnya adalah rahmat, seluruhnya adalah kemashlahatan dan seluruhnya adalah hikmah. Setiap masalah yang keluar dari keadilan menuju kesewenang-wenangan, dari rahmat kepada kebalikannya, dari mashlahat kepada mafsadat dan dari hikmat kepada hal yang sia-sia, maka tidaklah tergolang dari syari’at walau (masalah tersebut) dimasukkan ke dalam syari’at karena suatu ta`wîl (alasan lemah).” [1]
Dan kalau kita menyaksikan sejumlah aksi terorisme yang terjadi di berbagai negara kaum muslimin pada masa ini, maka nampak jelas bahwa aksi-aksi terorisme tersebut muncul dari kejahilan akan maksud dan hikmah pensyari’atan. Apakah sejalan hikmah dan keadilan syari’at sejalan dengan aksi-aksi peledakan yang telah menelan korban jiwa yang tidak bersalah bahkan juga menelan korban dari kaum muslimin?
Apakah dibenarkan dalam syari’at merusak perjanjian-perjanjian dan kehormatan kaum muslimin?
Apakah selaras dengan maksud dan tujuan syari’at mengadakan berbagai teror terhadap musuh yang tidak membuat musuh jera atau lumpuh, bahkan membuat musuh semakin lancang dan mempunyai sejuta alasan untuk melancarkan makar dan kebejatan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin!?
Apakah sejalan dengan syari’at agung ini menamakan seluruh hal di atas sebagai jihad di jalan Allah?
Tidaklah diragukan bahwa seluruh hal di atas terdapat padanya berbagai pelanggaran syari’at dan kerusakan dan sangat bertentangan dengan maksud dan hikmah dari disyari’atkannya tuntunan agama.
Berkata Al-‘Izz bin ‘Abdussalâm (w. 660 H) rahimahullâh, “Peperangan apa saja yang tidak mewujudkan kekalahan musuh maka wajib untuk ditinggalkan. Karena mempertaruhkan nyawa hanya dibolehkan dalam hal-hal yang ada mashlahat kemuliakan agama dan untuk mengalahkan musuh. Apabila hal tersebut tidak tercapai maka wajib untuk meninggalkan perang karena akan melayangkan nyawa dengan sia-sia, memuaskan hati-hati kaum kuffar, dan merendahkan kaum muslimin. Dan dengan demikian, (peperangan tersebut) hanya sekedar kerusakan semata, tiada suatu mashlahat pun dalam lembarannya.” [2]
3. Jahil terhadap rincian dan uraian detail permasalahan-permasalahan agama seperti masalah jihad, ketaatan kepada penguasa, hukum seputar orang-orang kafir, pemerintahan, amar ma’ruf nahi mungkar dan sebagainya.
Dan kejahilan yang seperti ini pasti akan menyebabkan jatuhnya orang-orang tersebut dalam salah satu sumber kesesatan, yaitu mengambil sebagian dari suatu tuntunan syari’at dan meninggalkan yang lainnya. Dan fenomena yang seperti ini telah menjadi sumber pemicu fitnah dan kerusakan dari masa ke masa, termasuk pendalilan dan argumentasi para pelaku terorisme yang menamakannya sebagai jihad di jalan Allah.
Dan bahaya lain akibat kejahilan ini adalah menyibukkan diri dengan cabang-cabang permasalah dan melalaikan masalah-masalah besar yang merupakan kebaikan dan kemashlahatan umat.
Sebab Ketiga : Sikap ekstrim.
Sikap ekstrim adalah suatu hal yang tercela dalam agama sebagaimana yang telah diuraikan. Dan sikap ekstrim ini adalah sumber kerusakan dan penyimpangan.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Tidaklah Allah memerintah dengan suatu perintah kecuali syaithôn punya dua sasaran aksi perusakan, apakah untuk menelantarkan dan menyia-nyiakan, atau untuk berlebihan dan esktrim. Dan agama Allah pertengahan antara yang menyepelekan padanya dan yang ekstrim.” [3]
Dan demi Allah, tidaklah kejadian aksi-aksi peledakan tersebut muncul kecuali karena sikap ekstrim dalam menerapkan prinsip-prinsip agama.
Ekstrim dalam pengkafiran, sehingga kadang seorang pelaku dosa besar dianggap batal keislamannya oleh orang-orang tersebut.
Ekstrim dalam hal amar ma’ruf nahi mungkar sehingga banyak menjatuhkan pelakunya ke dalam jurang kesesatan dan menimbulkan berbagai problem terhadap umat.
Ekstrim dalam penegakan jihad di jalan Allah, sehingga mereka mengobarkan jihad bukan pada tempatnya yang sama sekali tidak dituntunkan dalam syari’at.
Dan tidak jarang terdengar dari sebagian orang, kelompok dan jama’ah ekstrim kalimat-kalimat berbahaya, hanya karena suatu kesalahan yang mengandung banyak kemungkinan terdengar kalimat “Ia adalah nashrany bersalib”, atau karena alasan yang sangat lemah bagaikan sarang laba-laba terdengar kalimat “Pemerintah kafir beserta antek-anteknya membiarkan Amerika dan sekutunya menduduki tanah suci”, atau karena tidak sepaham dan berbeda pendapat terdengar cercaan sadis terhadap ulama “Ulama penguasa, penjilat, budak dan takut kehilangan dunia”, “Ulama Qô’idûn (tidak berangkat berjihad saat bendera jihad ditegakkan)”.
Dan banyak lagi fenomena ekstrim yang amatlah panjang untuk diuraikan di sini.
[1] I’lâmul Muwaqqi’în 3/3.
[2] Qawâ’idul Ahkâm Fii Mashôlihil Anâm 1/95 dengan perantara kitab Asbâb Zhohitul Irhâb Fil Mujtama’ân Al-Islâmiyah hal. 13 karya DR. ‘Abdullah Al-‘Amru.
[3] Madârijus Sâlikin 2/517.
Bagian Kedua
Sebab Keempat : Jauh dari ulama.
Sesungguhnya para ulama mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di tengah umat dan telah dipuji dan dijelaskan keutamaan mereka dalam berbagai nash ayat maupun hadits. Karena itu kita diperintah untuk merujuk kepada mereka dalam segala urusan. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tiada mengetahui.” (QS. An-Nahl : 43, Al-Anbiyâ` : 7)
Pada perkara yang penting dan menyangkut kemashlahatan umat, kita diwajibkan untuk menyerahkan urusannya kepada para ulama,
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisâ` : 83)
Dan Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyatakan,
الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ
“Berkah itu bersama orang-orang tua (ulama) kalian”. [1]
Dan fitnah akan bermunculan apabila para ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dalam sabdanya,
سَيَأْتِيْ عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الْأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, (dimana) akan dibenarkan padanya orang yang berdusta dan dianggap dusta orang yang jujur, orang yang berkhianat dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap berkhianat dan akan berbicara Ar-Ruwaibidhoh. Ditanyakan : “Siapakah Ar-Ruwaibidhoh itu?” Beliau berkata : “Orang dungu yang berbicara tentang perkara umum.” [2]
Dan Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam juga mengingatkan,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقَ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوْا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba akan tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut (mewafatkan) para ulama sampai bila tidak tersisa lagi seorang alim maka manusiapun mengambil para pemimpin yang bodoh maka merekapun ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu maka sesatlah mereka lagi menyesatkan.” [3]
Dan perlu kami ingatkan disini, bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Mereka adalah para ahli fiqih Islam dan ucapan-ucapan mereka adalah fatwa yang berputar di tengah manusia, yang mempunyai kekhususan dalam mengambil pendalilan hukum dan sangat menjaga (berhati-hati) dalam menetapkan kaidah-kaidah halal dan haram.” [4]
Dan beliau berkata, “Orang yang alim terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan perkataan para shahabat, maka dialah mujtahid (ahli ijtihad) pada perkara-perkara Nawâzil (masalah kontemporer).” [5]
Berkata Ath-Thobary, “Mereka adalah tiang agama dalam fiqih, ilmu, perkara-perkara agama dan dunia.” [6]
Berkata Adz-Dzahaby, “Ilmu bukanlah dengan banyak riwayat, akan tetapi ia adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati. Syaratnya adalah ittibâ’ (mengikuti Al-Qur`ân dan As-Sunnah) dan lari dari hawa nafsu dan perbuatan bid’ah.” [7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan diantara sifat mereka, “Orang yang mempunyai lisan kejujuran yang merata, dimana ia disanjung dan dipuji oleh kebanyakan umat. Mereka itulah para imam petunjuk dan lentera penerang.” [8]
Ingatlah… orang-orang yang hanya punya keahlian menggetarkan mimbar-mimbar ceramah belum tentu ulama. Demikian pula orang-orang yang baru menulis satu atau dua buku, punya keahlian membicarakan masalah-masalah kekinian, lantang menentang dan menampilkan sikap, punya kelompok, partai, golongan dan seterusnya. Maka jangan salah menilai seperti keadaan banyak manusia pada zaman ini.
Juga perlu kami ingatkan bahwa banyak hal yang menyebabkan jauhnya umat dari para ulama. Di antaranya adalah jauhnya kebanyakan umat dari ilmu syar’iy dan mereka lebih sibuk dengan urasan dunia atau berkiblat kepada selain kiblat kaum muslimin. Juga banyak di antara mereka yang bersandar pada kemampuannya sendiri sehingga memahami agama hanya dengan jalur membaca sendiri (otodidak) tanpa mempedulikan penting dan perlunya memahami ilmu itu dari ulama para pewaris nabi. Sebab yang paling banyak menjerumuskan umat kita kepada penyimpangan dan keberpalingan dari para ulama adalah adanya para penyeru kepada kesesatan yang berusaha menampilkan diri sebagai tokoh-tokoh umat dan menjauhkan para pemuda dari ulamanya. Dan insya Allah kami akan lebih merinci masalah ini.
Sebab kelima : Mengikuti ideologi menyimpang.
Suatu hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa seluruh kelakuan, gerak dan perbuatannya diatur oleh pemikiran dan keyakinannya, sehingga manusia itu pasti tergiring oleh pemikirannya, baik ataupun rusak pemikiran tersebut.
Karena itu, salah satu sebab penting timbulnya terorisme adalah kerusakan dan kesesatan pemikiran serta samarnya kebenaran dari kebatilan terhadap para pelaku terorisme tersebut.
Kerusakan ideologi ini muncul karena beberapa faktor pokok,
Satu : Adanya kerancuan dalam manhajut talaqqi (metode pengambilan ilmu). Dimana orang-orang yang menyimpang dalam ideologinya tersebut mengambilnya dari sumber-sumber yang salah atau menimba ilmu dari orang-orang yang menganut pemikiran rusak atau keyakinan sesat, bukan dari alim ulama yang dikenal dengan keluasan ilmunya, keteguhan manhaj dan sebagai penasehat umat. Mereka pun kemudian melampaui batas dengan ideologinya dan larut dalam hawa nafsunya. Maka wajar kalau mereka terjerumus dalam berbagai penyimpangan dan kesesatan serta berucap atas nama Allah tanpa ilmu. Dan hasilnya, mereka akan sesat dan menyesatkan.
Dua : Mengambil nash secara tekstual tanpa fiqih yang mendalam, tidak menggunakan kaidah-kaidah pemetikan/penyimpulan hukum dari sebuah dalil dan tidak memperhitungkan pemahaman ulama dalam masalah tersebut serta tidak pernah menoleh kepada alasan-alasan manusia yang kadang jatuh dalam sebuah kesalahan karena suatu udzur syar’iy.
Perlu diketahui bahwa metodologi seperti ini sangatlah berbahaya dan merupakan sebab penyimpangan dan kesesatan yang sangat fatal. Betapa banyak kerusakan yang menggerogoti manusia dalam masalah pengkafiran terhadap kaum muslimin, menghalalkan darah-darah yang diharamkan untuk ditumpahkan dalam hukum syari’at, dan sejumlah masalah besar lainnya. Dan sangat menyedihkan karena seluruh sumber kerusakan tersebut adalah karena ideologi yang menyimpang ini.
Tiga : Perang pemikiran dan tipu daya iblis yang menjangkit di tengah umat melalui jalur para dai penyeru kepada kesesatan yang menganut berbagai bentuk penyimpangan yang bisa mendorong manusia kepada peledakan, perusakan dan seterusnya dari aksi-aksi terorisme.
Empat : Mengikuti hawa nafsu. Yaitu kadang seseorang mengetahui yang benar, namun hawa nafsu lebih mendominasi pada dirinya sehingga ia lupa pada kebenaran tersebut atau sengaja melupakannya. Dan akhirnya, ia akan mencari alasan-alasan yang membenarkan perbuatannya yang bejat.
Yang jelas, apapun faktor yang mendasari penyimpangan ideologi tersebut, tidaklah hal tersebut dibenarkan oleh syari’at, walaupun pelakunya menganggap dirinya berada di atas kebenaran. Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang sekelompok penduduk neraka yang mendapat siksaan yang pedih, sedang mereka menganggap dirinya berada di atas kebenaran,
“Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. Al-Kahfi : 103-105)
[1] Hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarany dalam Al-Ausath 9/no. 8991, Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil 2/77, 5/259, Al-Hâkim 1/62, Ibnu Hibbân no. 559, Al-Bahaiqy dalam Syu’abul Îmân 7/463, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/171-172, Al-Qadhâ’iy dalam Musnad Asy-Syihâb 1/57, As-Sam’âny dalam Adabul Imlâ` hal. 120, Al-Khathîb 11/165 dan lain-lain. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albâny dalam Silsilah Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 1778.
[2] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Ahmad 2/291, 338, Ibnu Majah no.4036, Al-Hakim 4/465-466, 512 dan lain-lainnya. Dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 1887 dan guru kami, Syaikh Muqbil rahimahullâh dalam kitabnya Ash-Shohîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fi Ash-Shohihain. Dan Syaikh Al-Albany menshohihkan jalan lain bagi hadits di atas dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Baca Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shohîhah no. 2253.
[3] Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry no. 100, 7307 dan Muslim no. 2673, At-Tirmidzy no. 2657, An-Nasâ`i dalam Al-Kubrô 3/455 no. 5907 dan Ibnu Mâjah no. 52.
[4] I’lâmul Muwaqqi’în 1/18.
[5] I’lâmul Muwaqqi’în 4/212.
[6] Jâmi’ul Bayân 3/327.
[7] Siyar A’lâmun Nubalâ` 13/323.
[8] Majmû’ Al-Fatâwâ 11/43.
Bagian Ketiga
Sebab Keenam : Hizbiyah terselubung.
Hizbiyah yang menjamur pada kelompok, yayasan, organisasi, golongan dan jama’ah-jama’ah yang menisbatkan dirinya kepada Islam adalah penyakit dan malapetaka yang sangat besar bagi siapa saja yang terjerembab ke dalamnya.
Bentuk-bentuk hizbiyah yang pondasinya dibangun di atas dasar perselisihan dan perpecahan, keluar dari jama’ah kaum muslimin dan membangun ikatan loyalitas untuk dirinya, kelompok atau jama’ahnya adalah suatu hal yang tercela dalam Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Âli Imrân : 105)
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’âm : 153)
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’âm : 159)
“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rûm : 31-32)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Tidaklah boleh bagi para guru untuk membuat manusia berkelompok-kelompok dan berbuat apa-apa yang menyebabkan terjadinya permusuhan dan kebencian, bahkan hendaknya mereka seperti sesama saudara yang tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.” [1]
Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh menyatakan, “Dan dari hal yang tidak diragukan lagi bahwa banyaknya kelompok-kelompok dan jama’ah-jama’ah dalam masyarakat Islam termasuk hal yang syaithôn sangat bersemangat terhadapnya -pertama- dan -kedua- oleh musuh-musuh Islam.” [2]
Dan Syaikh Al-Albâny rahimahullâh mengingatkan, “Tidaklah luput dari setiap muslim yang mengetahui Al-Kitâb dan As-Sunnah serta apa-apa yang para salaf yang sholih radhiyallâhu ‘anhum berada di atasnya bahwa hizbiyah dan pengelompokan pada jama’ah-jama’ah yang -pertama- mereka beraneka ragam pemikirannya, kemudian –kedua- beraneka ragam manhaj dan uslubnya adalah sama sekali bukan dari Islam, bahkan hal tersebut termasuk perkara yang dilarang oleh Rabb kita ‘Azza wa Jalla dalam banyak ayat dari Al-Qur`ân Al-Karîm.” [3]
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullâh, “Berbilangnya jama’ah-jama’ah adalah fenomena yang sakit, bukan fenomena yang sehat. Dan yang saya pandang, hendaknya umat Islam menjadi kelompok yang satu (saja), mengacu kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullâh-Nya shollallâhu ‘alaihi wa sallam.” [4]
Dan guru kami, Syaikh Shôlih Al-Fauzân hafizhohullâh berkata, “Maka jama’ah-jama’ah dan perpecahan di alam Islam yang terjadi pada hari ini tidaklah dibenarkan oleh agama Islam, bahkan (Islam) melarang hal tersebut dengan larangan yang sangat keras dan memerintah untuk bersatu di atas ‘aqidah tauhid dan manhaj Islam sebagai satu jama’ah dan satu umat, sebagaimana yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ perintahkan kepada kita. Adapun perpecahan dan berbilangnya jama’ah, itu hanyalah tipu daya syaithôn jin dan manusia terhadap umat ini.” [5]
Dan Syaikh Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhaly hafizhohullâh menyatakan, “Maka secara global, ulama Islam dan ulama Sunnah yang terdahulu dan yang belakangan tidaklah membolehkan perpecahan ini, tidak pula (membolehkan) hizbiyah ini, dan tidak pula (membolehkan) jama’ah-jama’ah yang beraneka ragam manhaj dan keyakinannya ini. Karena Allah telah mengharamkan hal tersebut, demikian pula Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa sallam. Dan dalil-dalil (tentang hal tersebut) sangatlah banyak.” [6]
Suatu perkara yang terselubung hanyalah menunjukkan jeleknya perkara tersebut, demikian pula halnya hizbiyah yang terselubung. Berkata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz (w. 101 H) rahimahullâh, “Apabila engkau melihat suatu kaum yang berbisik-bisik tentang suatu masalah agama tanpa khalayak umum, maka ketahuilah bahwa mereka sedang merintis suatu kesesatan.” [7]
Dan manhaj hizbiyah yang terselubung ini sangat berpotensi untuk melahirkan berbagai bentuk sikap ekstrim dan berlebihan yang akan berakhir kepada terorisme dan peledakan.
Berikut penjelasan bahwa hizbiyah terselubung ini adalah salah satu sebab terorisme pada masa dahulu, terlebih lagi pada masa sekarang.
[1] Majmû’ Fatâwâ 28/15-16.
[2] Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah 5/204.
[3] Fatâwâ Syaikh Al-Albâny hal. 106.
[4] Ash-Shohwah Al-Islamiyah hal. 155.
[5] Sebagaimana dalam kitab Jamâ’ah Wâhih Laa Jamâ’ât hal. 184.
[6] Jamâ’ah Wâhih Laa Jamâ’ât hal. 184. Nukilan ini dan beberapa nukilan sebelumnya melalui perantara makalah Samîr Al-Mabhûh dengan judul “Firra Minal Hizbiyah Firâraka Minal Asad.”
[7] Riwayat Ahmad dalam Az-Zuhud 1/289, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/338 dan Al-Lâlakâ`iy 1/135. Dan riwayat Al-Auzâ’iy dari ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azîz ada keterputusan.
Bagian Keempat
Sebab Ketujuh : Tersebarnya buku-buku yang memuat ideologi terorisme.
Perlu diketahui bahwa para penganut pemikiran menyimpang sangat antusias untuk melariskan pemikiran dan racun mereka dalam segala kesempatan. Dan penulisan buku-buku agama termasuk sarana yang sangat mereka manfaatkan dalam hal tersebut, walaupun kami perlu ingatkan bahwa buku-buku para ulama kita yang terdahulu lebih dari cukup untuk menjelaskan segala titik masalah agama yang pasti dibutuhkan oleh manusia. Juga harus kita akui bahwa pemahaman keliru yang terdapat dalam sebuah buku kadang bersumber dari kesalahan pribadi dari sang penulis tanpa ada maksud jelek dari sang penulis tersebut. Namun kebenaranlah yang harus diucapkan dan diterima, dan kebatilan harus ditolak, siapapun pembawanya, setelah nampak dari nash-nash syari’at akan kebatilan dan kesalahannya.
Berikut ini, kami akan menyebutkan sejumlah penulis buku-buku yang sangat berbahaya. dan tentunya kami tidak mungkin dapat menyebutkan seluruhnya, karena hal tersebut butuh penelitian yang lebih detail. Tapi cukuplah di sini kami sebutkan sejumlah okoh-tokoh yang merupakan rujukan para teroris.
1. Buku-buku Sayyid Quthub. Dan mungkin telah jelas dari keterangan-keterangan yang telah lalu bahwa Sayyid termasuk sumber terorisme pada zaman ini. Diantara buku-bukunya yang sangat berbahaya adalah : Kitab tafsirnya Fii Zhilâlil Qur`ân yang telah dicetak dan diterjemah dalam edisi lux dengan berbahasa Indonesia, Kutubun wa Syakhshiyâtun, Al-‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyyah, Ma’âlim Fit Thorîq dan lain-lainnya.
2. Buku-buku Abul A’la Al-Maududi.
3. Buku-buku Hasan Al-Bannâ.
4. Buku-buku Sa’id Hawwâ.
5. Buku-buku At-Tilmisâny.
6. Buku-buku Hasan At-Turâby.
7. Buku-buku Ahmad Muhammad Ar-Rasyid (nama haraki dan bukan nama aslinya).
8. Buku-buku Muhammad Quthub.
9. Buku-buku Abu Muhammad Al-Maqdasy.
10. Buku-buku Abu Qotadah Al-Filisthiny.
11. Buku-buku, kaset dan selebaran Muhammad Surur dan para pengekornya seperti Salman Al-‘Audah, Safar Al-Hawâly, ‘Âidh Al-Qarny, Nâshir Al-‘Umar dan lain-lainnya.
12. Ceramah-ceramah, surat-surat dan seruan Usamah bin Lâdin.
Sebab Kedelapan : Mengikuti semangat belaka.
Punya semangat dalam membela agama Allah dan marah ketika melihat pelanggaran terhadap perintah dan larangan Allah adalah suatu hal yang terpuji dalam syari’at. Namun hal tersebut terpuji bila semangatnya disertai dengan hikmah, fiqih dan ilmu agama yang mendalam serta memperhatikan seluruh kaidah-kaidah syari’at dalam mempertimbangkan mashlahat dan mafsadat.
Adapun sekedar semangat belaka tanpa disertai dengan hal-hal yang tersebut di atas atau sebagian darinya, maka hal tersebut akan mengantar kepada perbuatan ekstrim, perusakan dan terorisme. Dan semangat yang seperti ini tidak akan membawa kebaikan untuk kaum muslimin dalam perkara dunia maupun perkara agama mereka.
Sebab Kesembilan : Makar musuh-musuh Islam.
Permusuhan antara yang haq dan yang batil adalah suatu hal yang telah berlangsung dari dahulu, dan terus berlanjut hingga akhir zaman. Hal tersebut telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam berbagai ayat. Diantaranya adalah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kalian hingga kalian mengikuti agama mereka.” (QS. Al-Baqarah : 120)
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran).” (QS. Al-Baqarah : 217)
Dan tidak diragukan bahwa musuh-musuh agama memiliki andil yang sangat besar dalam memunculkan terorisme, memberi contoh, mendidik, dan memanfaatkan sebahagian orang untuk melakukan aksi-aksi terorisme tersebut. Dan telah terbukti pada sebagian negara yang padanya terjadi peledakan, setelah diusut, ternyata pelaku adalah orang yang dibayar oleh Amerika.
Sebab Kesepuluh : Tidak diterapkannya hukum Allah pada kebanyakan negeri Islam.
Allah telah menciptakan makhluk dengan hikmah agar mereka beribadah kepada Allah,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzâriyât : 56)
Dan Allah memerintahkan makhluk-Nya untuk menegakkan agama-Nya dan menjalankan syari’at-Nya,
“Kemudian Kami jadikan kalian berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kalian ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jâtsiah : 18)
Dan termasuk konsekwensi ibadah dan komitmen mengikuti syari’at adalah tunduk dalam beribadah kepada-Nya dan berserah diri kepada hukum dan ketentuannya,
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb : 36)
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ yang menciptakan langit dan bumi, manusia dan seluruh makhluk yang ada padanya. Maka tentunya Allah jualah yang lebih mengetahui alternatif yang terbaik bagi mereka dalam mengarungi samudra kehidupannya.
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu nampakkan dan rahasiakan); padahal Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?.” (QS. Al-Mulk : 14)
Dan Allah Jalla Jalâluhu tidak meridhoi hukum bagi manusia kecuali hukum-Nya,
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.An-Nisâ` : 65)
Maka tidaklah diragukan lagi, bahwa pada saat manusia menjadikan selain hukum Allah sebagai pedoman, akan terjadi berbagai kerusakan dan malapetaka bagi manusia dan akan menyeret manusia untuk melakukan sikap ekstrim dan melampaui batas sehingga wajarlah kalau lahir hal-hal yang tidak terpuji dibelakangnya seperti aksi-aksi terorisme dan selainnya.
Bagian Kelima
Sebab Kesebelas : Paham Khawarij.
Untuk menjelaskan tentang Khawarij, dibutuhkan pembahasan yang meluas dan mendetail karena pentingnya masalah ini dan banyaknya kerusakan yang terjadi kerena paham Khawarij ini. Khawarij yang merupakan “Sejelek-jelek makhluk”, “Anjing-anjing Neraka”, “Mereka keluar dari agama sebagaiman keluarnya anak panah dari sasarannya”, “Mereka membunuh penganut Islam dan membiarkan penyembah patung”, dan lain-lainnya dari pensifatan mereka yang disebutkan dalam sejumlah hadits yang shohîh. Semoga Allah memberi umur dan kesempatan untuk mengumpul suatu pembahasan lengkap tentang hal ini di masa mendatang.
Namun di sini kami akan mengetengahkan beberapa ciri pokok paham Khawarij sehingga dapat diketahui bahayanya dan dijauhi.
1. Pembangkangan dan pemberontakan terhadap para peguasa muslim, dan tidak ta’at kepadanya walaupun dalam hal yang ma’ruf.
2. Mengkafirkan pelaku dosa besar.
3. Memanas-manasi hati masyarakat untuk benci kepada penguasa dengan menyebutkan kejelekan mereka dan mencercanya.
4. Mengkafirkan secara mutlak orang yang tidak berhukum dengan selain hukum Allah.
5. Mengkafirkan pemerintah dengan alasan ia menelantarkan jihad.
6. Peledakan dan pengeboman.
7. Membolehkan membunuh aparat pemerintah.
Sebab Kedua Belas : Kerusakan media massa.
Media massa pada masa ini terhitung sarana yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran manusia, akhlak dan kehidupannya. Besarnya peluang bisnis yang dikejar dibelakang pemberitaan tersebut dan kecenderungan kebanyakan manusia untuk mendengar atau menyaksikan hal-hal yang baru dan berkembang sehingga sangatlah wajar bila munusia sedemikian cepat terpengaruh oleh pemberitaan-pemberitaan tersebut.
Asal yang diinginkan dari pemberitaan mass media adalah mengetengahkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia sesuai dengan fakta dan data yang dapat dipertanggung jawabkan. Namun sangat disayangkan bahwa kenyataan yang ada sangat bertolak belakang dengan maksud tersebut. Kita melihat pada kebanyakan pemberitaan mass media telah menjadi tunggangan syaithon dalam menyebarkan fitnah, kesesatan, kerusakan di tengah manusia.
Pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam tersebar kabar bahwa beliau telah mentalak istri-istrinya, yang seharusnya berita yang belum jelas seperti itu tidaklah tersebar. Maka turunlah teguran ayat terhadap hal tersebut[1],
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antara kalian).” (QS. An-Nisâ` : 83)
Kalau berita tentang benar atau tidaknya Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam mentalak istri-istrinya harus dikembalikan kepada orang-orang berwenang dari kalangan ulama dan umara, maka tentunya masalah-masalah yang lebih besar dari itu -khususnya yang berkaitan dengan darah, kepentingan umum dan sebagainya- lebih patut hanya dikembalikan kepada pihak-pihak yang berwenang.
Dan kenyataan yang terjadi pada pemberitaan kebanyakan mass media adalah mencampuri hal-hal yang bukan urusannya dan memberitakan berbagai perkara yang sebenarnya masih sangat perlu untuk dibahas, apakah pantas untuk diberitakan?, apakah tidak akan menimbulkan keresahan umum?, dan sebagainya.
Dan pemberitaan yang mengangkut masalah kriminal yang banyak dilansir di berbagai mass media, sangat disayangkan karena hal tersebut telah menjadi pendidikan dan kursus bagi masyarakat umum untuk mengetahui dan mendalami cara-cara melakukan kriminal tersebut.
Belum lagi berbagai kerusakan yang terjadi akibat pemberitaan yang mengandung perusakan ‘Aqidah, moral, akhlak, kehormatan, budi pekerti luhur dan lain-lainnya.
Maka seluruh perkara di atas dan hal-hal yang belum sempat tercatat disini sangatlah berpotensi untuk melahirkan berbagai sikap ekstrim, melampaui batas dan aksi-aksi terorisme.
Sebab Ketiga Belas : Diletakkannya berbagai rintangan terhadap dakwah yang haq.
Tidaklah diragukan bahwa dakwah benar yang sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pemahaman ulama salaf akan mengajak manusia kepada agama mereka yang lurus dan mensucikan agama dari segala noda sikap ekstrim, berlebihan dan melampaui batas. Maka memunculkan rintangan terhadap dakwah yang benar seperti tuduhan-tuduhan jelek yang tertuju pada umat Islam secara umum, atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menyudutkan umat Islam dan sebagainya akan menyebabkan munculnya terorisme. Bahkan hal tersebut adalah sarana yang terbaik dalam menampakkan terorisme dan mempermudah jalannya guna merusak manusia. Sebab setiap perkara pasti berputar antara dua hal, di atas kebenaran atau di atas kebatilan. Maka kapan sisi kebenaran melemah, pasti sisi kebatilan yang akan menonjol dan demikian pula sebaliknya. Allah Ta’âlâ berfirman,
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.” (QS. Yûnus : 32)
[1] Baca kisahnya dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 2468, 4913, 5191 dan Muslim no. 1479.
Mengapa Dia Menutup Wajahnya dengan Cadar?
Di antara prilaku yang mengherankan sebagian orang adalah adanya wanita yang mau bercadar. Berikut ini akan kami sebutkan alasan pokok yang melatarbelakangi sebagian wanita rela menutup wajahnya dengan cadar. Moga setelah kita tahu maka kita lebih bisa memaklumi adanya orang yang melakukannya atau bahkan membela dan mengamalkannya.
Pertama
Semua ulama baik yang mewajibkan wanita untuk menutup wajahnya atau pun sekedar menganjurkan bersepakat bahwa istri-istri Nabi shallallahun ‘alaihi wa sallam berkewajiban untuk menutup wajah mereka dari laki-laki yang bukan mahram mereka.
قَالَ عِيَاض : فَرْض الْحِجَاب مِمَّا اِخْتَصَصْنَ بِهِ فَهُوَ فُرِضَ عَلَيْهِنَّ بِلَا خِلَاف فِي الْوَجْه وَالْكَفَّيْنِ ، فَلَا يَجُوز لَهُنَّ كَشْف ذَلِكَ فِي شَهَادَة وَلَا غَيْرهَا وَلَا إِظْهَار شُخُوصهنَّ وَإِنْ كُنَّ مُسْتَتِرَات إِلَّا مَا دَعَتْ إِلَيْهِ ضَرُورَة مِنْ بِرَاز .
Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan, “Hijab dalam pengertian menutupi wajah dan dua telapak tangan adalah kewajiban yang dikhususkan untuk para istri Nabi tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hal ini. Mereka tidak diperbolehkan untuk membuka wajah dan telapak tangan saat memberikan persaksian atau yang lainnya. Mereka tidak boleh menampakkan sosok tubuh mereka meski mereka terlindung dengan sesuatu sehingga tidak ada orang yang turut melihat kecuali dalam kondisi terpaksa semisal buang air besar di luar bangunan” (Fathul Bari 13/332, Maktabah Syamilah).
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyake seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al Ahzab:59).
Ayat ini menunjukkan bahwa jilbab yang dikenakan oleh wanita yang beriman itu sama dengan jilbab yang dikenakan oleh para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena perintah yang ada itu sama dan ditujukan kepada istri Nabi dan para wanita yang beriman serta menggunakan kata perintah yang sama. Sedangkan berdasarkan keterangan di atas para ulama sepakat bahwa jilbab untuk para istri Nabi itu menutupi wajah dan dua telapak tangan. Jika demikian maka jilbab bagi wanita yang beriman itu berupa menutupi wajah.
Kedua
Allah berfirman,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS al Ahzab:53).
Ayat ini dengan sepakat seluruh ulama menunjukkan adanya kewajiban bagi wanita untuk menutupi wajah. Akan tetapi para ulama yang tidak mewajibkan bercadar mengatakan bahwa kandungan ayat di atas hanya berlaku untuk para istri Nabi. Pemahaman ini tidak tepat bahkan yang benar ayat di atas berlaku untuk semua wanita dengan beberapa alasan sebagai berikut.
(a) Kandungan ayat itu disimpulkan dari redaksi yang bersifat umum bukan dari sebab yang bersifat khusus.
(a) Kandungan ayat itu disimpulkan dari redaksi yang bersifat umum bukan dari sebab yang bersifat khusus.
(b) Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita yang hatinya paling suci dan memiliki kedudukan yang paling agung dalam hati para laki-laki yang beriman. Bahkan mereka dilarang untuk menikah setelah Nabi wafat. Meski demikian mereka diperintahkan untuk berjilbab semacam itu dalam rangka menyucikan hati mereka. Wanita selain mereka tentu lebih layak untuk mewujudkan tujuan tersebut.
(c) Dalam ayat di atas Allah menegaskan bahwa hikmah disyariatkannya jilbab semacam itu untuk para istri Nabi adalah ‘yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka’. Kalimat ini mengandung motif hukum yang tidak hanya dijumpai dalam satu kasus semata. Tujuan tersebut wajib diwujudkan oleh semua orang di semua zaman dan semua tempat. Jika kita katakan bahwa jilbab semacam itu hanya khusus untuk istri Nabi maka hal ini artinya bahwa para wanita beriman tidak mebutuhkan ‘kesucian hati’ yang dibutuhkan oleh para istri Nabi. Dengan kata lain, mereka lebih mulia dibandingkan para istri Nabi?!
(d) Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman,
لَا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آَبَائِهِنَّ وَلَا أَبْنَائِهِنَّ وَلَا إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلَا نِسَائِهِنَّ
“Tidak ada dosa atas mereka (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan yang beriman” (QS al Ahzab:55).
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir berkata,
لما أمر تعالى النساء بالحجاب من الأجانب، بيَّن أن هؤلاء الأقارب لا يجب الاحتجاب منهم،
“Setelah Allah perintahkan para wanita untuk berhijab (baca:berjilbab) ketika berjumpa laki-laki yang bukan mahram maka Allah tidak ada kewajiban untuk berhijab di hadapan karib kerabat yang telah disebutkan”.
Ketentuan ini bersifat umum. Jika demikian bagaimana mungkin kita katakan bahwa ayat sebelumnya hanya berlaku untuk para istri Nabi.
Ketentuan ini bersifat umum. Jika demikian bagaimana mungkin kita katakan bahwa ayat sebelumnya hanya berlaku untuk para istri Nabi.
Ketiga
Dalam hadits,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ « يُرْخِينَ شِبْرًا ». فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ « فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ ».
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menyeret bagian bawah pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat nanti”. Ummu Salamah berkata, “Apa yang harus dilakukan oleh para wanita dengan ujung kain mereka?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya mereka memanjangkannya seukuran satu jengkal”, Ummu Salamah kembali berkata, “Jika demikian, telapak kaki mereka masih tersingkap”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya mereka panjangkan seukur satu hasta dan tidak boleh lebih dari itu” (HR Tirmidzi no 1731 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Hadits shahih ini menjadi dalil bahwa sudah sangat diketahui di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa telapak kaki wanita adalah aurat yang wajib ditutupi sehingga tidak ada laki-laki bukan mahram yang melihatnya.
Jika telapak kaki wanita adalah aurat yang wajib ditutupi maka wajah tentu lebih layak untuk ditutupi.
Setelah penjelasan di atas, apakah layak bagi syariat untuk memerintahkan menutupi telapak kaki yang bukan sumber pokok godaan wanita kemudian membolehkan wanita untuk membuka wajahnya padahal wajah adalah pusat kecantikan dan sumber godaan wanita. Sungguh ini adalah kontradiksi yang tidak mungkin ada dalam syariat Allah.
Jika telapak kaki wanita adalah aurat yang wajib ditutupi maka wajah tentu lebih layak untuk ditutupi.
Setelah penjelasan di atas, apakah layak bagi syariat untuk memerintahkan menutupi telapak kaki yang bukan sumber pokok godaan wanita kemudian membolehkan wanita untuk membuka wajahnya padahal wajah adalah pusat kecantikan dan sumber godaan wanita. Sungguh ini adalah kontradiksi yang tidak mungkin ada dalam syariat Allah.
Keempat
Dalam hadits yang lain,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُبَاشِرِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا ، كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا »
Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda, “Seorang wanita tidaklah diperbolehkan untuk memandangan aurat wanita yang lain lalu dia menggambarkannya kepada suaminya seakan-akan suami memandang wanita tersebut” (HR Bukhari no 4942).
Hadits di atas adalah dalil bahwa para wanita di masa Nabi menutupi wajah mereka. Jika tidak, tentu para lelaki tidak perlu diberi gambaran tentang wanita yang bukan mahramnya supaya ‘seakan-akan memandangnya’ karena mereka bisa melihat secara langsung.
Hadits di atas adalah dalil bahwa para wanita di masa Nabi menutupi wajah mereka. Jika tidak, tentu para lelaki tidak perlu diberi gambaran tentang wanita yang bukan mahramnya supaya ‘seakan-akan memandangnya’ karena mereka bisa melihat secara langsung.
Kelima
Dalam banyak hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki yang hendak meminang seorang wanita agar melihat wanita yang hendak dia inginkan.
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرْتُ لَهُ امْرَأَةً أَخْطُبُهَا فَقَالَ « اذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا ». فَأَتَيْتُ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ فَخَطَبْتُهَا إِلَى أَبَوَيْهَا وَأَخْبَرْتُهُمَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَكَأَنَّهُمَا كَرِهَا ذَلِكَ. قَالَ فَسَمِعَتْ ذَلِكَ الْمَرْأَةُ وَهِىَ فِى خِدْرِهَا فَقَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَكَ أَنْ تَنْظُرَ فَانْظُرْ. وَإِلاَّ فَإِنِّى أَنْشُدُكَ كَأَنَّهَا أَعْظَمَتْ ذَلِكَ.قَالَ فَنَظَرْتُ إِلَيْهَا فَتَزَوَّجْتُهَا.
Dari al Mughirah bin Syu’bah, “Aku menemui Nabi dan bercerita tentang wanita yang hendak aku lamar”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah dan lihatlah wanita tersebut karena hal itu akan lebih melanggengkan rasa cinta di antara kalian berdua”. Aku lantas mendatangi rumah seorang wanita Anshar lalu kulamar wanita tersebut pada kedua orang tuanya lantas kuceritakan kepada kedua sabda Nbai di atas. Nampaknya kedua orang tuanya tidak menyukai hal tersebut. Ternyata si wanita yang berada di dalam kamar mendengar pembicaraan kami, dia lantas berkata, “Jika Rasulullah yang memerintahkanmu untuk melihat diriku maka silahkan lihat. Namun jika bukan maka aku memintamu dengan nama Allah untuk tidak melakukannya”. Seakan wanita tersebut menilai bahwa hal ini adalah satu masalah besar. Akhirnya kulihat wanita tersebut lalu aku menikahinya. (HR Ibnu Majah no 1866 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bercadar karenanya maka seorang laki-laki tidak bisa melihat seorang wanita kecuali jika hendak melamarnya. Andai para wanita membuka wajah mereka, seorang laki-laki tidak perlu meminta izin kepada orang tua si wanita jika ingin melihat wanita yang ingin dinikahi.
Demikian pula, andai para wanita tidak menutupi wajah mereka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memerintahkan laki-laki yang hendak melamar seorang wanita untuk melihat wanita yang akan dia nikahi.
Adanya pengecualian berupa bolehnya memandang wanita yang hendak dinikahi menunjukkan bahwa pada asalnya para wanita itu menutupi wajah mereka. Jika bukan demikian maka pengecualian dalam hal ini adalah suatu yang sia-sia belaka.
Sumber : www.ustadzaris.com